Top Banner
1 Daftar Isi Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012 LAPORAN UTAMA WAWASAN PERENCANAAN 17 2 9 77 72 INFO IPTEK Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III Asosiasi Bappeda Seluruh Indonesia (Bappedaprovsi) yang dilaksanakan pada tanggal 8-10 Februari 2012 di Ambon merupakan tindak lanjut dari rapat serupa yang telah dilaksanakan pada Tahun 2011 di Banda Aceh. Tahun ini Provinsi Maluku mendapat kehormatan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Rakernas III Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia. LIPUTAN KHUSUS RAKERNAS III ASOSIASI BAPPEDAPROVSI Membangun Indonesia Melalui Perluasan Jejaring Perencanaan Pembangunan yang Bermutu dan Akuntabel antar Pemerintahan, Akademisi, Dunia Usaha dan Komunitas untuk Peningkatan Daya Saing Bangsa Mewujudkan Perencanaan Pembangunan Masyarakat Pedesaan dalam Program Pengentasan Kemiskinan di Jawa Barat Sistem Usaha Industri Kreatif yang Adaptif dan Dapat Dikonfigurasi Ulang di Jawa Barat Indikator Kinerja dalam Akuntabilitas Perencanaan Pembangunan Membangun Organisasi Berbasis Pengetahuan 23 Tinjauan Reflektif dalam Wacana Kemandirian Ekonomi dan Dinamika Pembangunan Jawa Barat ke Depan 29 36 50 57 62 66 INFO PERTANIAN Dukungan Penyuluhan P2BN “Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Barat Melalui Program Terpadu Alih Teknologi Pemanfaatan Bambu Berbasis Perdesaan” Menggali Ide Menanggulangi Kemiskinan Mewujudkan Pembangunan Masyarakat Perdesaan dalam Mengurangi Kemiskinan di Jawa Barat (suatu Konsep “pembangunan Partisipatif”) 43 Menuju Masyarakat Pedesaan Mandiri untuk Mengurangi Kemiskinan di Jawa Barat (Toward Independent Rural Community For Poverty Alleviation In West Java) Mewujudkan Pembangunan Masyarakat Pedesaan dalam Mengurangi Kemiskinan di Jawa Barat Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Barat
82

287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Nov 29, 2015

Download

Documents

Robs_zanisya

Industri Kreatif
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

1

Daftar Isi

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

LAPORAN UTAMA

WAWASAN PERENCANAAN

17

2

9

77

72

INFO IPTEK

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III Asosiasi Bappeda Seluruh Indonesia (Bappedaprovsi) yang dilaksanakan pada tanggal 8-10 Februari 2012 di Ambon merupakan tindak lanjut dari rapat serupa yang telah dilaksanakan pada Tahun 2011 di Banda Aceh. Tahun ini Provinsi Maluku mendapat kehormatan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Rakernas III Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia.

LIPUTAN KHUSUS RAKERNAS III ASOSIASI BAPPEDAPROVSI

Membangun Indonesia Melalui Perluasan Jejaring Perencanaan Pembangunan yang Bermutu dan Akuntabel antar Pemerintahan, Akademisi, Dunia Usaha dan Komunitas untuk Peningkatan Daya Saing Bangsa

Mewujudkan Perencanaan Pembangunan Masyarakat Pedesaan dalam Program Pengentasan Kemiskinan di Jawa Barat

Sistem Usaha Industri Kreatif yang Adaptif dan Dapat Dikonfigurasi Ulang di Jawa Barat

Indikator Kinerja dalam Akuntabilitas Perencanaan Pembangunan

Membangun Organisasi Berbasis Pengetahuan

23 Tinjauan Reflektif dalam Wacana Kemandirian Ekonomi dan Dinamika Pembangunan Jawa Barat ke Depan

29

36

50

57

62

66

INFO PERTANIAN

Dukungan Penyuluhan P2BN

“Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Barat Melalui Program Terpadu Alih Teknologi Pemanfaatan Bambu Berbasis Perdesaan”

Menggali Ide Menanggulangi Kemiskinan

Mewujudkan Pembangunan Masyarakat Perdesaan dalam Mengurangi Kemiskinan di Jawa Barat(suatu Konsep “pembangunan Partisipatif”)

43 Menuju Masyarakat Pedesaan Mandiri untuk Mengurangi Kemiskinan di Jawa Barat (Toward Independent Rural Community For Poverty Alleviation In West Java)

Mewujudkan Pembangunan Masyarakat Pedesaan dalam Mengurangi Kemiskinan di Jawa Barat

Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Barat

Page 2: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

LAPORAN UTAMA

2

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III Asosiasi Bappeda Seluruh Indonesia (Bappedaprovsi) yang dilaksanakan pada tanggal 8-10 Februari 2012 di Ambon merupakan tindak lanjut dari rapat serupa yang telah dilaksanakan pada Tahun 2011 di Banda Aceh. Tahun ini Provinsi Maluku mendapat kehormatan menjadi tuan

rumah penyelenggaraan Rakernas III Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia.

Rangkaian kegiatan Rakernas III, diawali sambutan Gubernur Maluku pada acara malam ramah tamah antara Peserta dengan Gubernur Maluku dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dilanjutkan paparan dan pengarahan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas. Rakernas III dibuka secara resmi oleh Gubernur Maluku, dihadiri Wakil Gubernur Maluku, Unsur Muspida dan para nara-sumber

______________________________________________________* Kasubbag. Pelayan Informasi dan Komunikasi Balai Pusdalisbang Pemprov. Jabar.** Kepala Bidang Pengembangan Wilayah dan Kerjasama

Pembangunan Bappeda Provinsi Maluku.

l Diding Wahyudin, S.Si., M.Si* dan Dr. Djalaludin Salam Pessy, M.Si **

dari Bappenas, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kemente-rian Dalam Negeri, serta Komisi Pemberantasan Korupsi.

Gubernur Maluku, Bapak Karel Albert Ralahalu, pada tanggal 9 Februari 2012 secara resmi membuka Rakernas III yang mengusung tema ”Membangun Indonesia melalui Per-luasan Jejaring Perencanaan Pembangunan yang Bermutu dan Akuntabel antara Peme-rintah dengan Dunia Usaha dan Komunitas untuk Peningkatan Daya Saing Bangsa”. Dalam sambutan pembukaan, Gubernur Maluku menyatakan bahwa peningkatan kualitas komu-nikasi Bappeda Provinsi dengan Kementerian/ Lembaga serta pemangku kepent ingan pembangunan lainnya adalah sangat penting, dalam rangka mewujudkan perencanaan pembangunan daerah secara sinergis, guna mendukung beban pekerjaan kepala daerah yang semakin berat.

Untuk itu Gubernur Maluku menyambut baik dan memberikan apresiasi terhadap kegiatan

yang digagas oleh Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia, Gubernur juga menyampai-kan ucapan terima kasih kepada Asosiasi Bappedaprovsi yang telah mempercayakan Provinsi Maluku sebagai tuan rumah penye-lenggaraan Rakernas III pada tahun ini. Gubernur berharap kegiatan Rakernas ini dapat memberikan dampak positif bagi upaya kerjasama antar daerah dalam menjawab tantangan kedepan.

Selain dihadiri oleh hampir seluruh Kepala Bappeda Provinsi atau yang mewakili dari seluruh Indonesia, acara Rakernas III juga dihadiri oleh para Bupati/Walikota dan Muspida Provinsi Maluku.

Ikon Unggulan Daerah Mendorong

Pertumbuhan EkonomiMengawali pelaksanaan Rakernas III

Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia, Rabu (8/2), di Hotel Aston Natsepa, Ambon. Menteri PPN/Kepala Bappenas, Prof. Dr. Armida

3

LAPORAN UTAMA

MEMBANGUN INDONESIA MELALUI PERLUASAN JEJARING PERENCANAAN PEMBANGUNAN YANG

BERMUTU DAN AKUNTABEL ANTAR PEMERINTAHAN, AKADEMISI, DUNIA USAHA DAN KOMUNITAS UNTUK PENINGKATAN DAYA SAING BANGSA

LIPUTAN KHUSUS RAKERNAS III ASOSIASI BAPPEDAPROVSI

Foto bersama Menteri PPN/Ka Bappenas dan Gubernur Maluku bersama Para Kepala Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia.(Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu (kedua dari kiri) saat membuka Rakernas III disaksikan Wakil Gubernur Maluku, Ir. Said Assagaf (paling kiri), Ketua Asosiasi Bappedaprovsi dan Ka Bappeda Provinsi Maluku, Ir. M.Z. Sangaji, M.Si. (paling kanan).

(Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 3: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

LAPORAN UTAMA

2

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III Asosiasi Bappeda Seluruh Indonesia (Bappedaprovsi) yang dilaksanakan pada tanggal 8-10 Februari 2012 di Ambon merupakan tindak lanjut dari rapat serupa yang telah dilaksanakan pada Tahun 2011 di Banda Aceh. Tahun ini Provinsi Maluku mendapat kehormatan menjadi tuan

rumah penyelenggaraan Rakernas III Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia.

Rangkaian kegiatan Rakernas III, diawali sambutan Gubernur Maluku pada acara malam ramah tamah antara Peserta dengan Gubernur Maluku dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dilanjutkan paparan dan pengarahan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas. Rakernas III dibuka secara resmi oleh Gubernur Maluku, dihadiri Wakil Gubernur Maluku, Unsur Muspida dan para nara-sumber

______________________________________________________* Kasubbag. Pelayan Informasi dan Komunikasi Balai Pusdalisbang Pemprov. Jabar.** Kepala Bidang Pengembangan Wilayah dan Kerjasama

Pembangunan Bappeda Provinsi Maluku.

l Diding Wahyudin, S.Si., M.Si* dan Dr. Djalaludin Salam Pessy, M.Si **

dari Bappenas, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kemente-rian Dalam Negeri, serta Komisi Pemberantasan Korupsi.

Gubernur Maluku, Bapak Karel Albert Ralahalu, pada tanggal 9 Februari 2012 secara resmi membuka Rakernas III yang mengusung tema ”Membangun Indonesia melalui Per-luasan Jejaring Perencanaan Pembangunan yang Bermutu dan Akuntabel antara Peme-rintah dengan Dunia Usaha dan Komunitas untuk Peningkatan Daya Saing Bangsa”. Dalam sambutan pembukaan, Gubernur Maluku menyatakan bahwa peningkatan kualitas komu-nikasi Bappeda Provinsi dengan Kementerian/ Lembaga serta pemangku kepent ingan pembangunan lainnya adalah sangat penting, dalam rangka mewujudkan perencanaan pembangunan daerah secara sinergis, guna mendukung beban pekerjaan kepala daerah yang semakin berat.

Untuk itu Gubernur Maluku menyambut baik dan memberikan apresiasi terhadap kegiatan

yang digagas oleh Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia, Gubernur juga menyampai-kan ucapan terima kasih kepada Asosiasi Bappedaprovsi yang telah mempercayakan Provinsi Maluku sebagai tuan rumah penye-lenggaraan Rakernas III pada tahun ini. Gubernur berharap kegiatan Rakernas ini dapat memberikan dampak positif bagi upaya kerjasama antar daerah dalam menjawab tantangan kedepan.

Selain dihadiri oleh hampir seluruh Kepala Bappeda Provinsi atau yang mewakili dari seluruh Indonesia, acara Rakernas III juga dihadiri oleh para Bupati/Walikota dan Muspida Provinsi Maluku.

Ikon Unggulan Daerah Mendorong

Pertumbuhan EkonomiMengawali pelaksanaan Rakernas III

Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia, Rabu (8/2), di Hotel Aston Natsepa, Ambon. Menteri PPN/Kepala Bappenas, Prof. Dr. Armida

3

LAPORAN UTAMA

MEMBANGUN INDONESIA MELALUI PERLUASAN JEJARING PERENCANAAN PEMBANGUNAN YANG

BERMUTU DAN AKUNTABEL ANTAR PEMERINTAHAN, AKADEMISI, DUNIA USAHA DAN KOMUNITAS UNTUK PENINGKATAN DAYA SAING BANGSA

LIPUTAN KHUSUS RAKERNAS III ASOSIASI BAPPEDAPROVSI

Foto bersama Menteri PPN/Ka Bappenas dan Gubernur Maluku bersama Para Kepala Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia.(Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu (kedua dari kiri) saat membuka Rakernas III disaksikan Wakil Gubernur Maluku, Ir. Said Assagaf (paling kiri), Ketua Asosiasi Bappedaprovsi dan Ka Bappeda Provinsi Maluku, Ir. M.Z. Sangaji, M.Si. (paling kanan).

(Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 4: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

S. Alisjahbana, menjadi keynote speaker, menyampaikan materi paparan Menggali Ikon Pembangunan Indonesia Berbasis Unggulan Provinsi, dengan Prioritas Rencana Kerja Pembangunan (RKP) Tahun 2013.

Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas, kemaju-an pembangunan nasional sangat bertumpu pada daya dukung karakteristik ekonomi di daerah. Keunggulan berbasis daerah, bisa menjadi cluster pertumbuhan bagi peningkatan dan pemetaan ekonomi. Dengan ikon yang khas, daerah bisa mengelola perencanaan sesuai karakteristik keunggul-an yang dimiliki masing-masing daerah. Namun demikian, harus tetap berpegang pada prinsip dan norma-norma perencanaan pembangunan nasional.

Selain hal tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas memaparkan tentang isu-isu strategis provinsi dalam RKP Tahun 2013 dan indikator pencapaian pelaksanaan Musrenbang Tahun 2012 sebagai bahan penyusunan RKP Tahun 2013. Beliau juga mengarahkan isu-isu strategis provinsi dalam usulan pendanaan pembangunan daerah dalam RKP Tahun 2013. Rencana Kerja Pemerintah merupakan penjabaran dari Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. RPJM Nasional menargetkan pertum-buhan ekonomi di level 7 persen, sedangkan APBN Tahun 2012 menargetkan sasaran pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 6,7 persen. Realisasi hingga kuartal III Tahun 2011 pertumbuhan PDB sebesar 6,5 persen.

Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas, strategi membangun daerah berbasis ikon daerah, dilandasi pada tiga cara pandang. Pertama, Aspek Demokrasi, yakni melalui aspirasi rakyat dan mekanisme check and balance. Kedua, Aspek Desentralisasi, dengan pendekatan pelayanan kepada masyarakat, termasuk mendorong inisiatif dan inovasi lokal. Ketiga, Aspek Globalisasi, tantangan globalisasi yang menghendaki perekonomian semakin terintegrasi, terutama dalam meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Intinya membangun ikon daerah harus mengakui kebe-ragaman antar daerah. Untuk mengikat perencanaan yang terintegrasi, Bappenas telah menyusun pem-bangunan nasional bersendikan potensi daerah dan kebersamaan, dengan mekanisme ekonomi dan kebijakan alternatif.

LAPORAN UTAMA

4

Langkah tersebut di lakukan dengan mengguna-kan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk strategi peningkatan kesejah-teraan dan pengurangan kemiskinan. Sedangkan cara lain dilakukan dengan memetakan konsolidasi dan sinkronisasi melalui MP3KI. Pada dasarnya pemerintah memiliki arah dan kebijakan serta aturan untuk meningkatkan perencanaan sesuai potensi, keunggulan dan kebersamaan.

Asosiasi Ingin Memperbaiki

Kualitas PerencanaanDalam keterangannya kepada media Harian

Pagi Info Baru, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat yang saat ini menjadi Ketua Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia, Prof. Dr. Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA., menjelaskan, dibentuknya Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia bertujuan untuk menjalin kerjasama antar Bappeda di 33 provinsi, agar turut memperbaiki kualitas perencanaan pem-bangunan di daerah masing-masing. Harapan-nya, koordinasi dan perluasan jejaring peren-

LAPORAN UTAMA

5

canaan pembangunan antar provinsi dalam asosiasi ini bisa mendukung perencanaan pembangunan nasional.

Menurut Ketua Asosiasi, motivasi Rakernas III tahun ini ingin mendorong peran serta para pemangku kepentingan pembangunan yang meliputi pemerintah, akademisi, dunia usaha dan komunitas. Asosiasi ingin menggabungkan keempat komponen tersebut dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah, karena perencanaan pembangunan sangat tergantung situasi dan potensi daerah. Dengan dilibatkannya unsur komunitas, diharapkan bisa memberi nuansa perencanaan yang lebih kompleks. Sebab isu-isu komunitas telah menjadi isu penting dewasa ini, namun seringkali tidak tertangani dengan baik. Salah satunya karena lemahnya perencanaan.

Mengenai ikon dan keunggulan daerah, dikatakan ketua asosiasi, bahwa setiap daerah memiliki keunggulan masing-masing terutama pada bidang sumber daya alam, pariwisata dan lain-lain. Diharapkan keunggulan tersebut menjadi ikon masing-masing provinsi dan dapat dikembangkan sesuai keunggulan spesifik di daerah.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Bapak Azwar Abubakar (Kiri) bersama Penasehat KPK, Abdullah Hehamahua (Kanan) menjadi panelis diskusi, dipandu Wakil Gubernur Maluku, Bapak Ir. Said Assagaf, M.Sc. (Tengah). (Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

Ka Bappeda Provinsi Sumsel, Ir.Yohannes Hasiholan Toruan, M.Sc. (berdiri) saat menyampaikan pendapat pada acara Dialog dengan Menteri PPN/Ka Bappenas, di Hotel Aston Natsepa – Ambon, Rabu (8/2). (Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 5: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

S. Alisjahbana, menjadi keynote speaker, menyampaikan materi paparan Menggali Ikon Pembangunan Indonesia Berbasis Unggulan Provinsi, dengan Prioritas Rencana Kerja Pembangunan (RKP) Tahun 2013.

Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas, kemaju-an pembangunan nasional sangat bertumpu pada daya dukung karakteristik ekonomi di daerah. Keunggulan berbasis daerah, bisa menjadi cluster pertumbuhan bagi peningkatan dan pemetaan ekonomi. Dengan ikon yang khas, daerah bisa mengelola perencanaan sesuai karakteristik keunggul-an yang dimiliki masing-masing daerah. Namun demikian, harus tetap berpegang pada prinsip dan norma-norma perencanaan pembangunan nasional.

Selain hal tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas memaparkan tentang isu-isu strategis provinsi dalam RKP Tahun 2013 dan indikator pencapaian pelaksanaan Musrenbang Tahun 2012 sebagai bahan penyusunan RKP Tahun 2013. Beliau juga mengarahkan isu-isu strategis provinsi dalam usulan pendanaan pembangunan daerah dalam RKP Tahun 2013. Rencana Kerja Pemerintah merupakan penjabaran dari Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. RPJM Nasional menargetkan pertum-buhan ekonomi di level 7 persen, sedangkan APBN Tahun 2012 menargetkan sasaran pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 6,7 persen. Realisasi hingga kuartal III Tahun 2011 pertumbuhan PDB sebesar 6,5 persen.

Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas, strategi membangun daerah berbasis ikon daerah, dilandasi pada tiga cara pandang. Pertama, Aspek Demokrasi, yakni melalui aspirasi rakyat dan mekanisme check and balance. Kedua, Aspek Desentralisasi, dengan pendekatan pelayanan kepada masyarakat, termasuk mendorong inisiatif dan inovasi lokal. Ketiga, Aspek Globalisasi, tantangan globalisasi yang menghendaki perekonomian semakin terintegrasi, terutama dalam meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Intinya membangun ikon daerah harus mengakui kebe-ragaman antar daerah. Untuk mengikat perencanaan yang terintegrasi, Bappenas telah menyusun pem-bangunan nasional bersendikan potensi daerah dan kebersamaan, dengan mekanisme ekonomi dan kebijakan alternatif.

LAPORAN UTAMA

4

Langkah tersebut di lakukan dengan mengguna-kan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk strategi peningkatan kesejah-teraan dan pengurangan kemiskinan. Sedangkan cara lain dilakukan dengan memetakan konsolidasi dan sinkronisasi melalui MP3KI. Pada dasarnya pemerintah memiliki arah dan kebijakan serta aturan untuk meningkatkan perencanaan sesuai potensi, keunggulan dan kebersamaan.

Asosiasi Ingin Memperbaiki

Kualitas PerencanaanDalam keterangannya kepada media Harian

Pagi Info Baru, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat yang saat ini menjadi Ketua Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia, Prof. Dr. Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA., menjelaskan, dibentuknya Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia bertujuan untuk menjalin kerjasama antar Bappeda di 33 provinsi, agar turut memperbaiki kualitas perencanaan pem-bangunan di daerah masing-masing. Harapan-nya, koordinasi dan perluasan jejaring peren-

LAPORAN UTAMA

5

canaan pembangunan antar provinsi dalam asosiasi ini bisa mendukung perencanaan pembangunan nasional.

Menurut Ketua Asosiasi, motivasi Rakernas III tahun ini ingin mendorong peran serta para pemangku kepentingan pembangunan yang meliputi pemerintah, akademisi, dunia usaha dan komunitas. Asosiasi ingin menggabungkan keempat komponen tersebut dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah, karena perencanaan pembangunan sangat tergantung situasi dan potensi daerah. Dengan dilibatkannya unsur komunitas, diharapkan bisa memberi nuansa perencanaan yang lebih kompleks. Sebab isu-isu komunitas telah menjadi isu penting dewasa ini, namun seringkali tidak tertangani dengan baik. Salah satunya karena lemahnya perencanaan.

Mengenai ikon dan keunggulan daerah, dikatakan ketua asosiasi, bahwa setiap daerah memiliki keunggulan masing-masing terutama pada bidang sumber daya alam, pariwisata dan lain-lain. Diharapkan keunggulan tersebut menjadi ikon masing-masing provinsi dan dapat dikembangkan sesuai keunggulan spesifik di daerah.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Bapak Azwar Abubakar (Kiri) bersama Penasehat KPK, Abdullah Hehamahua (Kanan) menjadi panelis diskusi, dipandu Wakil Gubernur Maluku, Bapak Ir. Said Assagaf, M.Sc. (Tengah). (Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

Ka Bappeda Provinsi Sumsel, Ir.Yohannes Hasiholan Toruan, M.Sc. (berdiri) saat menyampaikan pendapat pada acara Dialog dengan Menteri PPN/Ka Bappenas, di Hotel Aston Natsepa – Ambon, Rabu (8/2). (Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 6: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Ketua Asosiasi Bappedaprovsi saat memandu acara Dialog Menteri PPN/Ka Bappenas dengan Para Kepala Bappeda Provinsi Se Indonesia di Hotel Aston Natsepa – Ambon, Rabu (8/2). (Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

Ka Bappeda DKI Jakarta, Ir. Sarwo Handhayani, Msi. (tengah) sedang berdikusi dengan Menpan disaksikan Ketua Asosiasi Bappedaprovsi, di Hotel Aston Natsepa – Ambon,Kamis (9/2). (Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

LAPORAN UTAMA

Berkaitan dengan target RPJM Nasional. Untuk memperlancar program RPJM Nasional agar berjalan mulus di daerah, maka perlu memperluas jejaring perencanaan pembangunan antara Pusat dan Daerah. Karena daerah juga memiliki agenda sendiri, maka Pemerintah Pusat harus mendorong setiap provinsi memiliki program unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga terjadi dua arah perencanaan pembangunan untuk saling bersinkronisasi.

Pada sesi berikutnya, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat bersama Kepala Bappeda DKI Jakarta, Ir. Sarwo Handhayani, Msi. menjadi panelis diskusi, yang dipandu oleh Kepala Bappeda Provinsi Maluku, Bapak Ir. M.Z. Sangaji, M.Si. Masing-masing panelis menyam-paikan materi paparan tentang Perencanaan Pembangunan Komprehensif Skala Provinsi berbasis Kompetisi dan Tindaklanjut Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK).

Perkuat Pengawasan PerencanaanMenteri Pendayagunaan Aparatur Negara

dan Reformasi Birokrasi, Bapak Azwar Abubakar

6 7

bersama Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi panelis diskusi, yang dipandu Wakil Gubernur Maluku, Bapak Ir. Said Assagaf, di hari kedua pelaksanaan Rakernas III Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia.

B a d a n P e m e r i k s a K e u a n g a n d a n Pembangunan (BPKP) diminta lebih optimal menjalankan pengawasan, agar menghindari tindak pindana korupsi dan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat negara. Pengawasan harus dilakukan secara ketat dengan memeriksa semua dokumen perencanaan dan implementasi program. Hal ini ditegaskan Menpan pada saat menyampaikan paparannya. Menurut Menpan, pengawasan yang ketat, merupakan syarat bagi tata kelola birokrasi yang bersih dan akuntabel.

Menpan berharap pengawasan diperketat bahkan sejak perencanaan. BPKP harus memberikan peran pengawasan yang optimal, apabila menemukan potensi penyalahgunaan kewenangan, agar diberitahukan kepada instansi terkait, sehingga ada perbaikan. Namun jika itu menyangkut dugaan korupsi, harus disampaikan kepada penegak hukum.

Menpan berjanji akan menindak tegas oknum PNS yang terlibat tindakan korupsi, bila

perlu akan diberikan sangsi tegas, berupa pemecatan. Beliau tidak menampik masih ada kendala pengawasan, terutama minimnya sumber daya manusia, kinerja kelembagaan dan dukungan teknologi. Menpan menandaskan reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan mulus, progresnya baru sekitar 25 persen. Meskipun demikian, Menpan terus berupaya memperbaiki kinerja birokrasi, apartur dan kelembagaan. Menurutnya, Kementeriaan Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terus berupaya agar konsep reformasi birokrasi benar-benar efektif di Indonesia.

Transparansi dan Akuntabilitas

Pembangunan DaerahPenasehat KPK, Abdullah Hehamahua,

menyoroti sistem tata kelola pemerintahan yang rendah dan rentan korupsi, salah satu sebabnya karena rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia. Akibat gaji yang rendah tersebut, PNS yang jujur harus menyiasati hidup dengan bekerja sampingan. Selain itu, ada kendala lain, yakni belum terintegrasinya tata kelola sistem pemerintahan dan kurang

maksimalnya penegakan hukum. Hal ini menciptakan korupsi tumbuh subur di Indonesia, model pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup dengan adanya KPK, namun juga harus dilakukan secara komprehensif.

Gejala budaya birokrasi yang tidak sehat seperti itu, telah ditopang oleh sistem yang korup sejak lama, akibatnya masyarakat menjadi permisif. Karena itu, beliau menghimbau agar ada role model pemberantasan korupsi. Visi KPK adalah menjadi Indonesia bebas dari korupsi, namun itu tidak bisa dilakukan jika sistemnya korup. Hukum hanya bisa tegak jika sistem pendukung termasuk masyarakatnya mendukung pemberantasan korupsi.

Menurutnya pada level menengah ada kesadaran yang tinggi soal pemberantasan korupsi, namun pada level bawah masyarakat masih sangat permisif. Padahal dalam kerangka pencegahan korupsi, sikap permisif masyarakat di level bawah cukup memberikan andil penting.

Sejauh ini, KPK telah menggunakan strategi pemberantasan korupsi melalui empat langkah. Yakni pencegahan korupsi, penindakan korupsi, pelibatan dan peran serta masyarakat, serta penguatan kelembagaan. Salah satu pilar

LAPORAN UTAMA

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 7: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Ketua Asosiasi Bappedaprovsi saat memandu acara Dialog Menteri PPN/Ka Bappenas dengan Para Kepala Bappeda Provinsi Se Indonesia di Hotel Aston Natsepa – Ambon, Rabu (8/2). (Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

Ka Bappeda DKI Jakarta, Ir. Sarwo Handhayani, Msi. (tengah) sedang berdikusi dengan Menpan disaksikan Ketua Asosiasi Bappedaprovsi, di Hotel Aston Natsepa – Ambon,Kamis (9/2). (Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

LAPORAN UTAMA

Berkaitan dengan target RPJM Nasional. Untuk memperlancar program RPJM Nasional agar berjalan mulus di daerah, maka perlu memperluas jejaring perencanaan pembangunan antara Pusat dan Daerah. Karena daerah juga memiliki agenda sendiri, maka Pemerintah Pusat harus mendorong setiap provinsi memiliki program unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga terjadi dua arah perencanaan pembangunan untuk saling bersinkronisasi.

Pada sesi berikutnya, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat bersama Kepala Bappeda DKI Jakarta, Ir. Sarwo Handhayani, Msi. menjadi panelis diskusi, yang dipandu oleh Kepala Bappeda Provinsi Maluku, Bapak Ir. M.Z. Sangaji, M.Si. Masing-masing panelis menyam-paikan materi paparan tentang Perencanaan Pembangunan Komprehensif Skala Provinsi berbasis Kompetisi dan Tindaklanjut Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK).

Perkuat Pengawasan PerencanaanMenteri Pendayagunaan Aparatur Negara

dan Reformasi Birokrasi, Bapak Azwar Abubakar

6 7

bersama Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi panelis diskusi, yang dipandu Wakil Gubernur Maluku, Bapak Ir. Said Assagaf, di hari kedua pelaksanaan Rakernas III Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia.

B a d a n P e m e r i k s a K e u a n g a n d a n Pembangunan (BPKP) diminta lebih optimal menjalankan pengawasan, agar menghindari tindak pindana korupsi dan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat negara. Pengawasan harus dilakukan secara ketat dengan memeriksa semua dokumen perencanaan dan implementasi program. Hal ini ditegaskan Menpan pada saat menyampaikan paparannya. Menurut Menpan, pengawasan yang ketat, merupakan syarat bagi tata kelola birokrasi yang bersih dan akuntabel.

Menpan berharap pengawasan diperketat bahkan sejak perencanaan. BPKP harus memberikan peran pengawasan yang optimal, apabila menemukan potensi penyalahgunaan kewenangan, agar diberitahukan kepada instansi terkait, sehingga ada perbaikan. Namun jika itu menyangkut dugaan korupsi, harus disampaikan kepada penegak hukum.

Menpan berjanji akan menindak tegas oknum PNS yang terlibat tindakan korupsi, bila

perlu akan diberikan sangsi tegas, berupa pemecatan. Beliau tidak menampik masih ada kendala pengawasan, terutama minimnya sumber daya manusia, kinerja kelembagaan dan dukungan teknologi. Menpan menandaskan reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan mulus, progresnya baru sekitar 25 persen. Meskipun demikian, Menpan terus berupaya memperbaiki kinerja birokrasi, apartur dan kelembagaan. Menurutnya, Kementeriaan Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terus berupaya agar konsep reformasi birokrasi benar-benar efektif di Indonesia.

Transparansi dan Akuntabilitas

Pembangunan DaerahPenasehat KPK, Abdullah Hehamahua,

menyoroti sistem tata kelola pemerintahan yang rendah dan rentan korupsi, salah satu sebabnya karena rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia. Akibat gaji yang rendah tersebut, PNS yang jujur harus menyiasati hidup dengan bekerja sampingan. Selain itu, ada kendala lain, yakni belum terintegrasinya tata kelola sistem pemerintahan dan kurang

maksimalnya penegakan hukum. Hal ini menciptakan korupsi tumbuh subur di Indonesia, model pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup dengan adanya KPK, namun juga harus dilakukan secara komprehensif.

Gejala budaya birokrasi yang tidak sehat seperti itu, telah ditopang oleh sistem yang korup sejak lama, akibatnya masyarakat menjadi permisif. Karena itu, beliau menghimbau agar ada role model pemberantasan korupsi. Visi KPK adalah menjadi Indonesia bebas dari korupsi, namun itu tidak bisa dilakukan jika sistemnya korup. Hukum hanya bisa tegak jika sistem pendukung termasuk masyarakatnya mendukung pemberantasan korupsi.

Menurutnya pada level menengah ada kesadaran yang tinggi soal pemberantasan korupsi, namun pada level bawah masyarakat masih sangat permisif. Padahal dalam kerangka pencegahan korupsi, sikap permisif masyarakat di level bawah cukup memberikan andil penting.

Sejauh ini, KPK telah menggunakan strategi pemberantasan korupsi melalui empat langkah. Yakni pencegahan korupsi, penindakan korupsi, pelibatan dan peran serta masyarakat, serta penguatan kelembagaan. Salah satu pilar

LAPORAN UTAMA

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 8: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

penguatan kelembagaan itu dilakukan oleh Menpan/RB. KPK memiliki domain pada penindakan korupsi, masyarakat memiliki domain pada pencegahan, sedang pemerintah (ekse-kutif) pada domain penguatan kelembagaan. Keempat pilar tersebut diharapkan bisa bergerak secara bersama. Namun, karena ini menyangkut sistem, oleh karenanya harus dimulai dari pemerintah. Pada Tahun 2005 ada kebijakan reformasi birokrasi di lembaga KPK yang dilakukan melalui empat pilar, yakni SDM, Renumerasi, Informasi Teknologi dan Tunjangan Jabatan. KPK bahkan telah mengusulkan agar rekrutmen PNS dilakukan melalui e-announce-ment procurement, untuk menghindari joki.

Transparansi dan akuntabilitas aparatur sangat penting sekali dalam penegakkan korupsi. Karena itu, pejabat yang jujur selalu tertib melaporkan harta dan kekayaannya. KPK menerima laporan harta kekayaan para pejabat, melalui inspektorat atau atasan langsungnya. Penasehat KPK menegaskan, setiap ada pelantikan pejabat eselon I dan II segera

laporkan harta kekayaannya kepada KPK, hal ini perlu dilakukan untuk memeriksa apakah orangnya mencurigakan atau tidak.

PenutupAcara Rakernas III Asosiasi Bappeda

Provinsi Seluruh Indonesia secara resmi ditutup oleh Sekretaris Daerah Provinsi Maluku mewakili Gubernur, yang ditandai dengan penanda-tangangan Deklarasi Ambon. Pembacaan Deklarasi Ambon hasil kesepakatan Rakernas disampaikan oleh Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Timur, Bapak DR. Ir. H. Rusmadi, MS. yang akan menjadi tuan rumah penyeleng-garaan Rakernas IV Tahun 2013.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Gubernur Maluku beserta seluruh panitia penyelenggara, atas dukungan dan apresiasi yang tinggi sehingga acara Rakernas III Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia Tahun 2012 dapat terselenggara dengan sukses dan lancar. Sampai bertemu lagi pada acara Rakernas tahun depan di Provinsi Kalimantan Timur. 6

Dari Maluku Ke Kalimantan Timur : Ka Bappeda Provinsi Maluku (kiri) sebagai Ketua Penyelenggara Rakernas III menyempatkan berfoto bersama Ka Bappeda Provinsi Kaltim sebagai calon tuan rumah penyelenggara Rakernas IV Tahun 2013, dan Ketua Asosiasi

Bappedaprovsi, di Hotel Aston Natsepa – Ambon, Rabu (8/2). (Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

LAPORAN UTAMA

8

A. PendahuluanKonsep pembangunan di Indonesia adalah

pembangunan yang berkelanjutan, yaitu suatu konsep pembangunan yang harus mampu memenuhi kebutuhan generasi saat ini dengan

bangan dalam kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses pembangunan. Strategi untuk mendapatkan keseimbangan tersebut adalah melalui strategi pemberdayaan masyarakat. UU No.32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa dasar dari pembangunan adalah kewilayahan, kemandirian dan pemberdayaan. Secara kewilayahan dasar pembangunan adalah kabupaten sebagai daerah otonom yang menguasai atas wilayah dan sumber daya alam yang operasionalisasinya ada pada tingkat desa Desa didefinisikan secara

l Septiana Dwiputrianti* dan Muhamad Nur Afandi**

_______________________________________* Pembantu Ketua I Bidang STIA LAN Bandung, ** Dosen di STIA LAN Bandung.

MEWUJUDKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT PEDESAAN

DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI JAWA BARAT

memperhatikan kemampuan generasi mendatang. Maka, untuk mewujudkan konsep pembangunan yang berke-lanjutan perlu ada keseim-

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Wawasan Perencanaan

9Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 9: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

penguatan kelembagaan itu dilakukan oleh Menpan/RB. KPK memiliki domain pada penindakan korupsi, masyarakat memiliki domain pada pencegahan, sedang pemerintah (ekse-kutif) pada domain penguatan kelembagaan. Keempat pilar tersebut diharapkan bisa bergerak secara bersama. Namun, karena ini menyangkut sistem, oleh karenanya harus dimulai dari pemerintah. Pada Tahun 2005 ada kebijakan reformasi birokrasi di lembaga KPK yang dilakukan melalui empat pilar, yakni SDM, Renumerasi, Informasi Teknologi dan Tunjangan Jabatan. KPK bahkan telah mengusulkan agar rekrutmen PNS dilakukan melalui e-announce-ment procurement, untuk menghindari joki.

Transparansi dan akuntabilitas aparatur sangat penting sekali dalam penegakkan korupsi. Karena itu, pejabat yang jujur selalu tertib melaporkan harta dan kekayaannya. KPK menerima laporan harta kekayaan para pejabat, melalui inspektorat atau atasan langsungnya. Penasehat KPK menegaskan, setiap ada pelantikan pejabat eselon I dan II segera

laporkan harta kekayaannya kepada KPK, hal ini perlu dilakukan untuk memeriksa apakah orangnya mencurigakan atau tidak.

PenutupAcara Rakernas III Asosiasi Bappeda

Provinsi Seluruh Indonesia secara resmi ditutup oleh Sekretaris Daerah Provinsi Maluku mewakili Gubernur, yang ditandai dengan penanda-tangangan Deklarasi Ambon. Pembacaan Deklarasi Ambon hasil kesepakatan Rakernas disampaikan oleh Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Timur, Bapak DR. Ir. H. Rusmadi, MS. yang akan menjadi tuan rumah penyeleng-garaan Rakernas IV Tahun 2013.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Gubernur Maluku beserta seluruh panitia penyelenggara, atas dukungan dan apresiasi yang tinggi sehingga acara Rakernas III Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia Tahun 2012 dapat terselenggara dengan sukses dan lancar. Sampai bertemu lagi pada acara Rakernas tahun depan di Provinsi Kalimantan Timur. 6

Dari Maluku Ke Kalimantan Timur : Ka Bappeda Provinsi Maluku (kiri) sebagai Ketua Penyelenggara Rakernas III menyempatkan berfoto bersama Ka Bappeda Provinsi Kaltim sebagai calon tuan rumah penyelenggara Rakernas IV Tahun 2013, dan Ketua Asosiasi

Bappedaprovsi, di Hotel Aston Natsepa – Ambon, Rabu (8/2). (Lok. Kota Ambon, dok. Pusdalisbang Jabar).

LAPORAN UTAMA

8

A. PendahuluanKonsep pembangunan di Indonesia adalah

pembangunan yang berkelanjutan, yaitu suatu konsep pembangunan yang harus mampu memenuhi kebutuhan generasi saat ini dengan

bangan dalam kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses pembangunan. Strategi untuk mendapatkan keseimbangan tersebut adalah melalui strategi pemberdayaan masyarakat. UU No.32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa dasar dari pembangunan adalah kewilayahan, kemandirian dan pemberdayaan. Secara kewilayahan dasar pembangunan adalah kabupaten sebagai daerah otonom yang menguasai atas wilayah dan sumber daya alam yang operasionalisasinya ada pada tingkat desa Desa didefinisikan secara

l Septiana Dwiputrianti* dan Muhamad Nur Afandi**

_______________________________________* Pembantu Ketua I Bidang STIA LAN Bandung, ** Dosen di STIA LAN Bandung.

MEWUJUDKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT PEDESAAN

DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI JAWA BARAT

memperhatikan kemampuan generasi mendatang. Maka, untuk mewujudkan konsep pembangunan yang berke-lanjutan perlu ada keseim-

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Wawasan Perencanaan

9Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 10: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

10

Wawasan Perencanaan

11

formal dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.

Dalam sistem pemerintahan khususnya pemerintahan pedesaan, pemerintahan desa dipimpin oleh Kepala Desa yaitu kepala pemerintah desa yang dipilih langsung oleh peduduk desa. Seorang kepala desa bertang-gung jawab dalam bidang pembangunan, kemasyarakatan, dan pemerintahan. Secara kewilayahan dasar pembangunan adalah kabu-paten sebagai daerah otonom yang menguasai atas wilayah dan sumber daya alam, sedangkan operasio-nalisasinya ada pada tingkat desa. Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005, menujukkan posisi desa semakin strategis dalam proses pembangunan. Alasan-nya, desa merupakan perpanjangan fungsi pemerintah yang diakui keberadaannya secara

adat, sehingga memiliki kewenangan dalam mengatur urusan-urusan pembangunan yang sifatnya lokal (otonom desa).

Dengan dilakukannya kegiatan pembangun-an dipedesaan diharapkan dapat mengurangi ketimpangan dalam pembangunan yang dilaku-kan oleh pemerintah dengan harapan dapat mengurangi tingkat kemiskinan di daerah. Tujuan pembangunan masyarakat desa sebagai bagian dari pembangunan nasional tentu saja tidak terlepas dari pola pembangunan secara kese-luruhan yang dituangkan dalam perencanaan pembangunan pedesaan. Khairudin (1992:67) menyebutkan bahwa tujuan pembangunan di pedesaan lebih sering ditekankan pada bidang ekonomi sebab kondisi ekonomi inilah yang pada umumnya sangat memprihatinkan. Untuk itu pe-merataan pembangunan masyarakat pedesaan sangat penting untuk meningkatkan tarap kehi-

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

dupan masyarakat pedesaan dalam mengurangi kemiskinan yang ada dengan meningkatkan pembangunan desa.

Perencanaan sangat penting dilakukan untuk merencanakan program-program di masa yang akan datang. Bintoro Tjoroamidjojo (1977:12) menyampaikan bahwa perencanaan dalam arti yang seluas-luasnya tidak lain adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu. Oleh karena itu pada hakekatnya terdapat pada setiap jenis usaha manusia.

B. PEMBANGUNAN MASYARAKAT

PEDESAANIndonesia mempunyai lebih dari 6000 desa

yang tersebar di kabupaten dan kota yang ada mulai dari Sabang sampai dengan Irian Jaya. Kondisi desa tersebut tentu saja tidak persis sama ditinjau dari segi geografis, sosial budaya, perekonomian dan tingkat perkembangannya. Ada beberapa pendekatan yang sering diguna-kan dalam pembangunan masyarakat desa salah satunya adalah pendekatan partisipasif. Pen-dekatan ini berdasarkan pada asumsi bahwa penduduk pedesaan adalah subjek pembangun-an, sumber daya manusia yang potensial (Khairudin 1992).

Provinsi Jawa Barat terdiri dari 26 kab/kota, meliputi 17 Kabupaten dan 9 Kota, Sedangkan jumlah kecamatan 625, daerah perkotaan 2.659 dan 3.221 perdesaan. Kabupaten yang memiliki jumlah desa yang paling banyak terdapat di Kabupaten Tasikmalaya yaitu 275 desa dan Kabupaten Ciamis berjumlah 273 desa, sementara kabupaten/kota yang memiliki jumlah Desa yang paling sedikit adalah Kotif Cimahi yaitu ada 8 Desa.

Dalam konsep pembangunan, pembangunan merupakan suatu proses perubahan terencana menuju arah yang lebih baik di segala aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat, untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat desa sebagai suatu sistem sosial umumnya digambarkan relatif

belum maju, terkait pada norma-norma setempat yang bersifat tradisional secara statis. Perubahan yang terjadi umumnya berjalan sangat lamban. Selain itu masyarakat desa digambarkan sebagai sistem sosial yang utuh yang terbentuk oleh berbagai unsur atau subsistem.

Organisasi Pemerintah Desa sebagai salah satu unsur sub sistem dari sistem sosial masyarakat desa dengan sendirinya memiliki pula karakteristrik yang mewarnai sistemnya. Adanya otonomi desa diharapkan bermuara pada kemandirian desa sebagai suatu subsistem pemerintah terendah yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pemerintahan nasional yang memer-lukan pendekatan secara komperhensif, integral konsisten, dan terus-menerus, oleh sebab itu permasalahan yang dihadapi desa bersifat struktural.

Ketidakkonsistenan pemerintahan desa ter-hadap pembinaan dan pengelolaan penyeleng-garaan pemerintahan desa, sejak dulu hingga saat ini mengakibatkan kebijakan selalu berubah-ubah yang mengakibatkan keterpurukan bagi desa. Selain itu implementasi kebijakan terhadap pemerintahan desa tidak berdasar pada karak-teristrik masyarakatnya, dan hal ini mengakibat-kan ketidakberdayaan dan ketergantungan. Empat komponen pokok dari desa, yaitu menyangkut tata kepemimpinan, tata peme-rintahan, tata kemasyarakatan serta tata ruang dan lingkungan, secara integral merupakan unsur penyusun desa secara keseluruhan.

Oleh sebab itu untuk membangun dan mengembangkan desa menuju suatu keman-dirian melalui pemberian otonomi utuh yang dilaksanakan melalui pendekatan secara komprehensif. Pembangunan yang berorientasi pada unsur manusianya berarti pula memper-siapkan manusia untuk ikut aktif dalam proses pembangunan yang berkesinambungan (sus-tainable). Hal itu berarti pembangunan yang diciptakan dari masyarakat sendiri, oleh masya-rakat dan untuk semua masyarakat. Dengan demikian setiap anggota masyarakat harus ikut serta dalam setiap tahap pembangunan sesuai dengan kemampuannya. Dalam rangka me-wujudkan tujuan pembangunan nasional,

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 11: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

10

Wawasan Perencanaan

11

formal dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.

Dalam sistem pemerintahan khususnya pemerintahan pedesaan, pemerintahan desa dipimpin oleh Kepala Desa yaitu kepala pemerintah desa yang dipilih langsung oleh peduduk desa. Seorang kepala desa bertang-gung jawab dalam bidang pembangunan, kemasyarakatan, dan pemerintahan. Secara kewilayahan dasar pembangunan adalah kabu-paten sebagai daerah otonom yang menguasai atas wilayah dan sumber daya alam, sedangkan operasio-nalisasinya ada pada tingkat desa. Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005, menujukkan posisi desa semakin strategis dalam proses pembangunan. Alasan-nya, desa merupakan perpanjangan fungsi pemerintah yang diakui keberadaannya secara

adat, sehingga memiliki kewenangan dalam mengatur urusan-urusan pembangunan yang sifatnya lokal (otonom desa).

Dengan dilakukannya kegiatan pembangun-an dipedesaan diharapkan dapat mengurangi ketimpangan dalam pembangunan yang dilaku-kan oleh pemerintah dengan harapan dapat mengurangi tingkat kemiskinan di daerah. Tujuan pembangunan masyarakat desa sebagai bagian dari pembangunan nasional tentu saja tidak terlepas dari pola pembangunan secara kese-luruhan yang dituangkan dalam perencanaan pembangunan pedesaan. Khairudin (1992:67) menyebutkan bahwa tujuan pembangunan di pedesaan lebih sering ditekankan pada bidang ekonomi sebab kondisi ekonomi inilah yang pada umumnya sangat memprihatinkan. Untuk itu pe-merataan pembangunan masyarakat pedesaan sangat penting untuk meningkatkan tarap kehi-

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

dupan masyarakat pedesaan dalam mengurangi kemiskinan yang ada dengan meningkatkan pembangunan desa.

Perencanaan sangat penting dilakukan untuk merencanakan program-program di masa yang akan datang. Bintoro Tjoroamidjojo (1977:12) menyampaikan bahwa perencanaan dalam arti yang seluas-luasnya tidak lain adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu. Oleh karena itu pada hakekatnya terdapat pada setiap jenis usaha manusia.

B. PEMBANGUNAN MASYARAKAT

PEDESAANIndonesia mempunyai lebih dari 6000 desa

yang tersebar di kabupaten dan kota yang ada mulai dari Sabang sampai dengan Irian Jaya. Kondisi desa tersebut tentu saja tidak persis sama ditinjau dari segi geografis, sosial budaya, perekonomian dan tingkat perkembangannya. Ada beberapa pendekatan yang sering diguna-kan dalam pembangunan masyarakat desa salah satunya adalah pendekatan partisipasif. Pen-dekatan ini berdasarkan pada asumsi bahwa penduduk pedesaan adalah subjek pembangun-an, sumber daya manusia yang potensial (Khairudin 1992).

Provinsi Jawa Barat terdiri dari 26 kab/kota, meliputi 17 Kabupaten dan 9 Kota, Sedangkan jumlah kecamatan 625, daerah perkotaan 2.659 dan 3.221 perdesaan. Kabupaten yang memiliki jumlah desa yang paling banyak terdapat di Kabupaten Tasikmalaya yaitu 275 desa dan Kabupaten Ciamis berjumlah 273 desa, sementara kabupaten/kota yang memiliki jumlah Desa yang paling sedikit adalah Kotif Cimahi yaitu ada 8 Desa.

Dalam konsep pembangunan, pembangunan merupakan suatu proses perubahan terencana menuju arah yang lebih baik di segala aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat, untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat desa sebagai suatu sistem sosial umumnya digambarkan relatif

belum maju, terkait pada norma-norma setempat yang bersifat tradisional secara statis. Perubahan yang terjadi umumnya berjalan sangat lamban. Selain itu masyarakat desa digambarkan sebagai sistem sosial yang utuh yang terbentuk oleh berbagai unsur atau subsistem.

Organisasi Pemerintah Desa sebagai salah satu unsur sub sistem dari sistem sosial masyarakat desa dengan sendirinya memiliki pula karakteristrik yang mewarnai sistemnya. Adanya otonomi desa diharapkan bermuara pada kemandirian desa sebagai suatu subsistem pemerintah terendah yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pemerintahan nasional yang memer-lukan pendekatan secara komperhensif, integral konsisten, dan terus-menerus, oleh sebab itu permasalahan yang dihadapi desa bersifat struktural.

Ketidakkonsistenan pemerintahan desa ter-hadap pembinaan dan pengelolaan penyeleng-garaan pemerintahan desa, sejak dulu hingga saat ini mengakibatkan kebijakan selalu berubah-ubah yang mengakibatkan keterpurukan bagi desa. Selain itu implementasi kebijakan terhadap pemerintahan desa tidak berdasar pada karak-teristrik masyarakatnya, dan hal ini mengakibat-kan ketidakberdayaan dan ketergantungan. Empat komponen pokok dari desa, yaitu menyangkut tata kepemimpinan, tata peme-rintahan, tata kemasyarakatan serta tata ruang dan lingkungan, secara integral merupakan unsur penyusun desa secara keseluruhan.

Oleh sebab itu untuk membangun dan mengembangkan desa menuju suatu keman-dirian melalui pemberian otonomi utuh yang dilaksanakan melalui pendekatan secara komprehensif. Pembangunan yang berorientasi pada unsur manusianya berarti pula memper-siapkan manusia untuk ikut aktif dalam proses pembangunan yang berkesinambungan (sus-tainable). Hal itu berarti pembangunan yang diciptakan dari masyarakat sendiri, oleh masya-rakat dan untuk semua masyarakat. Dengan demikian setiap anggota masyarakat harus ikut serta dalam setiap tahap pembangunan sesuai dengan kemampuannya. Dalam rangka me-wujudkan tujuan pembangunan nasional,

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 12: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

pemerintah memberikan perhatian yang sebesar-besarnya pada pembangunan di pedesaan. Perhatian yang besar terhadap pedesaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa desa merupakan tempat berdiamnya sebagian besar rakyat Indonesia, kedudukan desa dan masya-rakat desa merupakan dasar landasan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Proses pem-bangunan desa terdiri dari dua unsur utama yaitu partisipasi atau swadaya masyarakat dan pembinaan pemerintah atau dengan kata lain ada dua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan desa yaitu masyarakat dan pemerintah.

C. PERENCANAAN PEMBANGUNAN

BIDANG PEMERINTAHANDalam sistem pemerintahan daerah pedesa-

an. Desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu

masyarakat yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri (soerardjo, 1984:16; wiradi, 1988). Pengertian ini menekan-kan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk, dalam pengertian ini terdapat kesan yang kuat bahwa kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa hanya dapat diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa bukan pihak luar (Wasistiono, 2007:14).

Dengan adanya peraturan perundang-undangan pemerintah dan daerah dan berlaku-nya UU No.32/2004 di Indonesia yang mengatur tentang Otonomi Daerah menggantikan UU No.22/1999 yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Tentunya sejak awal diberlakukannya otonomi daerah peralihan dari sistem pemerintahan yang sentralistik ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik merupakan suatu proses yang

Wawasan Perencanaan

12

kompleks, terlebih lagi bagi Indonesia yang telah menjalani sistem pemerintahan pada masa Orde Baru yang sangat sentralistik selama lebih dari tiga puluh tahun. Ketika itu berbagai alasan dikemukakan untuk terus mempertahankan bentuk pemerintahan yang sentralistik, antara lain untuk stabilitas politik, juga demi efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi.

Namun, era reformasi yang mengobarkan se-mangat untuk menuntut perubahan telah menggeser argumen-argumen di atas. Tuntutan demi tuntutan lahir dari berbagai daerah, menyuarakan pemberian otonomi yang lebih luas. Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administratif. Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk memper-cepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien dan ekonomis.

Pelayanan yang disediakan pemerinah daerah kepada masyarakat ada yang bersifat regulatif (pengaturan) seperti mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK, IMB dan sebagainya. Sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumah sakit, teminal dan sebagainya. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan riil warganya. Tanpa itu, Pemda akan kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan warga kepada Pemda untuk mengatur dan mengurus masyarakat.

Berdasarkan tujuan politis dan administratif tersebut, misi utama dari keberadaan pemerintah daerah adalah bagaimana menyejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis serta melalui cara-cara yang demokratis. Demokrasi pada Pemda berimplikasi bahwa Pemda dijalankan

Wawasan Perencanaan

13

oleh masyarakat sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis dan dalam menjalankan misinya menyejahterakan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta mengagre-gasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan-kebijakan publik di tingkat lokal.

Berbeda dengan negara maju, pembangun-an usaha masyarakat sebagian besar sudah dijalankan oleh pihak swasta, maka di negara Indonesia sebagai negara berkembang, peran pemerintah masih sangat diharapkan untuk menggerakkan usaha masyarakat. Untuk itu maka kewenangan untuk menggerakkan usaha atau ekonomi masyarakat masih sangat diharapkan dari Pemerintah. Pemda di negara maju lebih berorientasi menyediakan kebutuhan dasar (basic services) masyarakat. Untuk itu, maka Pemda di Indonesia mempunyai kewe-nangan (otonomi) untuk menyediakan pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat lokal. Otonomi untuk pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan yaitu:1) Akuntabilitas; bahwa penyerahan urusan

tersebut akan menciptakan akuntabilitas Pemda kepada masyarakat. Ini berarti bagaimana mendekatkan pelayanan tersebut kepada masyarakat. Makin dekat unit pemerintahan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat akan makin mendukung akuntabilitas.

2) Efisiensi; bahwa penyerahan urusan tersebut akan menciptakan efisiensi, efektivitas dan ekonomis dalam penyelenggaraannya. Ini berkaitan dengan economies of scale (skala ekonomis) dalam pemberian pelayanan tersebut. Untuk itu harus terdapat kesesuaian antara skala ekonomis dengan catchment area (daerah pelayanan). Persoalannya adalah sejauhmana skala ekonomis tersebut sesuai dengan batasbatas wilayah adminis-trasi Pemda yang sudah ada. Makin luas wilayah pelayanan yang diperlukan untuk mencapai skala ekonomis akan makin tinggi otoritas yang diperlukan. Bandara dan

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 13: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

pemerintah memberikan perhatian yang sebesar-besarnya pada pembangunan di pedesaan. Perhatian yang besar terhadap pedesaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa desa merupakan tempat berdiamnya sebagian besar rakyat Indonesia, kedudukan desa dan masya-rakat desa merupakan dasar landasan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Proses pem-bangunan desa terdiri dari dua unsur utama yaitu partisipasi atau swadaya masyarakat dan pembinaan pemerintah atau dengan kata lain ada dua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan desa yaitu masyarakat dan pemerintah.

C. PERENCANAAN PEMBANGUNAN

BIDANG PEMERINTAHANDalam sistem pemerintahan daerah pedesa-

an. Desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu

masyarakat yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri (soerardjo, 1984:16; wiradi, 1988). Pengertian ini menekan-kan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk, dalam pengertian ini terdapat kesan yang kuat bahwa kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa hanya dapat diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa bukan pihak luar (Wasistiono, 2007:14).

Dengan adanya peraturan perundang-undangan pemerintah dan daerah dan berlaku-nya UU No.32/2004 di Indonesia yang mengatur tentang Otonomi Daerah menggantikan UU No.22/1999 yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Tentunya sejak awal diberlakukannya otonomi daerah peralihan dari sistem pemerintahan yang sentralistik ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik merupakan suatu proses yang

Wawasan Perencanaan

12

kompleks, terlebih lagi bagi Indonesia yang telah menjalani sistem pemerintahan pada masa Orde Baru yang sangat sentralistik selama lebih dari tiga puluh tahun. Ketika itu berbagai alasan dikemukakan untuk terus mempertahankan bentuk pemerintahan yang sentralistik, antara lain untuk stabilitas politik, juga demi efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi.

Namun, era reformasi yang mengobarkan se-mangat untuk menuntut perubahan telah menggeser argumen-argumen di atas. Tuntutan demi tuntutan lahir dari berbagai daerah, menyuarakan pemberian otonomi yang lebih luas. Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administratif. Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk memper-cepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien dan ekonomis.

Pelayanan yang disediakan pemerinah daerah kepada masyarakat ada yang bersifat regulatif (pengaturan) seperti mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK, IMB dan sebagainya. Sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumah sakit, teminal dan sebagainya. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan riil warganya. Tanpa itu, Pemda akan kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan warga kepada Pemda untuk mengatur dan mengurus masyarakat.

Berdasarkan tujuan politis dan administratif tersebut, misi utama dari keberadaan pemerintah daerah adalah bagaimana menyejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis serta melalui cara-cara yang demokratis. Demokrasi pada Pemda berimplikasi bahwa Pemda dijalankan

Wawasan Perencanaan

13

oleh masyarakat sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis dan dalam menjalankan misinya menyejahterakan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta mengagre-gasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan-kebijakan publik di tingkat lokal.

Berbeda dengan negara maju, pembangun-an usaha masyarakat sebagian besar sudah dijalankan oleh pihak swasta, maka di negara Indonesia sebagai negara berkembang, peran pemerintah masih sangat diharapkan untuk menggerakkan usaha masyarakat. Untuk itu maka kewenangan untuk menggerakkan usaha atau ekonomi masyarakat masih sangat diharapkan dari Pemerintah. Pemda di negara maju lebih berorientasi menyediakan kebutuhan dasar (basic services) masyarakat. Untuk itu, maka Pemda di Indonesia mempunyai kewe-nangan (otonomi) untuk menyediakan pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat lokal. Otonomi untuk pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan yaitu:1) Akuntabilitas; bahwa penyerahan urusan

tersebut akan menciptakan akuntabilitas Pemda kepada masyarakat. Ini berarti bagaimana mendekatkan pelayanan tersebut kepada masyarakat. Makin dekat unit pemerintahan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat akan makin mendukung akuntabilitas.

2) Efisiensi; bahwa penyerahan urusan tersebut akan menciptakan efisiensi, efektivitas dan ekonomis dalam penyelenggaraannya. Ini berkaitan dengan economies of scale (skala ekonomis) dalam pemberian pelayanan tersebut. Untuk itu harus terdapat kesesuaian antara skala ekonomis dengan catchment area (daerah pelayanan). Persoalannya adalah sejauhmana skala ekonomis tersebut sesuai dengan batasbatas wilayah adminis-trasi Pemda yang sudah ada. Makin luas wilayah pelayanan yang diperlukan untuk mencapai skala ekonomis akan makin tinggi otoritas yang diperlukan. Bandara dan

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 14: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

14

Wawasan Perencanaan

15

Pelabuhan yang menangani antar Provinsi adalah menjadi tanggung jawab nasional.

3) Externalitas; dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan yang memerlukan pelayanan tersebut. Externalitas sangat terkait dengan akuntabilitas. Makin luas externalitas yang ditimbulkan akan makin tinggi otoritas yang diperlukan untuk menangani urusan tersebut. Contoh, sungai atau hutan yang mempunyai externalitas regional seyogyanya menjadi tanggung jawab Provinsi untuk mengurusnya.

Konsekuensi dari pendekatan tersebut adalah bahwa untuk pelayanan-pelayanan yang bersifat dasar (basic services) maupun pelayanan-pelayanan untuk pengembangan usaha ekonomi masyarakat atas pertimbangan efisiensi, akuntabilitas dan ekternalitas yang bersifat lokal seyogyanya menjadi urusan Kabupaten/Kota, yang bersifat lintas Kabupaten/ Kota menjadi urusan Provinsi dan yang lintas

Provinsi menjadi kewenangan Pusat. Guna mencegah suatu daerah menghindari sesuatu urusan yang sebenarnya esensial untuk Daerah tersebut, perlu adanya penentuan atau standard urusan-urusan dasar atau pokok yang harus dilakukan oleh suatu daerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat seperti pendi-dikan, kesehatan, kebersihan lingkungan, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 11 UU 22/1999. Akar dari masalah yang muncul selama ini adalah kesalahan dalam persepsi otonomi. Otonomi seringkali dikaitkan dengan auto-money, dan bukan pada pelayanan kepada masyarakat.

Akibatnya konsep "kewenangan" lebih dikaitkan dengan "keuangan", yaitu hak Daerah untuk menggali sumber-sumber keuangan yang dihasilkan oleh kewenangan tersebut dan bukan kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Akibat dari persepsi tersebut, maka terjadilah rebutan kewenangan antar tingkatan pemerintahan dengan justifikasi- nya masing-masing dan semuanya akan

bermuara pada terlantarnya pelayanan rakyat. Agar Daerah dapat menentukan isi otonomi yang sesuai dengan kebutuhan warganya, maka diperlukan adanya assessment atau penilaian atas isi otonomi Daerah untuk melaksanakan pelayanan kebutuhan dasar (basic services) dan kewenangan untuk pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat.

Dengan demikian Daerah akan terhindar untuk melakukan urusan-urusan yang kurang relevan dengan kebutuhan warganya dan tidak terperangkap untuk melakukan urusan-urusan atas pertimbangan pendapatan semata. Desa sebagai suatu komunitas otonom berdasarkan 'keaslian adat istiadat' yang dikaitkan dengan asal usul dengan senantiasa dihormati. Peng-hormatan tersebut ditunjukkan dengan adanya pengakuan dalam perubahan disetiap UU dari UU No.22 tahun 1999 yang direvisi dengan keluarnya UU No.32 tahun 2004 dan direvisi kembali dengan keluarnya UU Nomor 12 Tahun 2008. Pemberian batasan yang berbeda-beda tentang desa, namun pada intinya batasan tersebut tentang desa atau apapun istilahnya merupakan satuan khusus yang memiliki kewenangan untuk mengurus kepentingannya

sendiri. Dalam UU No.22/1999 masih adanya kekaburan posisi desa karena mencampur-adukkan antara selfgovernance community (otonomi asli) dan local-self government (desentralisasi) tanpa batas-batas perbedaan yang jelas. Pengakuan desa sebagai self-governance community lebih bersifat simbolik dan nostalgia, daripada substantif (Abdur Rozaki dkk., 2005: 184). Dalam UU No.32 tahun 2004 sudah agak lebih jelas posisinya.

Dalam proses perencanaan pembangunan ekonomi daerah jika dikaitkan dengan hubungan pusat dan daerah menurut Kuncoro (2004:47) dikatakan bahwa ada 3 unsur yaitu:a) Perencanaan pembangunan daerah yang

realistik memerlukan pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungan nasional di tempat daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara mendasar antara keduanya, dan konsekuensi akhir dari interaksi tersebut.

b) Sesuatu yang tampaknya baik secara nasoinal belum tentu baik untuk daerah, dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara nasional.

c) Perangkat kelembagaan yang tersedia unuk pembangunan daerah misalnya adminisrasi,

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 15: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

14

Wawasan Perencanaan

15

Pelabuhan yang menangani antar Provinsi adalah menjadi tanggung jawab nasional.

3) Externalitas; dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan yang memerlukan pelayanan tersebut. Externalitas sangat terkait dengan akuntabilitas. Makin luas externalitas yang ditimbulkan akan makin tinggi otoritas yang diperlukan untuk menangani urusan tersebut. Contoh, sungai atau hutan yang mempunyai externalitas regional seyogyanya menjadi tanggung jawab Provinsi untuk mengurusnya.

Konsekuensi dari pendekatan tersebut adalah bahwa untuk pelayanan-pelayanan yang bersifat dasar (basic services) maupun pelayanan-pelayanan untuk pengembangan usaha ekonomi masyarakat atas pertimbangan efisiensi, akuntabilitas dan ekternalitas yang bersifat lokal seyogyanya menjadi urusan Kabupaten/Kota, yang bersifat lintas Kabupaten/ Kota menjadi urusan Provinsi dan yang lintas

Provinsi menjadi kewenangan Pusat. Guna mencegah suatu daerah menghindari sesuatu urusan yang sebenarnya esensial untuk Daerah tersebut, perlu adanya penentuan atau standard urusan-urusan dasar atau pokok yang harus dilakukan oleh suatu daerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat seperti pendi-dikan, kesehatan, kebersihan lingkungan, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 11 UU 22/1999. Akar dari masalah yang muncul selama ini adalah kesalahan dalam persepsi otonomi. Otonomi seringkali dikaitkan dengan auto-money, dan bukan pada pelayanan kepada masyarakat.

Akibatnya konsep "kewenangan" lebih dikaitkan dengan "keuangan", yaitu hak Daerah untuk menggali sumber-sumber keuangan yang dihasilkan oleh kewenangan tersebut dan bukan kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Akibat dari persepsi tersebut, maka terjadilah rebutan kewenangan antar tingkatan pemerintahan dengan justifikasi- nya masing-masing dan semuanya akan

bermuara pada terlantarnya pelayanan rakyat. Agar Daerah dapat menentukan isi otonomi yang sesuai dengan kebutuhan warganya, maka diperlukan adanya assessment atau penilaian atas isi otonomi Daerah untuk melaksanakan pelayanan kebutuhan dasar (basic services) dan kewenangan untuk pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat.

Dengan demikian Daerah akan terhindar untuk melakukan urusan-urusan yang kurang relevan dengan kebutuhan warganya dan tidak terperangkap untuk melakukan urusan-urusan atas pertimbangan pendapatan semata. Desa sebagai suatu komunitas otonom berdasarkan 'keaslian adat istiadat' yang dikaitkan dengan asal usul dengan senantiasa dihormati. Peng-hormatan tersebut ditunjukkan dengan adanya pengakuan dalam perubahan disetiap UU dari UU No.22 tahun 1999 yang direvisi dengan keluarnya UU No.32 tahun 2004 dan direvisi kembali dengan keluarnya UU Nomor 12 Tahun 2008. Pemberian batasan yang berbeda-beda tentang desa, namun pada intinya batasan tersebut tentang desa atau apapun istilahnya merupakan satuan khusus yang memiliki kewenangan untuk mengurus kepentingannya

sendiri. Dalam UU No.22/1999 masih adanya kekaburan posisi desa karena mencampur-adukkan antara selfgovernance community (otonomi asli) dan local-self government (desentralisasi) tanpa batas-batas perbedaan yang jelas. Pengakuan desa sebagai self-governance community lebih bersifat simbolik dan nostalgia, daripada substantif (Abdur Rozaki dkk., 2005: 184). Dalam UU No.32 tahun 2004 sudah agak lebih jelas posisinya.

Dalam proses perencanaan pembangunan ekonomi daerah jika dikaitkan dengan hubungan pusat dan daerah menurut Kuncoro (2004:47) dikatakan bahwa ada 3 unsur yaitu:a) Perencanaan pembangunan daerah yang

realistik memerlukan pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungan nasional di tempat daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara mendasar antara keduanya, dan konsekuensi akhir dari interaksi tersebut.

b) Sesuatu yang tampaknya baik secara nasoinal belum tentu baik untuk daerah, dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara nasional.

c) Perangkat kelembagaan yang tersedia unuk pembangunan daerah misalnya adminisrasi,

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 16: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Wawasan Perencanaan

16

Wasistiono, S. dan Tahir, M.(2007), Prospek Pengembangan Desa, Bandung Fokus Media.

Khairudin (1992), Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta: Liberty.

Kuncoro M (2004), Otonomi & Pembangunan Daerah, Jakarta: Erlangga.

Tjokroamidjojo B (1977), Perencanaan Pembangunan, Jakarta: PT. Gunung Agung.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat (2010).

Daftar Pustaka

Wawasan Perencanaan

17

proses pengambilan keputusan, dan otoritas biasanya sangat berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada tingkat pusat. Selain itu perencanaan daerah yang efektif harus bisa membedakan apa yang seyogya-nya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan, dengan menggunakan berbagai sumber daya pembangunan sebaik mungkin sehingga benar-benar dapat dicapai, dan mengambil manfaat dari informasi yang lengkap dan tersedia pada tingkat daerah karena kedekatan para perencananya dengan objek perencanaan.

D. KESIMPULANBerdasarkan tinjauan perencanaan di atas

dapat dikatakan bahwa suatu perencanaan disusun sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Maka dari tinjauan masing-masing sudut pandang tersebut akan muncul berbagai alternatif masalah dan langkah-langkah yang membutuhkan pemecahanya dalam peren-canaan tersebut. Akan tetapi tidak semua masalah yang muncul dapat diselesaikan pada saat yang bersamaan. Biasanya terdapat juga per-masalahan yang merupakan akibat dari masalah lain sehingga dalam perencanaan perlu dipikirkan juga masalah-masalah yang dapat dipecahkan yang sekaligus mempunyai pengaruh terhadap pemecahan masalah lain.

Dalam proses pembangunan di pedesaan diperlukan berbagai strategi untuk meningkatkan kualitas hidup dalam meningkatkan daya beli di masyarakat, karena masyarakat pedesaan perlu dukungan dari berbagai pihak dalam meningkat-kan kualitas hidup tersebut, penyebab kemiskin-an dan pengangguran di masyarakat pedesaan masih terasa dikarenakan belum maksimalnya program dan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Adapun penyebab kemis-kinan dan pengangguran di daerah pedesaan diantaranya masih terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha bagi warga masyarakat di pedesaan, terbatasnya kecukupan pangan dan layanan kesehatan serta pendidikan di daerah pedesaan, minimnya sarana dan prasarana yang

ada mengakibatkan kurang maksimalnya per-tumbuhan perekonomian di wilayah pedesaan.

Untuk menanggulangi permasalahan terse-but perlu dilakukan langkah dan program pembangunan di pedesaan yang menunjang peningkatan kehidupan masyarakat pedesaan diantaranya memaksimalkan anggaran yang ada dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah guna menunjang program ekonomi pedesaan, meningkatkan kualitas sarana infrastruktur yang ada untuk mempercepat proses transportasi pedesaan dengan demikian kebutuhan hidup masyarakat dapat berjalan dengan baik, peningkatan pemberdayaan masyarakat dan kegiatan gotong royong perlu ditingkatkan sebagai wujud dari aspek sosial budaya masyarakat pedesaan untuk menunjang dan menciptakan ketertiban dan ketentraman serta saling kerjasama berpartisipasi dalam pem-bangunan daerah khususnya daerah pedesaan.

Bagi pemerintah daerah diharapkan dapat memberikan program yang dapat digunakan untuk pembangunan dipedesaan secara seim-bang agar tidak terjadi ketimpangan pembangun-an antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Program yang diberikan dapat berupa program PNPM dan atau program lainnya yang dapat menunjang pembangunan daerah dan diarahkan dapat meningkatkan nilai tambah produk lokal seperti peningkatan pendapatan di bidang perkebunan, perikanan dan pertanian. Hal ini penting karena dapat mengurangi atau membantu pengentasan kemiskinan di daerah-daerah pedesaan. 6

_______________________________________________________ * Pelaksana Bidang Ekonomi Bappeda Provinsi Jawa Barat yang sedang menempuh Program Doktor Teknik dan Manajemen Industri, Institut Teknologi Bandung Email: [email protected]/[email protected]**Kelompok Keahlian Manajemen Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha No.10 Bandung, Jawa Barat, Indonesia Email: [email protected]

PENDAHULUANIndustri kreatif di Indonesia berdasarkan

Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009, meliputi: periklanan; arsitektur; pasar seni dan barang antik; kerajinan; desain; fesyen (mode); film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; radio dan televisi; riset & pengembangan; serta kuliner.

Industri kreatif telah menyumbangkan kontribusi yang nyata terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja. Industri kreatif memberikan

l Sribagjawati Suparman* dan Joko Siswanto**

SISTEM USAHA INDUSTRI KREATIF YANG ADAPTIF

DAN DAPAT DIKONFIGURASI ULANG DI JAWA BARAT

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 17: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Wawasan Perencanaan

16

Wasistiono, S. dan Tahir, M.(2007), Prospek Pengembangan Desa, Bandung Fokus Media.

Khairudin (1992), Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta: Liberty.

Kuncoro M (2004), Otonomi & Pembangunan Daerah, Jakarta: Erlangga.

Tjokroamidjojo B (1977), Perencanaan Pembangunan, Jakarta: PT. Gunung Agung.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat (2010).

Daftar Pustaka

Wawasan Perencanaan

17

proses pengambilan keputusan, dan otoritas biasanya sangat berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada tingkat pusat. Selain itu perencanaan daerah yang efektif harus bisa membedakan apa yang seyogya-nya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan, dengan menggunakan berbagai sumber daya pembangunan sebaik mungkin sehingga benar-benar dapat dicapai, dan mengambil manfaat dari informasi yang lengkap dan tersedia pada tingkat daerah karena kedekatan para perencananya dengan objek perencanaan.

D. KESIMPULANBerdasarkan tinjauan perencanaan di atas

dapat dikatakan bahwa suatu perencanaan disusun sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Maka dari tinjauan masing-masing sudut pandang tersebut akan muncul berbagai alternatif masalah dan langkah-langkah yang membutuhkan pemecahanya dalam peren-canaan tersebut. Akan tetapi tidak semua masalah yang muncul dapat diselesaikan pada saat yang bersamaan. Biasanya terdapat juga per-masalahan yang merupakan akibat dari masalah lain sehingga dalam perencanaan perlu dipikirkan juga masalah-masalah yang dapat dipecahkan yang sekaligus mempunyai pengaruh terhadap pemecahan masalah lain.

Dalam proses pembangunan di pedesaan diperlukan berbagai strategi untuk meningkatkan kualitas hidup dalam meningkatkan daya beli di masyarakat, karena masyarakat pedesaan perlu dukungan dari berbagai pihak dalam meningkat-kan kualitas hidup tersebut, penyebab kemiskin-an dan pengangguran di masyarakat pedesaan masih terasa dikarenakan belum maksimalnya program dan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Adapun penyebab kemis-kinan dan pengangguran di daerah pedesaan diantaranya masih terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha bagi warga masyarakat di pedesaan, terbatasnya kecukupan pangan dan layanan kesehatan serta pendidikan di daerah pedesaan, minimnya sarana dan prasarana yang

ada mengakibatkan kurang maksimalnya per-tumbuhan perekonomian di wilayah pedesaan.

Untuk menanggulangi permasalahan terse-but perlu dilakukan langkah dan program pembangunan di pedesaan yang menunjang peningkatan kehidupan masyarakat pedesaan diantaranya memaksimalkan anggaran yang ada dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah guna menunjang program ekonomi pedesaan, meningkatkan kualitas sarana infrastruktur yang ada untuk mempercepat proses transportasi pedesaan dengan demikian kebutuhan hidup masyarakat dapat berjalan dengan baik, peningkatan pemberdayaan masyarakat dan kegiatan gotong royong perlu ditingkatkan sebagai wujud dari aspek sosial budaya masyarakat pedesaan untuk menunjang dan menciptakan ketertiban dan ketentraman serta saling kerjasama berpartisipasi dalam pem-bangunan daerah khususnya daerah pedesaan.

Bagi pemerintah daerah diharapkan dapat memberikan program yang dapat digunakan untuk pembangunan dipedesaan secara seim-bang agar tidak terjadi ketimpangan pembangun-an antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Program yang diberikan dapat berupa program PNPM dan atau program lainnya yang dapat menunjang pembangunan daerah dan diarahkan dapat meningkatkan nilai tambah produk lokal seperti peningkatan pendapatan di bidang perkebunan, perikanan dan pertanian. Hal ini penting karena dapat mengurangi atau membantu pengentasan kemiskinan di daerah-daerah pedesaan. 6

_______________________________________________________ * Pelaksana Bidang Ekonomi Bappeda Provinsi Jawa Barat yang sedang menempuh Program Doktor Teknik dan Manajemen Industri, Institut Teknologi Bandung Email: [email protected]/[email protected]**Kelompok Keahlian Manajemen Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha No.10 Bandung, Jawa Barat, Indonesia Email: [email protected]

PENDAHULUANIndustri kreatif di Indonesia berdasarkan

Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009, meliputi: periklanan; arsitektur; pasar seni dan barang antik; kerajinan; desain; fesyen (mode); film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; radio dan televisi; riset & pengembangan; serta kuliner.

Industri kreatif telah menyumbangkan kontribusi yang nyata terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja. Industri kreatif memberikan

l Sribagjawati Suparman* dan Joko Siswanto**

SISTEM USAHA INDUSTRI KREATIF YANG ADAPTIF

DAN DAPAT DIKONFIGURASI ULANG DI JAWA BARAT

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 18: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

18

Peluang (opportunity) pengembangan industri kreatif di Jawa Barat, yaitu: (1) Jawa Barat sebagai daerah tujuan wisata; Data Disparbud Jabar tahun 2009 menunjukkan bahwa sebanyak 7.515.255 orang turis domestik dan 168.712 orang turis asing datang ke Jawa Barat; (2) Penduduk Jawa Barat (terbanyak di Indonesia) merupakan pasar yang sangat besar bagi produk-produk industri kreatif Jawa Barat; dan (3) Otonomi daerah dapat membuat peme-rintah daerah lebih leluasa dalam menyusun kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pengembangan industri kreatif. Sedangkan tantangan (threat) adalah persaingan yang tinggi dengan diberlakukannya China and Asean Free Trade Area (CAFTA) sejak tahun 2010, perdagangan bebas ASEAN /Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diberlakukan tahun 2015 dan perdagangan bebas global pada tahun 2020.

PROSES PENGEMBANGANPerkembangan sebuah perusahaan

perusahaan kecil yang berdasarkan pada teknologi menjadi perusahaan besar dengan

produktivitas tinggi melalui beberapa fase, yaitu: “fluid pattern”, “transitional pattern” dan “specific pattern” (Abernathy dan Utterback, 1988). Industri kreatif dengan kategori sebagai fluid pattern harus menjalani fase transitional pattern agar dapat menjadi usaha yang mapan.

Agar industri kreatif dapat berkembang dalam usahanya maka perlu sistem pengem-bangan usaha sebagai alat untuk mereplikasi usaha. Dalam kaitan ini, Thomas (2000) menyatakan bahwa franchise adalah suatu sistem untuk mengembangkan usaha dan pendistribusian barang/jasa serta pengoperasian usaha dan brand yang sudah dikenal. Lebih jauh, Scarborough dan Zimmerer (2006) menyimpul-kan bahwa seseorang membeli franchise karena 3(tiga) hal, yaitu: franchisor's experience atau pengalaman, franchisor's expertise atau keahlian dan franchisor's product atau produk.

Untuk membuat suatu usaha yang dapat diwaralabakan harus memenuhi aspek kualitatif sebagai berikut: 1.Proven (terbukti): Usaha milik franchisor yang

dimiliki serta dijalankan adalah sebuah bisnis yang telah terbukti menguntungkan.

Wawasan Perencanaan

19

kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) nasional rata-rata sebesar 6,28% (Departemen Perdagangan, 2008). Kontribusi dari subsektor industri kreatif tersebut didominasi oleh fesyen sebesar 43,48%, diikuti kerajinan 24,59%, dan desain 6,38%. Sementara sumbangan sektor industri kreatif terhadap penyerapan tenaga kerja didominasi oleh fesyen, kerajinan dan desain yang masing-masing mencapai 4.209.920 orang, 2.388.536 orang, dan 408.923 orang.

Sebagian besar dari industri kreatif di Jawa Barat yang memiliki merek dagang dan dikenal oleh masyarakat, telah berhasil mendatangkan kesejahteraan bagi pelakunya. Hasil survey ITB pada tahun 2008 di 9 (sembilan) kota di Jawa Barat menunjukkan bahwa industri kreatif yang memiliki omzet diatas Rp. 250 juta/tahun di Kota Bandung sebanyak 55%, di Kota Bogor 25%, di Kota Cirebon 67%, di Kabupaten Garut 71%, di Kabupaten Kuningan 75%, di Kota Tasikmalaya

60%, di Kota Bekasi 40%, dan di Kabupaten Karawang 20%. Namun demikian, pengelolaan umumnya masih sederhana dan bersifat kekeluargaan sehingga tidak mudah untuk berkembang. Industri kreatif yang mengandalkan kreativitas orang dalam menjalankan usahanya tidak dapat berubah menjadi industri massal karena tidak mudah untuk direplikasi.

KONDISI EKSISTINGHasil analisis SWOT menunjukkan bahwa

kekuatan (Strength) untuk industri kreatif Jawa Barat, diantaranya adalah: (1) Jawa Barat mempunyai sumberdaya manusia yang kreatif, sehingga banyak artis, penyanyi, presenter dan seniman yang berasal dari Jawa Barat; (2) Jawa Barat terkenal sebagai trendsetter terkait dengan berbagai industri, seperti: pusat mode/fashion, musik, kuliner dan perintis perfilman; (3) Tinggi-nya wisatawan di Bandung telah menyebabkan perkembangan industri yang pesat, seperti hotel, travel, oleh-oleh, kuliner, dan lain-lain; (4) Banyaknya jumlah pengusaha yang bergerak di bidang usaha yang berhubungan dengan tingkat kreativitas yang tinggi, seperti distro, clothing, percetakan, craft, kuliner, dan lain-lain; (5) Jawa Barat memiliki lembaga pendidikan seni yang memadai seperti ITB, STISI TELKOM, ITENAS, Sekolah Tinggi Seni Bandung, Maranatha, Widyatama, dan lain-lain; (6) Tersedianya potensi lokal yang tinggi sebagai pendukung Industri kreatif; dan (7) Telah terbentuknya komunitas-komunitas kreatif di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat sebagai wadah kreatifitas anak muda. Namun demikian, terdapat kelemahan (Weakness) pada industri kreatif Jawa Barat, yaitu: (1) Industri kreatif merupakan industri yang bersifat unik karena mengandalkan kreativitas orang yang melakukan usahanya, sehingga tidak mudah untuk di replikasi dibandingkan dengan industri lainnya; dan (2) Industri kreatif umumnya masih dikelola secara kekeluargaan dan belum memiliki sistem manajemen kualitas yang menyeluruh baik sistem kualitas produk, sistem kualitas pelayanan dan sistem pengembangan usaha.

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 19: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

18

Peluang (opportunity) pengembangan industri kreatif di Jawa Barat, yaitu: (1) Jawa Barat sebagai daerah tujuan wisata; Data Disparbud Jabar tahun 2009 menunjukkan bahwa sebanyak 7.515.255 orang turis domestik dan 168.712 orang turis asing datang ke Jawa Barat; (2) Penduduk Jawa Barat (terbanyak di Indonesia) merupakan pasar yang sangat besar bagi produk-produk industri kreatif Jawa Barat; dan (3) Otonomi daerah dapat membuat peme-rintah daerah lebih leluasa dalam menyusun kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pengembangan industri kreatif. Sedangkan tantangan (threat) adalah persaingan yang tinggi dengan diberlakukannya China and Asean Free Trade Area (CAFTA) sejak tahun 2010, perdagangan bebas ASEAN /Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diberlakukan tahun 2015 dan perdagangan bebas global pada tahun 2020.

PROSES PENGEMBANGANPerkembangan sebuah perusahaan

perusahaan kecil yang berdasarkan pada teknologi menjadi perusahaan besar dengan

produktivitas tinggi melalui beberapa fase, yaitu: “fluid pattern”, “transitional pattern” dan “specific pattern” (Abernathy dan Utterback, 1988). Industri kreatif dengan kategori sebagai fluid pattern harus menjalani fase transitional pattern agar dapat menjadi usaha yang mapan.

Agar industri kreatif dapat berkembang dalam usahanya maka perlu sistem pengem-bangan usaha sebagai alat untuk mereplikasi usaha. Dalam kaitan ini, Thomas (2000) menyatakan bahwa franchise adalah suatu sistem untuk mengembangkan usaha dan pendistribusian barang/jasa serta pengoperasian usaha dan brand yang sudah dikenal. Lebih jauh, Scarborough dan Zimmerer (2006) menyimpul-kan bahwa seseorang membeli franchise karena 3(tiga) hal, yaitu: franchisor's experience atau pengalaman, franchisor's expertise atau keahlian dan franchisor's product atau produk.

Untuk membuat suatu usaha yang dapat diwaralabakan harus memenuhi aspek kualitatif sebagai berikut: 1.Proven (terbukti): Usaha milik franchisor yang

dimiliki serta dijalankan adalah sebuah bisnis yang telah terbukti menguntungkan.

Wawasan Perencanaan

19

kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) nasional rata-rata sebesar 6,28% (Departemen Perdagangan, 2008). Kontribusi dari subsektor industri kreatif tersebut didominasi oleh fesyen sebesar 43,48%, diikuti kerajinan 24,59%, dan desain 6,38%. Sementara sumbangan sektor industri kreatif terhadap penyerapan tenaga kerja didominasi oleh fesyen, kerajinan dan desain yang masing-masing mencapai 4.209.920 orang, 2.388.536 orang, dan 408.923 orang.

Sebagian besar dari industri kreatif di Jawa Barat yang memiliki merek dagang dan dikenal oleh masyarakat, telah berhasil mendatangkan kesejahteraan bagi pelakunya. Hasil survey ITB pada tahun 2008 di 9 (sembilan) kota di Jawa Barat menunjukkan bahwa industri kreatif yang memiliki omzet diatas Rp. 250 juta/tahun di Kota Bandung sebanyak 55%, di Kota Bogor 25%, di Kota Cirebon 67%, di Kabupaten Garut 71%, di Kabupaten Kuningan 75%, di Kota Tasikmalaya

60%, di Kota Bekasi 40%, dan di Kabupaten Karawang 20%. Namun demikian, pengelolaan umumnya masih sederhana dan bersifat kekeluargaan sehingga tidak mudah untuk berkembang. Industri kreatif yang mengandalkan kreativitas orang dalam menjalankan usahanya tidak dapat berubah menjadi industri massal karena tidak mudah untuk direplikasi.

KONDISI EKSISTINGHasil analisis SWOT menunjukkan bahwa

kekuatan (Strength) untuk industri kreatif Jawa Barat, diantaranya adalah: (1) Jawa Barat mempunyai sumberdaya manusia yang kreatif, sehingga banyak artis, penyanyi, presenter dan seniman yang berasal dari Jawa Barat; (2) Jawa Barat terkenal sebagai trendsetter terkait dengan berbagai industri, seperti: pusat mode/fashion, musik, kuliner dan perintis perfilman; (3) Tinggi-nya wisatawan di Bandung telah menyebabkan perkembangan industri yang pesat, seperti hotel, travel, oleh-oleh, kuliner, dan lain-lain; (4) Banyaknya jumlah pengusaha yang bergerak di bidang usaha yang berhubungan dengan tingkat kreativitas yang tinggi, seperti distro, clothing, percetakan, craft, kuliner, dan lain-lain; (5) Jawa Barat memiliki lembaga pendidikan seni yang memadai seperti ITB, STISI TELKOM, ITENAS, Sekolah Tinggi Seni Bandung, Maranatha, Widyatama, dan lain-lain; (6) Tersedianya potensi lokal yang tinggi sebagai pendukung Industri kreatif; dan (7) Telah terbentuknya komunitas-komunitas kreatif di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat sebagai wadah kreatifitas anak muda. Namun demikian, terdapat kelemahan (Weakness) pada industri kreatif Jawa Barat, yaitu: (1) Industri kreatif merupakan industri yang bersifat unik karena mengandalkan kreativitas orang yang melakukan usahanya, sehingga tidak mudah untuk di replikasi dibandingkan dengan industri lainnya; dan (2) Industri kreatif umumnya masih dikelola secara kekeluargaan dan belum memiliki sistem manajemen kualitas yang menyeluruh baik sistem kualitas produk, sistem kualitas pelayanan dan sistem pengembangan usaha.

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 20: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

20

Wawasan Perencanaan

21

Gambar 1: Sistem Usaha Untuk Industri Kreatif di Jawa Barat

2.Uniqueness (Keunikan):Keunikan adalah hal yang sulit ditiru oleh kompetitor, yang timbul atau khusus diadakan oleh pemilik bisnis sebagai barrier terhadap kompetisi dalam mengamankan bisnis yang digelutinya.

3.Standar: Seluruh aktifitas usaha dilaksanakan atas suatu standar yang ditentukan oleh franchisor dan akan dilaksanakan secara seragam oleh seluruh franchisee.

4.Transferability&Transparent: Transferability (dapat ditransferkan) dimaksudkan sebagai satu syarat bahwa dalam proses duplikasi aktivitas franchisor, para franchisee tidak akan mengalami kesulitan untuk meniru aktivitas tersebut. Transparent (terbuka) dalam pertukaran data, franchisor dan franchisee bersedia untuk menjalankan sesuai perjanjian, demikian pula terhadap kinerja keuangan milik franchisor.

International standar ISO seri 9000 mendefinisikan bahwa jaminan kualitas atau Quality Assurance (Q/A) adalah serangkaian kegiatan terencana yang bisa memberi jaminan bahwa satu produk atau satu pelayanan cukup memenuhi persyaratan yang telah digariskan.

Wan dan Peng (2009) berpendapat bahwa desain tradisional, originalitas yang digabungkan dengan kreativitas dan pemikiran inovatif me-megang peranan penting dalam industri kreatif terutama untuk memenuhi keinginan pelanggan. Selanjutnya Tian dan Gao (2011) menyatakan bahwa strategi manajemen dalam industri kreatif berawal dari standarisasi pengembangan, kemudian meningkatkan investasi pada bakat kreatif dan fasilitasnya, dan selanjutnya mengga-bungkan industri kreatif dengan keinginan pasar. Sedangkan Barere dan Delabruyere (2011) berpendapat bahwa hal yang utama dalam produksi industri kreatif bukanlah karakteristik inputnya, tetapi proses produksi kreatifnya sehingga property right adalah hal yang sangat penting.

STRATEGI PENGEMBANGANPengembangan industri kreatif di Jawa Barat

harus dilaksanakan secara sistematis, agar dapat tumbuh, dapat direplikasi dan mapan dalam usahanya, serta memberikan manfaat bagi para stakeholdernya. Salah satu cara pengembangan usaha tersebut adalah dengan menggunakan s is tem usaha f ranch ise dengan te tap

Model sistem usaha untuk industri kreatif di Jawa Barat tidak dapat sepenuhnya menerapkan model Abernathy dan Utterback (1988), karena merupakan model untuk mengembangkan industri kecil menjadi industri besar dengan produksi masal. Di pihak lain, industri kreatif Jawa Barat tidak dapat dikembangkan menjadi industri dengan produksi masal, karena

memperhatikan hal-hal seperti: (1) originalitas, (2) kreativitas, (3) pemikiran inovatif, (4) investasi pada bakat kreatif dan fasilitasinya yang disesuaikan dengan keinginan pasar, dan (5) desain dan ide kreatif dilindungi oleh hak penciptaan atau property rights; sedangkan kualitas produk dan kualitas pelayanan dijamin dengan menggunakan Quality Assurance (QA) dan sistem kontrol yang memungkinkan seorang pembeli sistem franchise dapat mengontrol kinerja dari bisnisnya dan franchisor dapat mengontrol kinerja dari franchisee-nya.

Sektor-sektor pada industri kreatif, disamping memiliki beberapa persamaan juga memiliki karakteristik yang berbeda. Dengan demikian, untuk dapat tumbuh dan berkembang maka diperlukan sistem usaha yang sesuai untuk setiap sektor atau bersifat dapat dikonfigurasi ulang. Selain itu, industri kreatif tersebut harus bersifat adaptif, yaitu dapat beradaptasi dengan lingkungannya yang mencakup keinginan konsumen dan perilaku kompetitor. Secara diagram model teoritis yang diusulkan seperti terlihat pada Gambar 1 di bawah ini:

FRANCHISOR

Kriteria:

-

Terbukti

-

Unik

- Standar

Desain Produk

- R&D yang kuat sebagai wadah originalitas, kreativitas dan inovasi

- Peningkatan kapasitas bakat kreatif dan fasilitas

Produk

- Terdapat variasi produk dan terdapat minimal satu produk yang cukup stabil dan volume yang signifikan

- Bahan baku khusus dari beberapa pemasok

- Pengembangan teknologi produksi dan atomatisasi pada beberapa proses

- Prosedur produksi kaku, tetapi dapat melakukan perubahan pada langkah-langkah utama

- Property right (HKI)

Quality Assurance (Q/A)

- Menjamin produk yang dijual pada franchisee sesuai dengan standar

FRANCHISEE

Penjualan produk dan

pelayanan terhadap

konsumen sesuai dengan

standar dan prosedur

yang ditetapkan oleh

franchisor

MARKET

Konsumen menerima

Produk sesuai

dengan harapannya

Memberikan

feedback

- Analisis pasar, area, lokasi

- Perjanjian/ikatan hukum

- Manual (SOP)- Continuous Support

Menerima feedback dari

konsumen dan kompetitor

Sistem kontrol

Sistem kontrol

Lok. Kota Sukabumi, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 21: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

20

Wawasan Perencanaan

21

Gambar 1: Sistem Usaha Untuk Industri Kreatif di Jawa Barat

2.Uniqueness (Keunikan):Keunikan adalah hal yang sulit ditiru oleh kompetitor, yang timbul atau khusus diadakan oleh pemilik bisnis sebagai barrier terhadap kompetisi dalam mengamankan bisnis yang digelutinya.

3.Standar: Seluruh aktifitas usaha dilaksanakan atas suatu standar yang ditentukan oleh franchisor dan akan dilaksanakan secara seragam oleh seluruh franchisee.

4.Transferability&Transparent: Transferability (dapat ditransferkan) dimaksudkan sebagai satu syarat bahwa dalam proses duplikasi aktivitas franchisor, para franchisee tidak akan mengalami kesulitan untuk meniru aktivitas tersebut. Transparent (terbuka) dalam pertukaran data, franchisor dan franchisee bersedia untuk menjalankan sesuai perjanjian, demikian pula terhadap kinerja keuangan milik franchisor.

International standar ISO seri 9000 mendefinisikan bahwa jaminan kualitas atau Quality Assurance (Q/A) adalah serangkaian kegiatan terencana yang bisa memberi jaminan bahwa satu produk atau satu pelayanan cukup memenuhi persyaratan yang telah digariskan.

Wan dan Peng (2009) berpendapat bahwa desain tradisional, originalitas yang digabungkan dengan kreativitas dan pemikiran inovatif me-megang peranan penting dalam industri kreatif terutama untuk memenuhi keinginan pelanggan. Selanjutnya Tian dan Gao (2011) menyatakan bahwa strategi manajemen dalam industri kreatif berawal dari standarisasi pengembangan, kemudian meningkatkan investasi pada bakat kreatif dan fasilitasnya, dan selanjutnya mengga-bungkan industri kreatif dengan keinginan pasar. Sedangkan Barere dan Delabruyere (2011) berpendapat bahwa hal yang utama dalam produksi industri kreatif bukanlah karakteristik inputnya, tetapi proses produksi kreatifnya sehingga property right adalah hal yang sangat penting.

STRATEGI PENGEMBANGANPengembangan industri kreatif di Jawa Barat

harus dilaksanakan secara sistematis, agar dapat tumbuh, dapat direplikasi dan mapan dalam usahanya, serta memberikan manfaat bagi para stakeholdernya. Salah satu cara pengembangan usaha tersebut adalah dengan menggunakan s is tem usaha f ranch ise dengan te tap

Model sistem usaha untuk industri kreatif di Jawa Barat tidak dapat sepenuhnya menerapkan model Abernathy dan Utterback (1988), karena merupakan model untuk mengembangkan industri kecil menjadi industri besar dengan produksi masal. Di pihak lain, industri kreatif Jawa Barat tidak dapat dikembangkan menjadi industri dengan produksi masal, karena

memperhatikan hal-hal seperti: (1) originalitas, (2) kreativitas, (3) pemikiran inovatif, (4) investasi pada bakat kreatif dan fasilitasinya yang disesuaikan dengan keinginan pasar, dan (5) desain dan ide kreatif dilindungi oleh hak penciptaan atau property rights; sedangkan kualitas produk dan kualitas pelayanan dijamin dengan menggunakan Quality Assurance (QA) dan sistem kontrol yang memungkinkan seorang pembeli sistem franchise dapat mengontrol kinerja dari bisnisnya dan franchisor dapat mengontrol kinerja dari franchisee-nya.

Sektor-sektor pada industri kreatif, disamping memiliki beberapa persamaan juga memiliki karakteristik yang berbeda. Dengan demikian, untuk dapat tumbuh dan berkembang maka diperlukan sistem usaha yang sesuai untuk setiap sektor atau bersifat dapat dikonfigurasi ulang. Selain itu, industri kreatif tersebut harus bersifat adaptif, yaitu dapat beradaptasi dengan lingkungannya yang mencakup keinginan konsumen dan perilaku kompetitor. Secara diagram model teoritis yang diusulkan seperti terlihat pada Gambar 1 di bawah ini:

FRANCHISOR

Kriteria:

-

Terbukti

-

Unik

- Standar

Desain Produk

- R&D yang kuat sebagai wadah originalitas, kreativitas dan inovasi

- Peningkatan kapasitas bakat kreatif dan fasilitas

Produk

- Terdapat variasi produk dan terdapat minimal satu produk yang cukup stabil dan volume yang signifikan

- Bahan baku khusus dari beberapa pemasok

- Pengembangan teknologi produksi dan atomatisasi pada beberapa proses

- Prosedur produksi kaku, tetapi dapat melakukan perubahan pada langkah-langkah utama

- Property right (HKI)

Quality Assurance (Q/A)

- Menjamin produk yang dijual pada franchisee sesuai dengan standar

FRANCHISEE

Penjualan produk dan

pelayanan terhadap

konsumen sesuai dengan

standar dan prosedur

yang ditetapkan oleh

franchisor

MARKET

Konsumen menerima

Produk sesuai

dengan harapannya

Memberikan

feedback

- Analisis pasar, area, lokasi

- Perjanjian/ikatan hukum

- Manual (SOP)- Continuous Support

Menerima feedback dari

konsumen dan kompetitor

Sistem kontrol

Sistem kontrol

Lok. Kota Sukabumi, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 22: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Daftar Pustaka

Abernathy, W. J. dan J. M. Utterback. 1988. Innovation over time and in historical context. National Science Foundation Division of Policy Research and Analysis.

Barere, C. dan Delabruyere. 2011. Intelectual property rights on creativity and heritage: the case of the fashion industry. European journal of law and economics 32: 305-339.

International Franchise Business Management/IFBM (2007): Franchise Manual.

Scarborough, N. M. dan T. W. Zimmerer. 2006. Effective Small Business Management: An Enterpreneurial Approach. Pearson Education International.

Tian, Y. dan C. Gao. 2011. Management Strategiew of Creative Industries Uncertainty. IEEE Journal 978-0-7695-4464-9/11.

Wang, X. dan R. Peng. 2009. The Creative Industry has came. IEEE Journal 978-1-4244-5268-2/09.

mengandalkan kreat iv i tas orang dalam menjalankan usahanya. Dengan demikian, industri kreatif Jawa Barat tidak dapat berubah menjadi satu industri yang besar, tetapi diharapkan dapat berubah menjadi banyak industri kecil yang tersebar di seluruh Jawa Barat.

Pada sistem franchise, franchisor harus memiliki kriteria yang terbukti, unik, standar dan mudah diajarkan, memiliki R&D yang kuat sebagai basis pengembangan kreativitas, penjaminan kualitas dan sistem kontrol yang memungkinkan franchisor dapat mengetahui kinerja dari franchisee. Pada franchisee dilakukan penjualan produk sesuai dengan standar kualitas yang telah ditetapkan oleh franchisor, menerima feedback dari konsumen maupun kompetitor yang merupakan input bagi R&D pada franchisor, dan sistem kontrol yang memungkinkan pemilik franchisee mengetahui kinerja usahanya tanpa harus berada di tempat usaha sepanjang waktu. Pasar yang dinamis dengan perilaku dan selera konsumen yang berubah serta perilaku kompetitor harus dapat ditangkap pada franchisee sehingga dapat menjadi feedback bagi pengembangan produk.

PENUTUPPotensi Industri kreatif Jawa Barat yang luar

biasa harus dikembangkan secara sistematis, agar industri kreatif Jawa Barat dapat tumbuh,

dapat direplikasi, mapan dalam usahanya, serta memberikan manfaat bagi para stakeholdernya. Salah satu caranya adalah dengan membuat suatu sistem usaha yang bersifat adaptif (adaptable) dan dapat dikonfigurasi ulang (reconfigurable), melalui sistem usaha franchise dengan penjaminan kualitas produk dan kualitas pelayanan dengan menggunakan prinsip Quality Assurance (Q/A) dan sistem kontrol yang baik, serta memperhatikan originalitas, kreativitas, pemikiran inovatif, investasi pada bakat kreatif beserta fasilitasnya, dan property rights. 6

Lok. Kota Sukabumi, Dok. Pusdalisbang Jabar.

l Soedradjat Tisnasasmita*

______________________________________________________*Anggota Komite Perencana Provinsi Jawa Barat.

Latar BelakangWacana kemandirian ekonomi dalam

pengertian nasional atau pengertian provinsi, sering diartikan pada pemahaman kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri, seperti pernah diartikan di era Orde Lama, menghindarkan ketergantungan kepada produk-produk dari luar.

Pada kondisi sederhananya adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat secara nasional, atau secara provinsi dapat dipenuhi oleh produksi secara nasional atau produksi yang dihasilkan oleh wilayah provinsi itu sendiri untuk masyarakat diprovinsi tersebut, dan dapat diartikan sebagai kemandirian nasional atau kemandirian provinsi.

TINJAUAN REFLEKTIF DALAM WACANA KEMANDIRIAN EKONOMI DAN DINAMIKA PEMBANGUNAN JAWA BARAT KE DEPAN

Lok. Kota Sukabumi, dok. Bappeda Kota Sukabumi

Wawasan PerencanaanWawasan Perencanaan

23Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 201222 Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 23: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Daftar Pustaka

Abernathy, W. J. dan J. M. Utterback. 1988. Innovation over time and in historical context. National Science Foundation Division of Policy Research and Analysis.

Barere, C. dan Delabruyere. 2011. Intelectual property rights on creativity and heritage: the case of the fashion industry. European journal of law and economics 32: 305-339.

International Franchise Business Management/IFBM (2007): Franchise Manual.

Scarborough, N. M. dan T. W. Zimmerer. 2006. Effective Small Business Management: An Enterpreneurial Approach. Pearson Education International.

Tian, Y. dan C. Gao. 2011. Management Strategiew of Creative Industries Uncertainty. IEEE Journal 978-0-7695-4464-9/11.

Wang, X. dan R. Peng. 2009. The Creative Industry has came. IEEE Journal 978-1-4244-5268-2/09.

mengandalkan kreat iv i tas orang dalam menjalankan usahanya. Dengan demikian, industri kreatif Jawa Barat tidak dapat berubah menjadi satu industri yang besar, tetapi diharapkan dapat berubah menjadi banyak industri kecil yang tersebar di seluruh Jawa Barat.

Pada sistem franchise, franchisor harus memiliki kriteria yang terbukti, unik, standar dan mudah diajarkan, memiliki R&D yang kuat sebagai basis pengembangan kreativitas, penjaminan kualitas dan sistem kontrol yang memungkinkan franchisor dapat mengetahui kinerja dari franchisee. Pada franchisee dilakukan penjualan produk sesuai dengan standar kualitas yang telah ditetapkan oleh franchisor, menerima feedback dari konsumen maupun kompetitor yang merupakan input bagi R&D pada franchisor, dan sistem kontrol yang memungkinkan pemilik franchisee mengetahui kinerja usahanya tanpa harus berada di tempat usaha sepanjang waktu. Pasar yang dinamis dengan perilaku dan selera konsumen yang berubah serta perilaku kompetitor harus dapat ditangkap pada franchisee sehingga dapat menjadi feedback bagi pengembangan produk.

PENUTUPPotensi Industri kreatif Jawa Barat yang luar

biasa harus dikembangkan secara sistematis, agar industri kreatif Jawa Barat dapat tumbuh,

dapat direplikasi, mapan dalam usahanya, serta memberikan manfaat bagi para stakeholdernya. Salah satu caranya adalah dengan membuat suatu sistem usaha yang bersifat adaptif (adaptable) dan dapat dikonfigurasi ulang (reconfigurable), melalui sistem usaha franchise dengan penjaminan kualitas produk dan kualitas pelayanan dengan menggunakan prinsip Quality Assurance (Q/A) dan sistem kontrol yang baik, serta memperhatikan originalitas, kreativitas, pemikiran inovatif, investasi pada bakat kreatif beserta fasilitasnya, dan property rights. 6

Lok. Kota Sukabumi, Dok. Pusdalisbang Jabar.

l Soedradjat Tisnasasmita*

______________________________________________________*Anggota Komite Perencana Provinsi Jawa Barat.

Latar BelakangWacana kemandirian ekonomi dalam

pengertian nasional atau pengertian provinsi, sering diartikan pada pemahaman kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri, seperti pernah diartikan di era Orde Lama, menghindarkan ketergantungan kepada produk-produk dari luar.

Pada kondisi sederhananya adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat secara nasional, atau secara provinsi dapat dipenuhi oleh produksi secara nasional atau produksi yang dihasilkan oleh wilayah provinsi itu sendiri untuk masyarakat diprovinsi tersebut, dan dapat diartikan sebagai kemandirian nasional atau kemandirian provinsi.

TINJAUAN REFLEKTIF DALAM WACANA KEMANDIRIAN EKONOMI DAN DINAMIKA PEMBANGUNAN JAWA BARAT KE DEPAN

Lok. Kota Sukabumi, dok. Bappeda Kota Sukabumi

Wawasan PerencanaanWawasan Perencanaan

23Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 201222 Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 24: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

24

Wawasan Perencanaan

25

Pemahaman terhadap keberdikarian seperti misalnya terhadap kemandirian pangan untuk me-menuhi kebutuhkan pangan nasional, atau kebutuhan suatu wilayah provinsi, dengan bertumpu pada produksi yang dihasilkan, oleh potensi nasional atau potensi provinsi sendiri, mengurangi ketergantungan pemenuhan kebu-tuhan pangan pada produk negara lain atau produk dari provinsi lainnya, dengan segala kekurangannya.

Pada realitas saat ini, pemahaman ter-hadap keberdikarian pemenuhan kebutuhan pangan, kebutuhan akan barang-barang kebu-tuhan dasar (kebutuhan primer), kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier, meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan masyarakat yang membutuhkan berbagai produk, meningkatnya diversifikasi produk-produk sesuai dengan perkembangan teknologi produksi dan membanjirnya jenis-jenis produk impor dalam suasana pasar bebas (pasar yang lebih terbuka). Untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat, menjadi berbeda jauh dari konsep keberdikarian di masa lalu dengan pilihan-pilihan konsumsi yang berasal dari produk-produk dari luar.

Dalam suatu interaksi ekonomi yang semakin mengglobal, interaksi perdagangan, investasi, transfer modal, transfer teknologi, transfer ilmu pengetahuan, telah merubah wacana pengertian kemandirian suatu ekonomi nasional, atau kemandirian ekonomi wilayah provinsi, utamanya Provinsi Jawa Barat, menjadi pemahaman saling ketergantungan antar negara maupun antar provinsi yang semakin meningkat, dalam membangun potensi ekonomi nasional maupun ekonomi lokalnya.

Bila dikaitkan dengan wacana sektoral pembangunan ekonomi regional; maka setiap sektor ekonomi memiliki tingkat kemandirian yang berbeda-beda dalam memenuhi kebutuhan lokal, kebutuhan nasional atau kebutuhan ekspor, maupun pemenuhan oleh produk impor, ditempuh melalui pasar yang semakin terbuka.

Seperti kemandirian sektor pertanian tanaman pangan, sektor perkebunan dan hortikultura, sektor peternakan, sektor perikanan

air tawar, sektor perikanan laut dan budi daya pantai, banyak menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan lokalpun pada masa-masa tertentu diisi oleh kebutuhan barang-barang impor untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Kemandirian sektor-sektor lainnya seperti industri manufaktur, sektor industri perumahan, industri rakyat, beberapa indikator industri substitusi impor, telah merubah kemandiriannya, menjadi industri orientasi ekspor, dengan interdependensi proses produksi dan pemasaran yang semakin komplek.

Indikator perdagangan menunjukan adanya fenomena pemenuhan beberapa kebutuhan yang mulai dipenuhi oleh kebutuhan yang berasal dari barang-barang impor; misalnya pemenuhan kebutuhan obat-obatan, pemenuhan beberapa kebutuhan produksi tekstil, dan kebutuhan lainnya, dalam memenuhi kebutuhan, pasar lokal, diseluruh wilayah tanah air, termasuk provinsi, kabupaten dan kota.

Dengan gambaran di atas mulailah dikenal istilah pengertian-pengertian kemandirian ekonomi nasional, kemandirian ekonomi suatu wilayah provinsi, menjadi pengertian kemampuan “daya saing” daerah provinsi dalam suatu wilayah nasional, dalam dinamika pasar yang telah terbuka secara global, oleh produk-produk suatu negara atau suatu daerah yang mampu bersaing di tengah-tengah pasar lokal, nasional bahkan global.

World Economic Forum (Alisyahbana, Armida S., dkk. 2001) secara rutin menerbitkan “daya kompetitif global, dari suatu potensi ekonomi suatu negara, mendefinisikan daya saing nasional atau daya saing provinsi dalam pengert ian sbb: “Kemampuan perekonomian nasional (perekonomian provinsi) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan”.

Sedangkan daya saing daerah, sebagai bagian dari wilayah nasional memiliki pengertian “daya saing” dalam lingkup sbb: “Kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekaya-an yang lebih merata untuk penduduknya”.

Sedangkan secara lebih lengkap daya saing nasional kemampuan ekonomi suatu negara dapat lebih dijelaskan sbb: “Kemampuan suatu negara dalam mencipta-kan nilai tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses daya tarik dan agresivitas, globality dan proximity, serta dengan meng-integrasikan hubungan-hubungan tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan sosial”.

Interaksi ekonomi global terutama terkait dengan aktivitas-aktivitas investasi serta eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya lainnya disuatu negara atau disuatu bagian negara (provinsi, kabupaten, kota), akan menjadi faktor yang meningkatkan daya saing nasional atau daya saing daerah, dengan landasan kerjasama pasar dan investasi secara lintas negara.

Dengan demikian indikator-indikator seperti laju pertumbuhan ekonomi secara sektoral, laju pertumbuhan investasi secara sektoral juga sangat dibutuhkan, Laju Pertumbuhan Penduduk, angka kemiskinan penduduk, angkat pengang-guran, daya beli masyarakat, rata-rata lama sekolah penduduk suatu wilayah, pendapatan perkapita dari penduduk di suatu wilayah, menunjukan kaitannya dengan erat terhadap pemahaman “daya saing daerah”, apakah suatu daerah itu memiliki keunggulan dan berdaya saing.

Maka wacana kemandirian ketika men-transformasi diri kepada kemampuan “daya saing negara” atau “daya saing daerah” memerlukan suatu transformasi yang cepat melalui transfer ilmu pengetahuan, transfer teknologi, transfer modal untuk pengembang an usaha, transfer manajemen pengelolaan usaha, transfer tenaga ahli untuk melatih keahlian-keahlian yang me-ningkatkan kompetensi berusaha disuatu wilayah nasional atau provinsi, yang kadang-kadang berasal dari negara-negara di luar Indonesia.

Keunggulan Jawa Barat Sebagai

Bagian Wilayah NKRI Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa

keistimewaan posisi geografis dan tata ruang wilayah dan mewarisi historis pembangunannya yang bersifat menopang keberadaannya saat ini akan, merupakan suatu wilayah provinsi termaju di Indonesia, dengan permasalahan yang dihadapinya.

Secara geografis wilayah Provinsi Jawa Barat berbatasan dengan Ibu Kota Provinsi Dae-rah Khusus Ibu Kota Jakarta, dengan demikian pengaruh ekspansi ekonomi oleh potensi ekonomi yang ada di Jakarta berpengaruh besar kepada pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat sangat besar, utamanya dengan wilayah-wilayah di Jawa Barat Utara yang secara aksesibilitas berdekatan dengan metropolitan Jakarta.

Lok. Kota Sukabumi, dok. Bappeda Kota Sukabumi

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 25: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

24

Wawasan Perencanaan

25

Pemahaman terhadap keberdikarian seperti misalnya terhadap kemandirian pangan untuk me-menuhi kebutuhkan pangan nasional, atau kebutuhan suatu wilayah provinsi, dengan bertumpu pada produksi yang dihasilkan, oleh potensi nasional atau potensi provinsi sendiri, mengurangi ketergantungan pemenuhan kebu-tuhan pangan pada produk negara lain atau produk dari provinsi lainnya, dengan segala kekurangannya.

Pada realitas saat ini, pemahaman ter-hadap keberdikarian pemenuhan kebutuhan pangan, kebutuhan akan barang-barang kebu-tuhan dasar (kebutuhan primer), kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier, meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan masyarakat yang membutuhkan berbagai produk, meningkatnya diversifikasi produk-produk sesuai dengan perkembangan teknologi produksi dan membanjirnya jenis-jenis produk impor dalam suasana pasar bebas (pasar yang lebih terbuka). Untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat, menjadi berbeda jauh dari konsep keberdikarian di masa lalu dengan pilihan-pilihan konsumsi yang berasal dari produk-produk dari luar.

Dalam suatu interaksi ekonomi yang semakin mengglobal, interaksi perdagangan, investasi, transfer modal, transfer teknologi, transfer ilmu pengetahuan, telah merubah wacana pengertian kemandirian suatu ekonomi nasional, atau kemandirian ekonomi wilayah provinsi, utamanya Provinsi Jawa Barat, menjadi pemahaman saling ketergantungan antar negara maupun antar provinsi yang semakin meningkat, dalam membangun potensi ekonomi nasional maupun ekonomi lokalnya.

Bila dikaitkan dengan wacana sektoral pembangunan ekonomi regional; maka setiap sektor ekonomi memiliki tingkat kemandirian yang berbeda-beda dalam memenuhi kebutuhan lokal, kebutuhan nasional atau kebutuhan ekspor, maupun pemenuhan oleh produk impor, ditempuh melalui pasar yang semakin terbuka.

Seperti kemandirian sektor pertanian tanaman pangan, sektor perkebunan dan hortikultura, sektor peternakan, sektor perikanan

air tawar, sektor perikanan laut dan budi daya pantai, banyak menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan lokalpun pada masa-masa tertentu diisi oleh kebutuhan barang-barang impor untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Kemandirian sektor-sektor lainnya seperti industri manufaktur, sektor industri perumahan, industri rakyat, beberapa indikator industri substitusi impor, telah merubah kemandiriannya, menjadi industri orientasi ekspor, dengan interdependensi proses produksi dan pemasaran yang semakin komplek.

Indikator perdagangan menunjukan adanya fenomena pemenuhan beberapa kebutuhan yang mulai dipenuhi oleh kebutuhan yang berasal dari barang-barang impor; misalnya pemenuhan kebutuhan obat-obatan, pemenuhan beberapa kebutuhan produksi tekstil, dan kebutuhan lainnya, dalam memenuhi kebutuhan, pasar lokal, diseluruh wilayah tanah air, termasuk provinsi, kabupaten dan kota.

Dengan gambaran di atas mulailah dikenal istilah pengertian-pengertian kemandirian ekonomi nasional, kemandirian ekonomi suatu wilayah provinsi, menjadi pengertian kemampuan “daya saing” daerah provinsi dalam suatu wilayah nasional, dalam dinamika pasar yang telah terbuka secara global, oleh produk-produk suatu negara atau suatu daerah yang mampu bersaing di tengah-tengah pasar lokal, nasional bahkan global.

World Economic Forum (Alisyahbana, Armida S., dkk. 2001) secara rutin menerbitkan “daya kompetitif global, dari suatu potensi ekonomi suatu negara, mendefinisikan daya saing nasional atau daya saing provinsi dalam pengert ian sbb: “Kemampuan perekonomian nasional (perekonomian provinsi) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan”.

Sedangkan daya saing daerah, sebagai bagian dari wilayah nasional memiliki pengertian “daya saing” dalam lingkup sbb: “Kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekaya-an yang lebih merata untuk penduduknya”.

Sedangkan secara lebih lengkap daya saing nasional kemampuan ekonomi suatu negara dapat lebih dijelaskan sbb: “Kemampuan suatu negara dalam mencipta-kan nilai tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses daya tarik dan agresivitas, globality dan proximity, serta dengan meng-integrasikan hubungan-hubungan tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan sosial”.

Interaksi ekonomi global terutama terkait dengan aktivitas-aktivitas investasi serta eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya lainnya disuatu negara atau disuatu bagian negara (provinsi, kabupaten, kota), akan menjadi faktor yang meningkatkan daya saing nasional atau daya saing daerah, dengan landasan kerjasama pasar dan investasi secara lintas negara.

Dengan demikian indikator-indikator seperti laju pertumbuhan ekonomi secara sektoral, laju pertumbuhan investasi secara sektoral juga sangat dibutuhkan, Laju Pertumbuhan Penduduk, angka kemiskinan penduduk, angkat pengang-guran, daya beli masyarakat, rata-rata lama sekolah penduduk suatu wilayah, pendapatan perkapita dari penduduk di suatu wilayah, menunjukan kaitannya dengan erat terhadap pemahaman “daya saing daerah”, apakah suatu daerah itu memiliki keunggulan dan berdaya saing.

Maka wacana kemandirian ketika men-transformasi diri kepada kemampuan “daya saing negara” atau “daya saing daerah” memerlukan suatu transformasi yang cepat melalui transfer ilmu pengetahuan, transfer teknologi, transfer modal untuk pengembang an usaha, transfer manajemen pengelolaan usaha, transfer tenaga ahli untuk melatih keahlian-keahlian yang me-ningkatkan kompetensi berusaha disuatu wilayah nasional atau provinsi, yang kadang-kadang berasal dari negara-negara di luar Indonesia.

Keunggulan Jawa Barat Sebagai

Bagian Wilayah NKRI Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa

keistimewaan posisi geografis dan tata ruang wilayah dan mewarisi historis pembangunannya yang bersifat menopang keberadaannya saat ini akan, merupakan suatu wilayah provinsi termaju di Indonesia, dengan permasalahan yang dihadapinya.

Secara geografis wilayah Provinsi Jawa Barat berbatasan dengan Ibu Kota Provinsi Dae-rah Khusus Ibu Kota Jakarta, dengan demikian pengaruh ekspansi ekonomi oleh potensi ekonomi yang ada di Jakarta berpengaruh besar kepada pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat sangat besar, utamanya dengan wilayah-wilayah di Jawa Barat Utara yang secara aksesibilitas berdekatan dengan metropolitan Jakarta.

Lok. Kota Sukabumi, dok. Bappeda Kota Sukabumi

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 26: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Sebagai potensi ekonomi yang besar metropolitan kota Jakarta melakukan ekspansi fungsi-fungsi ruang ke wilayah Provinsi Jawa Barat dan kewilayahan Provinsi Banten, dalam wujud pengembangan kota-kota pemukiman, pengembangan kota-kota (kawasan) industri yang berskala besar, sarana-sarana oleh raga berskala besar (golf area, Sirkuit Sentul, dllnya), perluasan kawasan pendidikan, berupa kampus-kampus pendidikan, beberapa sarana pusat belanja, sarana kesehatan, sarana ibadat, dsb.

Dalam menopang eksplansi fungsi-fungsi ruang dengan aglomerasi fungsi ruang yang sangat beraneka ragam sekali, dukungan pembangunan infrastruktur untuk mempermudah aksesibiliti, topangan energi listrik, energi BBM, topangan sarana komunikasi, penyediaan air bersih, saluran drainasi lingkungan, saluran air kotor atau water treatment, pengelolaan sampah, dsb, berkembang dalam pertumbuhan yang sangat pesat, dibanding provinsi lainnya.

Maka wilayah utara Provinsi Jawa Barat telah berubah menjadi wilayah yang bercorak global melalui perubahan pola ruang dari wilayah yang bercorak pertanian, kewilayah bercorak industri menjadi potensi industrial dengan diisi

oleh investasi industri substitusi impor dan di samping itu menjadikan wilayah Jawa Barat ini menjadi potensi industri orientasi ekspor, yang memberikan kontribusi pada PDRB Jawa Barat terbesar.

Kota-kota lainnya bersifat industrial dan memiliki aglomerasi yang cukup handal di Jawa Barat, adalah Metropolitan Bandung, Metropoli-tan Cirebon dan industri-industri kecil menengah dan industri perumahan hampir tersebar di seluruh kota-kota di Jawa Barat, sampai di kota-kota kecamatan bahkan sampai di perdesaan-perdesaan.

Di samping sektor/industri yang ditopang oleh potensi padat modal dan padat teknologi dan jasa penopangnya Provinsi Jawa Barat secara historis memiliki keunggulan-keunggulan ekonomi sektoral sbb:1. Unggulan sektor pertanian tanaman pangan,

peternakan, perikanan air tawar, perikanan laut dan budi daya pantai.

2. Unggulan di sektor perkebunan (teh, karet, cokelat, kopi, dsb) dan unggulan bidang kehutanan rakyat.

3. Unggulan di sektor pariwisata resort atau pariwisata perkotaan, wisata-wisata lainnya.

Wawasan Perencanaan

26

4. Unggulan di sektor perdagangan, baik perdagangan lokal regional, provinsi, perda-gangan impor, perdagangan ekspor.

5. Unggulan beberapa sektor jasa, keuangan, jasa konsultan engineering, jasa konsultan manajemen dan jasa-jasa lainnya.

6. Unggulan di sektor industri menengah, industri kecil, industri perumahan dalam wujud industri makanan, industri kerajinan, industri tenun, batuk, industri busana, industri berbasis sumber daya lingkungan dan juga produk-produk industri kreatif.

Secara umum unggulan-unggulan yang dijelaskan di atas telah ditopang oleh keberadaan infrastruktur yang menopang kerja wilayah regional yang bercorak perkotaan dan bercorak perdesaan, oleh topangan keberadaan jalan-jalan angkutan kendaraan jalan raya, jalan kereta api, saluran-saluran irigasi pertanian, distribusi energi listrik, dan jaringan komunikasi berlandas pada jaringan kabel dan jaringan tanpa kabel, relatif telah menjangkau sebagian besar wilayah Jawa Barat, dan merupakan potensi kemandirian sekaligus potensi daya saing Provinsi Jawa Barat kemasa depan.

Unggulan lainnya adalah potensi sumber daya manusia, jumlah yang terbesar di Indonesia kurang lebih 43 juta; ditopang oleh sebaran sarana pendidikan yang semakin merata di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat, terutama sarana pendidikan umum, pendidikan kejuruan dan pendidikan tinggi, sarana pelatihan tenaga kerja sebagai modal utama pengembangan dan peningkatan daya saing Jawa Barat.

Tantangan Yang Dihadapi Jawa

Barat Untuk Menjadi Wilayah Yang

Memiliki Daya Saing Global

Tantangan utama adalah terletak pada kondisi SDM yang berjumlah sangat besar, banyaknya jumlah pengangguran pada angkatan kerja; rata-rata pendidikan yang terbilang rendah + 8,2 tahun, adanya penduduk miskin yang cukup besar dan jumlah penduduk berpendapat-

an rendah cukup besar pula, adanya kesenjang-an pendapatan yang cukup tinggi dalam lingkup masyarakat Jawa Barat, kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi, antara sektor yang terbilang modern dengan sektor yang terbilang tradisional.

Tantangan lainnya adalah adanya kesen-jangan pembangunan antar wilayah di Jawa Barat; antara wilayah Jawa Barat Utara, Jabar Tengah dan Jabar Selatan; antara wilayah yang bercorak perdesaan dengan wilayah yang bercorak perkotaan.

Masalah dukungan infrastruktur wilayah dan kota di Jawa Barat yang berada dalam kondisi bermasalah, seperti misalnya masalah kemacetan lalulintas, kondisi banjir di beberapa wilayah, sulitnya melakukan kegiatan layanan kargo pada angkutan laut, udara dan angkutan darat yang masih bermasalah terkait dengan high cost economy, dll layanan infrastruktur yang lainnya, termasuk tambah meluasnya wilayah yang tergenang banjir.

Masalah mengembangkan potensi ekonomi sektoral untuk mampu mengisi pasar lokal, pasar nasional bahkan pasar global, baik sektor industri, pertanian, perdagangan, property, jasa keuangan, pariwisata, dsb, dalam daya saing. Dukungan ilmu pengetahuan, teknologi, dukung-an permodalan, dukungan kehadiran tenaga ahli, yang berasal dari sumber dalam negeri dan sum-ber internasional, masih terasa terbatas sekali.

Banyak sekali peraturan dari pemerintah provinsi, peraturan dari pemerintah pusat, peraturan dari pemerintah kabupaten/kota yang bersifat menghambat terhadap akselerasi investasi infrastruktur, investasi sektoral dari berbagai strata skala investasi, termasuk skala investasi kecil dan menengah yang harus ditopang oleh permodalan, dalam negeri dan pemodalan internasional yang didayagunakan secara optimal untuk meningkatkan daya saing di Provinsi Jawa Barat.

Masih terdapat faham nasionalisme lama, faham kedaerahan yang bersifat sempit, tidak menyadari bahwa kebijakan ekonomi Indonesia sudah sangat terbuka, lalulintas perdagangan relatif tanpa proteksi, lalulintas investasi semakin

Wawasan Perencanaan

27

Lok. Kota Sukabumi, dok. Bappeda Kota Sukabumi

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 27: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Sebagai potensi ekonomi yang besar metropolitan kota Jakarta melakukan ekspansi fungsi-fungsi ruang ke wilayah Provinsi Jawa Barat dan kewilayahan Provinsi Banten, dalam wujud pengembangan kota-kota pemukiman, pengembangan kota-kota (kawasan) industri yang berskala besar, sarana-sarana oleh raga berskala besar (golf area, Sirkuit Sentul, dllnya), perluasan kawasan pendidikan, berupa kampus-kampus pendidikan, beberapa sarana pusat belanja, sarana kesehatan, sarana ibadat, dsb.

Dalam menopang eksplansi fungsi-fungsi ruang dengan aglomerasi fungsi ruang yang sangat beraneka ragam sekali, dukungan pembangunan infrastruktur untuk mempermudah aksesibiliti, topangan energi listrik, energi BBM, topangan sarana komunikasi, penyediaan air bersih, saluran drainasi lingkungan, saluran air kotor atau water treatment, pengelolaan sampah, dsb, berkembang dalam pertumbuhan yang sangat pesat, dibanding provinsi lainnya.

Maka wilayah utara Provinsi Jawa Barat telah berubah menjadi wilayah yang bercorak global melalui perubahan pola ruang dari wilayah yang bercorak pertanian, kewilayah bercorak industri menjadi potensi industrial dengan diisi

oleh investasi industri substitusi impor dan di samping itu menjadikan wilayah Jawa Barat ini menjadi potensi industri orientasi ekspor, yang memberikan kontribusi pada PDRB Jawa Barat terbesar.

Kota-kota lainnya bersifat industrial dan memiliki aglomerasi yang cukup handal di Jawa Barat, adalah Metropolitan Bandung, Metropoli-tan Cirebon dan industri-industri kecil menengah dan industri perumahan hampir tersebar di seluruh kota-kota di Jawa Barat, sampai di kota-kota kecamatan bahkan sampai di perdesaan-perdesaan.

Di samping sektor/industri yang ditopang oleh potensi padat modal dan padat teknologi dan jasa penopangnya Provinsi Jawa Barat secara historis memiliki keunggulan-keunggulan ekonomi sektoral sbb:1. Unggulan sektor pertanian tanaman pangan,

peternakan, perikanan air tawar, perikanan laut dan budi daya pantai.

2. Unggulan di sektor perkebunan (teh, karet, cokelat, kopi, dsb) dan unggulan bidang kehutanan rakyat.

3. Unggulan di sektor pariwisata resort atau pariwisata perkotaan, wisata-wisata lainnya.

Wawasan Perencanaan

26

4. Unggulan di sektor perdagangan, baik perdagangan lokal regional, provinsi, perda-gangan impor, perdagangan ekspor.

5. Unggulan beberapa sektor jasa, keuangan, jasa konsultan engineering, jasa konsultan manajemen dan jasa-jasa lainnya.

6. Unggulan di sektor industri menengah, industri kecil, industri perumahan dalam wujud industri makanan, industri kerajinan, industri tenun, batuk, industri busana, industri berbasis sumber daya lingkungan dan juga produk-produk industri kreatif.

Secara umum unggulan-unggulan yang dijelaskan di atas telah ditopang oleh keberadaan infrastruktur yang menopang kerja wilayah regional yang bercorak perkotaan dan bercorak perdesaan, oleh topangan keberadaan jalan-jalan angkutan kendaraan jalan raya, jalan kereta api, saluran-saluran irigasi pertanian, distribusi energi listrik, dan jaringan komunikasi berlandas pada jaringan kabel dan jaringan tanpa kabel, relatif telah menjangkau sebagian besar wilayah Jawa Barat, dan merupakan potensi kemandirian sekaligus potensi daya saing Provinsi Jawa Barat kemasa depan.

Unggulan lainnya adalah potensi sumber daya manusia, jumlah yang terbesar di Indonesia kurang lebih 43 juta; ditopang oleh sebaran sarana pendidikan yang semakin merata di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat, terutama sarana pendidikan umum, pendidikan kejuruan dan pendidikan tinggi, sarana pelatihan tenaga kerja sebagai modal utama pengembangan dan peningkatan daya saing Jawa Barat.

Tantangan Yang Dihadapi Jawa

Barat Untuk Menjadi Wilayah Yang

Memiliki Daya Saing Global

Tantangan utama adalah terletak pada kondisi SDM yang berjumlah sangat besar, banyaknya jumlah pengangguran pada angkatan kerja; rata-rata pendidikan yang terbilang rendah + 8,2 tahun, adanya penduduk miskin yang cukup besar dan jumlah penduduk berpendapat-

an rendah cukup besar pula, adanya kesenjang-an pendapatan yang cukup tinggi dalam lingkup masyarakat Jawa Barat, kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi, antara sektor yang terbilang modern dengan sektor yang terbilang tradisional.

Tantangan lainnya adalah adanya kesen-jangan pembangunan antar wilayah di Jawa Barat; antara wilayah Jawa Barat Utara, Jabar Tengah dan Jabar Selatan; antara wilayah yang bercorak perdesaan dengan wilayah yang bercorak perkotaan.

Masalah dukungan infrastruktur wilayah dan kota di Jawa Barat yang berada dalam kondisi bermasalah, seperti misalnya masalah kemacetan lalulintas, kondisi banjir di beberapa wilayah, sulitnya melakukan kegiatan layanan kargo pada angkutan laut, udara dan angkutan darat yang masih bermasalah terkait dengan high cost economy, dll layanan infrastruktur yang lainnya, termasuk tambah meluasnya wilayah yang tergenang banjir.

Masalah mengembangkan potensi ekonomi sektoral untuk mampu mengisi pasar lokal, pasar nasional bahkan pasar global, baik sektor industri, pertanian, perdagangan, property, jasa keuangan, pariwisata, dsb, dalam daya saing. Dukungan ilmu pengetahuan, teknologi, dukung-an permodalan, dukungan kehadiran tenaga ahli, yang berasal dari sumber dalam negeri dan sum-ber internasional, masih terasa terbatas sekali.

Banyak sekali peraturan dari pemerintah provinsi, peraturan dari pemerintah pusat, peraturan dari pemerintah kabupaten/kota yang bersifat menghambat terhadap akselerasi investasi infrastruktur, investasi sektoral dari berbagai strata skala investasi, termasuk skala investasi kecil dan menengah yang harus ditopang oleh permodalan, dalam negeri dan pemodalan internasional yang didayagunakan secara optimal untuk meningkatkan daya saing di Provinsi Jawa Barat.

Masih terdapat faham nasionalisme lama, faham kedaerahan yang bersifat sempit, tidak menyadari bahwa kebijakan ekonomi Indonesia sudah sangat terbuka, lalulintas perdagangan relatif tanpa proteksi, lalulintas investasi semakin

Wawasan Perencanaan

27

Lok. Kota Sukabumi, dok. Bappeda Kota Sukabumi

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 28: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

terbuka pula untuk segara sektor; maka konsep kemandirian yang berubah menjadi konsep daya saing yang dibangun bersama-sama kekuatan global, harus mendapat apresiasi dari peme-rintah, masyarakat usahawan swasta, dan masyarakat secara keseluruhan.

Perlunya ada kebijakan yang arif dari pemerintah untuk mendorong potensi ekonomi kecil dan menengah di perdesaan dan di perkotaan untuk memiliki kemampuan daya saing dalam kompetisi pasar lokal yang bersaing dengan produk-produk industri padat modal dan padat teknologi, dan bersaing dengan produk-produk barang impor, dan daya saingnya dalam pasar-pasar di luar wilayah Jawa Barat bahkan daya saing ekspor untuk mengisi pasar global.

PenutupDengan berubahnya makna yang dikan-

dung dalam konsep kemandirian suati kondisi ekonomi pada daerah provinsi seperti Jawa Barat, menjadi suatu kondisi kemampuan daya saing produk-produk Jawa Barat, dengan menciptakan keunggulan pada mutu dan efisiensi dalam menetapkan harga jual, maka diperlukan orientasi pembangunan yang baru, dari konsep “inward looking” kepada konsep “outward looking” policy.

Jawa Barat sebagai suatu kawasan harus mampu mengkondisikan lingkungan ekonomi yang kondusif, untuk menerima barang-barang impor dan sebaliknya mampu mengekspor produk-produk keluar wilayah Jawa Barat lebih besar dari volume produk import, dengan value added yang memadai, dari berbagai produk dan jasa yang dihasilkannya.

Di bidang penyediaan produk pangan, khususnya beras merupakan provinsi penghasil beras yang handal di Indonesia, sebagai penghasil produk-produk perkebunan yang cukup handal pula, ditopang oleh keberadaan sumber daya agraris yang sangat besar, sumber daya manusia petani yang memiliki keahlian pertanian yang terbilang maju.

Penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi sebagai landasan utama pembangunan harus

menjadi agenda utama untuk diperkenalkan pada masyarakat Jawa Barat, kemudian pemanfaatan potensi modal domestik, atau modal global dalam suatu kerjasama yang saling menguntungkan mutlak harus menjadi kebijakan pembangunan, dilandasi oleh kesepakatan-kesepakatan global dan dilandasi oleh regulasi nasional dan regulasi daerah yang telah disyahkan.

Daya saing yang dibangun di era keter-bukaan dan era globalisasi ini, memandang kemandirian pembangunan disuatu wilayah tidak bisa berdiri sendiri, ia merupakan kesatuan kerjasama regional (untuk ASEAN) atau kesatu-an kerjasama global (bilateral atau multilateral agreement) meningkatkan potensi dan peluang untuk menjadikan wilayah memiliki unggulan kompetitifnya secara spesifik, dalam pengertian interdependen.

Namun demikian unggulan daerah dan unggulan nasional secara ekonomi harus tetap menjadi jati dirinya, terkait dengan perlindungan (properti) terhadap realitas nyata kondisi keberadaan ekonomi kita yang bersifat dualistik.

Pada hakikinya daya saing adalah kemam-puan kompetitif kita, sebagai provinsi, dengan segala latar belakang yang melandasinya untuk memposisikan dirinya sebagai pemenang dalam kompetisi produk-produk industri dan jasa peno-pangnya maupun dalam produk-produk lainnya, pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, pariwisata, pertambangan, jasa-jasa, dsb. 6

Wawasan Perencanaan

28

Wawasan Perencanaan

29

Pitter Abdulah SE, MA; DR. Armida Alisyahbana; DR Nurry Effendy Dan DR Boediono; Daya Saing Daerah, Konsep Dan Pengukurannya Di Indonesia, Pusat Pendidikan Dan Studi Ke Bank Sentralan Bank Indonesia, Penerbit BPFE Yogyakarta, 2002.

Syamsul Arifin, Rizal A. Djaafana Dan Aida S. Budiman, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Bank Indonesia, Penerbit PT Gramedia Jakarta 2008.

Prof.DR.IR. Lucky W. Sondahk, M.Ec; Globalisasi Dan Desentralisasi, Lembaga Penerbit, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2003.

Alex O.Williams, International Trade And Investment, Hohn Willey And Sons, 1983, University Of Virginia.

Daftar Pustakal Trisna Subarna* dan Siti Lia Mulijanty**

______________________________________________________* Peneliti Pada Bappeda Provinsi Jawa Barat, dan** Peneliti BPTP Jawa Barat.

PENDAHULUANKemiskinan merupakan ketidakmampuan

seseorang/ keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan, yang disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan, kesehatan dan pekerjaan

PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT DI JAWA BARAT

Lokasi: Kota Sukabumi, Sumber: Bappeda Kota Sukabumi

Lokasi: Kota Sukabumi, Sumber: Bappeda Kota Sukabumi

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 29: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

terbuka pula untuk segara sektor; maka konsep kemandirian yang berubah menjadi konsep daya saing yang dibangun bersama-sama kekuatan global, harus mendapat apresiasi dari peme-rintah, masyarakat usahawan swasta, dan masyarakat secara keseluruhan.

Perlunya ada kebijakan yang arif dari pemerintah untuk mendorong potensi ekonomi kecil dan menengah di perdesaan dan di perkotaan untuk memiliki kemampuan daya saing dalam kompetisi pasar lokal yang bersaing dengan produk-produk industri padat modal dan padat teknologi, dan bersaing dengan produk-produk barang impor, dan daya saingnya dalam pasar-pasar di luar wilayah Jawa Barat bahkan daya saing ekspor untuk mengisi pasar global.

PenutupDengan berubahnya makna yang dikan-

dung dalam konsep kemandirian suati kondisi ekonomi pada daerah provinsi seperti Jawa Barat, menjadi suatu kondisi kemampuan daya saing produk-produk Jawa Barat, dengan menciptakan keunggulan pada mutu dan efisiensi dalam menetapkan harga jual, maka diperlukan orientasi pembangunan yang baru, dari konsep “inward looking” kepada konsep “outward looking” policy.

Jawa Barat sebagai suatu kawasan harus mampu mengkondisikan lingkungan ekonomi yang kondusif, untuk menerima barang-barang impor dan sebaliknya mampu mengekspor produk-produk keluar wilayah Jawa Barat lebih besar dari volume produk import, dengan value added yang memadai, dari berbagai produk dan jasa yang dihasilkannya.

Di bidang penyediaan produk pangan, khususnya beras merupakan provinsi penghasil beras yang handal di Indonesia, sebagai penghasil produk-produk perkebunan yang cukup handal pula, ditopang oleh keberadaan sumber daya agraris yang sangat besar, sumber daya manusia petani yang memiliki keahlian pertanian yang terbilang maju.

Penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi sebagai landasan utama pembangunan harus

menjadi agenda utama untuk diperkenalkan pada masyarakat Jawa Barat, kemudian pemanfaatan potensi modal domestik, atau modal global dalam suatu kerjasama yang saling menguntungkan mutlak harus menjadi kebijakan pembangunan, dilandasi oleh kesepakatan-kesepakatan global dan dilandasi oleh regulasi nasional dan regulasi daerah yang telah disyahkan.

Daya saing yang dibangun di era keter-bukaan dan era globalisasi ini, memandang kemandirian pembangunan disuatu wilayah tidak bisa berdiri sendiri, ia merupakan kesatuan kerjasama regional (untuk ASEAN) atau kesatu-an kerjasama global (bilateral atau multilateral agreement) meningkatkan potensi dan peluang untuk menjadikan wilayah memiliki unggulan kompetitifnya secara spesifik, dalam pengertian interdependen.

Namun demikian unggulan daerah dan unggulan nasional secara ekonomi harus tetap menjadi jati dirinya, terkait dengan perlindungan (properti) terhadap realitas nyata kondisi keberadaan ekonomi kita yang bersifat dualistik.

Pada hakikinya daya saing adalah kemam-puan kompetitif kita, sebagai provinsi, dengan segala latar belakang yang melandasinya untuk memposisikan dirinya sebagai pemenang dalam kompetisi produk-produk industri dan jasa peno-pangnya maupun dalam produk-produk lainnya, pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, pariwisata, pertambangan, jasa-jasa, dsb. 6

Wawasan Perencanaan

28

Wawasan Perencanaan

29

Pitter Abdulah SE, MA; DR. Armida Alisyahbana; DR Nurry Effendy Dan DR Boediono; Daya Saing Daerah, Konsep Dan Pengukurannya Di Indonesia, Pusat Pendidikan Dan Studi Ke Bank Sentralan Bank Indonesia, Penerbit BPFE Yogyakarta, 2002.

Syamsul Arifin, Rizal A. Djaafana Dan Aida S. Budiman, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Bank Indonesia, Penerbit PT Gramedia Jakarta 2008.

Prof.DR.IR. Lucky W. Sondahk, M.Ec; Globalisasi Dan Desentralisasi, Lembaga Penerbit, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2003.

Alex O.Williams, International Trade And Investment, Hohn Willey And Sons, 1983, University Of Virginia.

Daftar Pustakal Trisna Subarna* dan Siti Lia Mulijanty**

______________________________________________________* Peneliti Pada Bappeda Provinsi Jawa Barat, dan** Peneliti BPTP Jawa Barat.

PENDAHULUANKemiskinan merupakan ketidakmampuan

seseorang/ keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan, yang disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan, kesehatan dan pekerjaan

PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT DI JAWA BARAT

Lokasi: Kota Sukabumi, Sumber: Bappeda Kota Sukabumi

Lokasi: Kota Sukabumi, Sumber: Bappeda Kota Sukabumi

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 30: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

30

Wawasan Perencanaan

31

(Sony Herdiana, 2006). Penghapusan kemiskin-an merupakan tantangan global terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini, sehingga menjadi syarat mutlak bagi pembangunan berkelanjutan di setiap wilayah. Berdasarkan tantangan global tersebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di, New York pada tahun 2000 yang hasilnya menetapkan komitmen seluruh Negara anggota PBB untuk mengurangi setengah dari jumlah penduduk kemiskinan di dunia pada tahun 2015, sebagai "Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Develop-ment Goals)". Sikap pemerintah Indonesia terhadap hasil konferensi tersebut sepakat dan berkomitmen untuk menempuh langkah-langkah pengentasan kemiskinan di Indonesia (Ismid Hadad, 2003).

Komitmen pemerintah Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan telah dituangkan dalam salah satu prioritas dari 11 prioritas nasional yang tertuang di Buku I RPJMN 2010-2014, dan penanggulangannya merupakan kebijakan lintas bidang sebagaimana tertuang di Buku II RPJMN 2010-2014. Dokumen tersebut menjadi acuan bagi setiap kementerian dan pemerintah daerah dalam mengentaskan kemiskinan. Menyikapi komitmen pengentasan kemiskinan yang tertuang dalam Dokumen RPJMN tersebut pemerintah pusat memerlukan optimalisasi dan harmonisasi program dalam penanggulangan kemiskinan.

Pengentasan penduduk miskin merupakan masalah yang cukup serius bagi Jawa Barat. Data empirik berupa indikator yang paling sering dipergunakan untuk mengukur intensitas kemiskinan head count ratio dan poverty gap index menjelaskan jumlah dan tingkat kemiskinan penduduk bervariasi secara signifikan antar daerah kabupaten dan kota (Erlis Karnesih, 2005). Komitmen pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam mengentaskan kemiskinan tertuang dalam dokumen RPJMD Provinsi Jawa Barat 2008-2013. Dari lima misi yang tertuang dalam RPJMD yang memiliki keterkaitan tinggi dengan isu penanganan kemiskinan, pengangguran dan

ketenagakerjaan adalah pada Misi Pertama, yang berbunyi mewujudkan sumberdaya manu-sia Jawa Barat yang produktif dan berdaya saing dan misi kedua, meningkatkan pembangunan ekonomi regional berbasis potensi lokal.

Arah dan kebijakan penanggulangan kemiskinan berdasarkan RPJMD 2008-2013 tersebut di atas adalah: (1) Peningkatan akses pendidikan, (2) Peningkatan akses kesehatan, (3) Meningkatkan kualitas dan kuantitas perlin-dungan, rehabilitasi, dan pemberdayaan sosial, (4) Mendorong pertumbuhan pada sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dan efektif menurunkan kemiskinan. (5) Peningkatan investasi, (6) Pengembangan Desa Membangun, dan (7) Sinergitas penanganan kemiskinan kerjasama Pemerintah dan Swasta.

Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui upaya-upaya perlindungan dan keber-pihakan terhadap rakyat miskin. Keberpihakan tersebut tercermin dalam program peningkatkan akses dan mutu pelayanan dan infrastruktur dasar, serta peningkatkan usaha rakyat dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat. Program tersebut secara terkoordinasi terbagi dalam tiga kelompok program penanggulangan kemiskinan berupa: (1) Bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, (2) Penanggulangan kemis-kinan berbasis pemberdayaan, (3) Penang-gulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, dan (4) Penunjang penanggulangan kemiskinan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tahap-an kegiatan dalam menuntaskan kemiskinan di Jawa Barat.

TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA

BARATTingkat kemiskinan di Jawa Barat pada

tahun 2010 sebesar 11,27%, sedangkan jumlah penduduk miskin sebanyak 4,773 juta orang, kondisi tersebut lebih baik dibanding dengan tingkat kemiskinan nasional sebesar 13,33% (BPS Jawa Barat, 2010). Perkembangan

Gambar 1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan danJumlah Penduduk Miskin Tahun 2007-2010, Provinsi Jawa Barat

Sumber Data : Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 2007,2008,2009,2010

penduduk miskin di Jawa Barat, dari tahun 2007 sampai dengan 2010 mengalami penurunan sebesar 2,27% atau dalam periode tersebut jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 687.000 orang seperti pada Gambar di bawah ini.

Menurunnya angka penduduk miskin pada periode 2007 sampai dengan 2010 tersebut merupakan komitmen pemerintah Pusat dan Provinsi Jawa Barat untuk mensejahterakan masyarakat dengan mengurangi angka kemis-kinan melalui pemberdayaan masyarakat yang tertuang dalam RPJMN dan RPJPD Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

PEMBERDAYAAN MASYARAKATPemberdayaan masyarakat merupakan

suatu cara memperbaiki kehidupan masyarakat dengan melibatkan masyarakat, organisasi dan komunitas yang diarahkan agar mampu mengu-asai (berkuasa atas) kehidupannya (Priyono,-1996). Pemberdayaan masyarakat tidak terlepas dari pemahaman kemiskinan sebagai perma-salahan yang memiliki dimensi kompleks yang tidak saja berdimensi ekonomi namun akan menyangkut dimensi sosial, budaya dan politik.

Dalam pelaksanaannya pemberdayaan masyarakat miskin memerlukan komitmen dari berbagai pihak yang menyangkut; politik, informasi dan teknologi, kelembagaan finansial, prasarana, infrastruktur, energi, dan pembangun-

an kompetensi sumberdaya manusia (SDM), serta pengembangan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal yang akan berdampak terhadap pngembangan ekonomi masyarakat (Hendewi dan Mewa Ariani, 2002).

Lokasi: Kota Sukabumi, Sumber: Bappeda Kota Sukabumi

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 31: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

30

Wawasan Perencanaan

31

(Sony Herdiana, 2006). Penghapusan kemiskin-an merupakan tantangan global terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini, sehingga menjadi syarat mutlak bagi pembangunan berkelanjutan di setiap wilayah. Berdasarkan tantangan global tersebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di, New York pada tahun 2000 yang hasilnya menetapkan komitmen seluruh Negara anggota PBB untuk mengurangi setengah dari jumlah penduduk kemiskinan di dunia pada tahun 2015, sebagai "Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Develop-ment Goals)". Sikap pemerintah Indonesia terhadap hasil konferensi tersebut sepakat dan berkomitmen untuk menempuh langkah-langkah pengentasan kemiskinan di Indonesia (Ismid Hadad, 2003).

Komitmen pemerintah Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan telah dituangkan dalam salah satu prioritas dari 11 prioritas nasional yang tertuang di Buku I RPJMN 2010-2014, dan penanggulangannya merupakan kebijakan lintas bidang sebagaimana tertuang di Buku II RPJMN 2010-2014. Dokumen tersebut menjadi acuan bagi setiap kementerian dan pemerintah daerah dalam mengentaskan kemiskinan. Menyikapi komitmen pengentasan kemiskinan yang tertuang dalam Dokumen RPJMN tersebut pemerintah pusat memerlukan optimalisasi dan harmonisasi program dalam penanggulangan kemiskinan.

Pengentasan penduduk miskin merupakan masalah yang cukup serius bagi Jawa Barat. Data empirik berupa indikator yang paling sering dipergunakan untuk mengukur intensitas kemiskinan head count ratio dan poverty gap index menjelaskan jumlah dan tingkat kemiskinan penduduk bervariasi secara signifikan antar daerah kabupaten dan kota (Erlis Karnesih, 2005). Komitmen pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam mengentaskan kemiskinan tertuang dalam dokumen RPJMD Provinsi Jawa Barat 2008-2013. Dari lima misi yang tertuang dalam RPJMD yang memiliki keterkaitan tinggi dengan isu penanganan kemiskinan, pengangguran dan

ketenagakerjaan adalah pada Misi Pertama, yang berbunyi mewujudkan sumberdaya manu-sia Jawa Barat yang produktif dan berdaya saing dan misi kedua, meningkatkan pembangunan ekonomi regional berbasis potensi lokal.

Arah dan kebijakan penanggulangan kemiskinan berdasarkan RPJMD 2008-2013 tersebut di atas adalah: (1) Peningkatan akses pendidikan, (2) Peningkatan akses kesehatan, (3) Meningkatkan kualitas dan kuantitas perlin-dungan, rehabilitasi, dan pemberdayaan sosial, (4) Mendorong pertumbuhan pada sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dan efektif menurunkan kemiskinan. (5) Peningkatan investasi, (6) Pengembangan Desa Membangun, dan (7) Sinergitas penanganan kemiskinan kerjasama Pemerintah dan Swasta.

Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui upaya-upaya perlindungan dan keber-pihakan terhadap rakyat miskin. Keberpihakan tersebut tercermin dalam program peningkatkan akses dan mutu pelayanan dan infrastruktur dasar, serta peningkatkan usaha rakyat dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat. Program tersebut secara terkoordinasi terbagi dalam tiga kelompok program penanggulangan kemiskinan berupa: (1) Bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, (2) Penanggulangan kemis-kinan berbasis pemberdayaan, (3) Penang-gulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, dan (4) Penunjang penanggulangan kemiskinan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tahap-an kegiatan dalam menuntaskan kemiskinan di Jawa Barat.

TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA

BARATTingkat kemiskinan di Jawa Barat pada

tahun 2010 sebesar 11,27%, sedangkan jumlah penduduk miskin sebanyak 4,773 juta orang, kondisi tersebut lebih baik dibanding dengan tingkat kemiskinan nasional sebesar 13,33% (BPS Jawa Barat, 2010). Perkembangan

Gambar 1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan danJumlah Penduduk Miskin Tahun 2007-2010, Provinsi Jawa Barat

Sumber Data : Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 2007,2008,2009,2010

penduduk miskin di Jawa Barat, dari tahun 2007 sampai dengan 2010 mengalami penurunan sebesar 2,27% atau dalam periode tersebut jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 687.000 orang seperti pada Gambar di bawah ini.

Menurunnya angka penduduk miskin pada periode 2007 sampai dengan 2010 tersebut merupakan komitmen pemerintah Pusat dan Provinsi Jawa Barat untuk mensejahterakan masyarakat dengan mengurangi angka kemis-kinan melalui pemberdayaan masyarakat yang tertuang dalam RPJMN dan RPJPD Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

PEMBERDAYAAN MASYARAKATPemberdayaan masyarakat merupakan

suatu cara memperbaiki kehidupan masyarakat dengan melibatkan masyarakat, organisasi dan komunitas yang diarahkan agar mampu mengu-asai (berkuasa atas) kehidupannya (Priyono,-1996). Pemberdayaan masyarakat tidak terlepas dari pemahaman kemiskinan sebagai perma-salahan yang memiliki dimensi kompleks yang tidak saja berdimensi ekonomi namun akan menyangkut dimensi sosial, budaya dan politik.

Dalam pelaksanaannya pemberdayaan masyarakat miskin memerlukan komitmen dari berbagai pihak yang menyangkut; politik, informasi dan teknologi, kelembagaan finansial, prasarana, infrastruktur, energi, dan pembangun-

an kompetensi sumberdaya manusia (SDM), serta pengembangan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal yang akan berdampak terhadap pngembangan ekonomi masyarakat (Hendewi dan Mewa Ariani, 2002).

Lokasi: Kota Sukabumi, Sumber: Bappeda Kota Sukabumi

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 32: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

32

Wawasan Perencanaan

33

Kebijakan politik dan regulasi merupakan keberpihakan pemerintah pusat dan daerah dalam mengentaskan kemiskinan, yang diimple-mentasikan dalam memberikan kesempatan dan kemudahan kepada masyarakat untuk bisa mengakses pangan, papan, pendidikan dan kesehatan dalam konteks keterjangkauan.

Penyediaan energi, baik energi listrik maupun bahan bakar merupakan komponen yang sangat penting dalam membangun masya-rakat. Aspek ini merupakan pendorong utama dalam meningkatkan kemampuan masyarakat dalam meningkatkan ekonomi rumahtangga, kesehatan dan pendidikan.

Informasi dan Teknologi, untuk member-dayakan masyarakat miskin diperlukan pening-katan akses informasi dan teknologi untuk efisi-ensi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Inovasi diperlukan guna menciptakan program maupun mengembangkan program yang telah terlaksana. Mengingat belum semua masyarakat desa mampu berkreasi menciptakan inovasi, dibutuhkan sistem informasi yang berfungsi sebagai pemicu sekaligus motor penerapan inovasi, berupa penyuluhan dan pendampingan.

Peningkatan sarana dan prasarana, serta infrastruktur, pembangunan sarana prasarana, dan pengembangan infrastuktur sesuai dengan dimensi kemandirian yang hendak dicapai.

Lembaga Finansial, Pelayanan lembaga finansial alau lembaga keuangan mikro diperlukan untuk mempercepat pemberdayaan masyarakat, Saat ini masyarakat miskin sulit untuk akses ke lembaga keuangan, untuk itu diperlukan lembaga keuangan perdesaan yang dapat melayaninya, misalnya; koperasi atau sejenisnya yang mampu berperan sebagai penyedia modal, penyedia sarana prasarana pendukung usaha warga, dan sebagai sokoguru ekonomi desa.

Kompetensi Sumberdaya manusia (SDM) dan pemeliharaan nilai-nilai budaya lokal. Dalam meminimalkan kemiskinan diperlukan kompe-tensi SDM dan nilai-nilai budaya yang mengarah kepada produktivitas tinggi, budaya tidak

konsumptif dan pola hidup sederhana, sehingga keluar dari kondisi ketergantungan kepada bantuan pemerintah atau lembaga lain.

STRATEGI PENGENTASAN

KEMISKINANMenurut Long Norman, (1977) strategi

pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat miskin harus dilakukan secara simultan antara emprowerment approach dengan transformation approach. Emprowerment appro-ach adalah upaya pengembangan masyarakat agar dapat mengembangkan kesejahteraannya sedangkan transformation approach adalah upaya pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaannya mengedepankan terjadinya perubahan yang mendasar secara kelembagaan.

Transformation approach merupakan pendekatan yang perlu segera dilaksanakan, dimana dalam pembangunan perekonomian untuk memberdayakan masyarakat perlu transformasi sosial ekonomi, budaya maupun politik secara seimbang, antara kekuatan ekonomi, sosial dan budaya. Dalam pendekatan ini masyarakat miskin diberikan hak untuk mengelola sumber daya yang ada, kesempatan untuk merencanakan dan melaksanakan pogram pembangunan yang telah mereka tentukan.

Emprowerment approach dengan transfor-mation approach dalam pengentasan kemiskinan dapat ditempuh dengan berbagai cara. Mengacu kepada standar Bank Dunia, ada tiga cara pengentasan kemiskinan yaitu; pertumbuhan ekonomi (economic growth), pelayanan sosial (social services), pembiayaan pemerintah (public expenditure) yang masing-masing terbagi pada 3 hal yaitu; kerentanan (vulnerability), multi-dimensional dan disparitas regional (The World Bank, 2005). Berdasarkan standar Bank Dunia tersebut, strategi pengentasan kemiskinan yang efektif bagi terdiri dari tiga komponen:

1)Membuat pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan. Pertama, langkah membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat

miskin merupakan kunci bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan proses pertumbuhan baik dalam konteks pedesaan-perkotaan. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek perbedaan antar daerah. Kedua, dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan kegiatan apapun yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta kerentanan kemiskinan.

2)Membuat layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin. Penyediaan layanan sosial bagi rakyat miskin baik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swasta-adalah mutlak dalam penanganan kemiskinan. Pertama, hal itu merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan. Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya Angka Kematian Ibu yang tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini berkaitan dengan perbaikan sistem pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan proses kepemerintahan. Kedua, ciri keragaman antar daerah kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat layanan masyarakat bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.

3) Membuat pengeluaran pemerintah berman-faat bagi rakyat miskin. Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan). Pertama, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi.

Kedua, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator pem-bangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan. Mem-buat pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat miskin sangat menentukan saat ini, terutama mengingat adanya peluang dari sisi fiscal yang ada di Indonesia saat kini.

TAHAPAN PENGENTASAN

KEMISKINAN DI JAWA BARATSesuai dengan konsep Long Norman,

(1977) dalam pengentasan kemiskinan yang menggunakan perpaduan antara emprowerment approach dengan transformation approach dan strategi pengentasan kemiskinan dari The World Bank yang telah dibahas di atas, diperlukan tahapan dalam proses pengentasan kemiskinan. Tahapan tersebut dibangun oleh tiga hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian. Sesuai dengan tahapan tersebut Ahmad Heryawan (2012) menyatakan bahwa program penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat dibagi ke dalam 3 kluster, yaitu kluster I terkait bantuan dan perlindungan sosial, kluster II urusan pemberdayaan masyarakat dan kluster III urusan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

Dalam pelaksanaan tahapan tersebut tentu memerlukan dukungan komitmen dari berbagai pihak yang menyangkut; politik, informasi dan teknologi, kelembagaan finansial, prasarana, infrastruktur, energi, dan pembangunan kompe-tensi sumberdaya manusia (SDM), serta pengembangan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal serperti yang dikemukakan Hendewi dan Mewa Ariani (2002) dalam bahasan pemberdaya-an di atas. Komitmen tersebut perlu di aplikan oleh setiap OPD dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang terkait dalam program pengentasan kemiskinan, dengan dikoordinasikan oleh OPD Teknis yang menangani tahapan dalam pengen-tasan penduduk miskin di Jawa Barat seperti pada Gambar 2.

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 33: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

32

Wawasan Perencanaan

33

Kebijakan politik dan regulasi merupakan keberpihakan pemerintah pusat dan daerah dalam mengentaskan kemiskinan, yang diimple-mentasikan dalam memberikan kesempatan dan kemudahan kepada masyarakat untuk bisa mengakses pangan, papan, pendidikan dan kesehatan dalam konteks keterjangkauan.

Penyediaan energi, baik energi listrik maupun bahan bakar merupakan komponen yang sangat penting dalam membangun masya-rakat. Aspek ini merupakan pendorong utama dalam meningkatkan kemampuan masyarakat dalam meningkatkan ekonomi rumahtangga, kesehatan dan pendidikan.

Informasi dan Teknologi, untuk member-dayakan masyarakat miskin diperlukan pening-katan akses informasi dan teknologi untuk efisi-ensi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Inovasi diperlukan guna menciptakan program maupun mengembangkan program yang telah terlaksana. Mengingat belum semua masyarakat desa mampu berkreasi menciptakan inovasi, dibutuhkan sistem informasi yang berfungsi sebagai pemicu sekaligus motor penerapan inovasi, berupa penyuluhan dan pendampingan.

Peningkatan sarana dan prasarana, serta infrastruktur, pembangunan sarana prasarana, dan pengembangan infrastuktur sesuai dengan dimensi kemandirian yang hendak dicapai.

Lembaga Finansial, Pelayanan lembaga finansial alau lembaga keuangan mikro diperlukan untuk mempercepat pemberdayaan masyarakat, Saat ini masyarakat miskin sulit untuk akses ke lembaga keuangan, untuk itu diperlukan lembaga keuangan perdesaan yang dapat melayaninya, misalnya; koperasi atau sejenisnya yang mampu berperan sebagai penyedia modal, penyedia sarana prasarana pendukung usaha warga, dan sebagai sokoguru ekonomi desa.

Kompetensi Sumberdaya manusia (SDM) dan pemeliharaan nilai-nilai budaya lokal. Dalam meminimalkan kemiskinan diperlukan kompe-tensi SDM dan nilai-nilai budaya yang mengarah kepada produktivitas tinggi, budaya tidak

konsumptif dan pola hidup sederhana, sehingga keluar dari kondisi ketergantungan kepada bantuan pemerintah atau lembaga lain.

STRATEGI PENGENTASAN

KEMISKINANMenurut Long Norman, (1977) strategi

pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat miskin harus dilakukan secara simultan antara emprowerment approach dengan transformation approach. Emprowerment appro-ach adalah upaya pengembangan masyarakat agar dapat mengembangkan kesejahteraannya sedangkan transformation approach adalah upaya pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaannya mengedepankan terjadinya perubahan yang mendasar secara kelembagaan.

Transformation approach merupakan pendekatan yang perlu segera dilaksanakan, dimana dalam pembangunan perekonomian untuk memberdayakan masyarakat perlu transformasi sosial ekonomi, budaya maupun politik secara seimbang, antara kekuatan ekonomi, sosial dan budaya. Dalam pendekatan ini masyarakat miskin diberikan hak untuk mengelola sumber daya yang ada, kesempatan untuk merencanakan dan melaksanakan pogram pembangunan yang telah mereka tentukan.

Emprowerment approach dengan transfor-mation approach dalam pengentasan kemiskinan dapat ditempuh dengan berbagai cara. Mengacu kepada standar Bank Dunia, ada tiga cara pengentasan kemiskinan yaitu; pertumbuhan ekonomi (economic growth), pelayanan sosial (social services), pembiayaan pemerintah (public expenditure) yang masing-masing terbagi pada 3 hal yaitu; kerentanan (vulnerability), multi-dimensional dan disparitas regional (The World Bank, 2005). Berdasarkan standar Bank Dunia tersebut, strategi pengentasan kemiskinan yang efektif bagi terdiri dari tiga komponen:

1)Membuat pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan. Pertama, langkah membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat

miskin merupakan kunci bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan proses pertumbuhan baik dalam konteks pedesaan-perkotaan. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek perbedaan antar daerah. Kedua, dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan kegiatan apapun yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta kerentanan kemiskinan.

2)Membuat layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin. Penyediaan layanan sosial bagi rakyat miskin baik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swasta-adalah mutlak dalam penanganan kemiskinan. Pertama, hal itu merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan. Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya Angka Kematian Ibu yang tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini berkaitan dengan perbaikan sistem pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan proses kepemerintahan. Kedua, ciri keragaman antar daerah kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat layanan masyarakat bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.

3) Membuat pengeluaran pemerintah berman-faat bagi rakyat miskin. Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan). Pertama, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi.

Kedua, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator pem-bangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan. Mem-buat pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat miskin sangat menentukan saat ini, terutama mengingat adanya peluang dari sisi fiscal yang ada di Indonesia saat kini.

TAHAPAN PENGENTASAN

KEMISKINAN DI JAWA BARATSesuai dengan konsep Long Norman,

(1977) dalam pengentasan kemiskinan yang menggunakan perpaduan antara emprowerment approach dengan transformation approach dan strategi pengentasan kemiskinan dari The World Bank yang telah dibahas di atas, diperlukan tahapan dalam proses pengentasan kemiskinan. Tahapan tersebut dibangun oleh tiga hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian. Sesuai dengan tahapan tersebut Ahmad Heryawan (2012) menyatakan bahwa program penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat dibagi ke dalam 3 kluster, yaitu kluster I terkait bantuan dan perlindungan sosial, kluster II urusan pemberdayaan masyarakat dan kluster III urusan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

Dalam pelaksanaan tahapan tersebut tentu memerlukan dukungan komitmen dari berbagai pihak yang menyangkut; politik, informasi dan teknologi, kelembagaan finansial, prasarana, infrastruktur, energi, dan pembangunan kompe-tensi sumberdaya manusia (SDM), serta pengembangan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal serperti yang dikemukakan Hendewi dan Mewa Ariani (2002) dalam bahasan pemberdaya-an di atas. Komitmen tersebut perlu di aplikan oleh setiap OPD dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang terkait dalam program pengentasan kemiskinan, dengan dikoordinasikan oleh OPD Teknis yang menangani tahapan dalam pengen-tasan penduduk miskin di Jawa Barat seperti pada Gambar 2.

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 34: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

34

Kluster 1 Terkait Bantuan Dan Perlindungan Sosial

Khusus kluster I dengan fokus bantuan dan perlindungan sosial melalui implementasi program raskin, dan bantuan social lainnya dengan tahapan sebagai berikut:(1) Tahap charity yaitu tahapan memberikan bantuan kepada masyarakat yang berada pada kondisi memerlukan bantuan. Kegiatan ini telah dilaksanakan pemerintah melalaui program pengentasan kemiskinan yang berada pada setiap Organisasi perangkat Daerah (OPD). Tahapan ini berada dalam koordinasi Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD). Pelaksanaan pada tahapan ini diilakasnakan untuk menanggulangi kebutuhan masyarakat miskin dalam sesaat berupa raskin, BLT, bantuan sosial, dll. Kluster 2 Urusan Pemberdayaan Masyarakat

Urusan pemberdayaan masyarakat dengan tahapan sebagai berikut:(2) Tahap substain, yaitu tahap masyarakat keluar dari ketergantungan seperti pada tahap charity, yang menggantungkan diri kepada bantuan. Tahapan ini akan melibatkan OPD teknis lainnya dengan koordinasi BPMPD sehingga secara teknis dapat mengembangkan

pendapatan masyarakat melalui produksi barang/pangan dan atau jasa. Pada tahap ini kegiatan masyarakat telah mengarah kepada komoditas usaha tertentu. Apabila tahap substain ini telah dicapai maka bantuan yang diterima pada tahap charity dapat dimanfaatkan kepada kegiatan yang lebih produktif dan mempunyai nilai usaha. Pada kondisi ini mengantarkan masyarakat di desa miskin menuju ke masyarakat yang berorientasi ekonomi.(3) Tahap Ekonomic, merupakan kelanjutan dari tahap substain pada tahap ini telah berlaku skala ekonomi dimana desa miskinyang telah dibangun menjadi desa yang sustain merupakan suatu kesatuan klaster dengan desa lain pada skala usaha tertentu. Tahapan ini dilakukan oleh OPD teknis dengan koordinasi dari Dinas Koperasi Usaha Menengah dan Kec i l , dengan berkoordinasi dengan Dinas teknis (Dinas Rumpun Pertanian, Industri), dan lembaga keuangan.Kluster 3 urusan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

Pemberdayaan masyarakat miskin menuju kepada Usaha Mikro dan Kecil (UMK).(4) Tahapan Sharing system, yaitu tahapan pembentukan sistem usaha yang adil antara

Ahmad Heryawan, 2012. Beras Miskin untuk Jawa Barat Naik, http://nasional.vivanews.com/news/read/ 202162-2011--beras-miskin-untuk-jawa-barat-naik. Diunduh tanggal 29 Januari 2012.

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2007. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2007.

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2008. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2008.

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2009. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2009.

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2010. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2010.

Ismid Hadad, 2003. Pengentasan Kemiskinan Dalam Pembangunan Berkelanjutan Dan Perubahan Pola Produksi Yang Ramah Lingkungan. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke-VIII. Departemen Kehakiman dan HAM RI. Tanggal 14-18 Juli 2003 di Kuta, Bali.

Prijono, 1996. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. CSIS. Jakarta.

Sony Herdiana, 2006, http://opininyasonyasgar.blogspot. com/2006/10/potret-kemiskinan-jawa-barat.html. Diunduh Tanggal 25 Januari 2012.

Hendewi dan Mewa Ariani, 2002. Ketahanan Pangan, Konsep Pengukurandan Strategi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Subarna Trisna, 2019. Akselerasi Pengentasan Desa Rawan Pangan Melalui Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Barat.Agribisnisn Perberasan Jawa Barat. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 2009.

Erlis Karnesih, 2005. Pengentasan Penduduk Miskin Sebagai Refleksi Pelaksanaan Otonomi Daerah Jawa Barat, Sosiohumaniora, Vol.7, No.3, November 2005.

The World Bank, 2006. Ihtisar Era Baru Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia.

Daftar Pustaka

produsen, pengolah dan pedagang. Sharing system akan di capai melalui pola kemitraan. Tahapan ini dilakukan oleh Dinas Koperasi Usaha Menengah dan Kecil, dengan berkoor-dinasi dengan Lembaga Lainnya.(5) Tahapan human assets/resourche, yaitu me-melihara keberlanjutan kondisi ekonomi wilayah pedesaan yang telah dibangun melalui peme-liharaan lingkungan usaha, lingkungan sosial dan lingkungan fisik biologi. Tahapan ini dilakukan oleh Dinas Teknis, yang berada pada koordinasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

PENUTUPPengentasan kemiskinan memerlukan per-

paduan antara emprowerment approach dengan transformation approach melalui tahapan yang dibangun oleh; pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian. Sesuai dengan tahapan tersebut program penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat dibagi ke dalam 3 kluster, yaitu kluster I terkait bantuan dan perlindungan sosial, kluster II urusan pember-dayaan masyarakat dan kluster III urusan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

Tahapan pengentasan yang harus ditem-puh adalah: 1. Bagi masyarakat miskin. Perluasan kesem-

patan, yakni Pemerintah, Sektor swasta dan masyarakat menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha;

2. Pemberdayaan masyarakat, yakni Pemerin-tah, sektor swasta dan masyarakat member-dayakan masyarakat miskin agar dapat memperoleh kembali hak-hak ekonomi, sosial politik, dan hak untuk mengawasi keputusan yang menyangkut kepentingannya, menyalur-kan aspirasi, mengidentifikasi masalah dan kebutuhan sendiri;

3. Peningkatan kemampuan, yakni Pemerintah, sektor swasta dan masyarakat meningkatkan kapasitas atau kemampuan masyarakat miskin agar mampu bekerja dan berusaha secara produktif dan memperjuangkan kepentingannya;

4. Perlindungan sosial, yakni Pemerintah melalui kebijakan publik mengajak sektor swasta dan masyarakat memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin, utamanya masyarakat yang paling miskin (fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, cacat) dan kelompok masyarakat miskin yang disebabkan oleh bencana alam, dampak negatif kritis ekonomi dan konflik sosial. 6

Gambar 2. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Diadopsi dari Konsep Pengembangan Desa Rawan Pangan melalui Pemberdayaan Masyarakat, Subarna, Trisna, 2009

Wawasan Perencanaan

35Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 35: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

34

Kluster 1 Terkait Bantuan Dan Perlindungan Sosial

Khusus kluster I dengan fokus bantuan dan perlindungan sosial melalui implementasi program raskin, dan bantuan social lainnya dengan tahapan sebagai berikut:(1) Tahap charity yaitu tahapan memberikan bantuan kepada masyarakat yang berada pada kondisi memerlukan bantuan. Kegiatan ini telah dilaksanakan pemerintah melalaui program pengentasan kemiskinan yang berada pada setiap Organisasi perangkat Daerah (OPD). Tahapan ini berada dalam koordinasi Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD). Pelaksanaan pada tahapan ini diilakasnakan untuk menanggulangi kebutuhan masyarakat miskin dalam sesaat berupa raskin, BLT, bantuan sosial, dll. Kluster 2 Urusan Pemberdayaan Masyarakat

Urusan pemberdayaan masyarakat dengan tahapan sebagai berikut:(2) Tahap substain, yaitu tahap masyarakat keluar dari ketergantungan seperti pada tahap charity, yang menggantungkan diri kepada bantuan. Tahapan ini akan melibatkan OPD teknis lainnya dengan koordinasi BPMPD sehingga secara teknis dapat mengembangkan

pendapatan masyarakat melalui produksi barang/pangan dan atau jasa. Pada tahap ini kegiatan masyarakat telah mengarah kepada komoditas usaha tertentu. Apabila tahap substain ini telah dicapai maka bantuan yang diterima pada tahap charity dapat dimanfaatkan kepada kegiatan yang lebih produktif dan mempunyai nilai usaha. Pada kondisi ini mengantarkan masyarakat di desa miskin menuju ke masyarakat yang berorientasi ekonomi.(3) Tahap Ekonomic, merupakan kelanjutan dari tahap substain pada tahap ini telah berlaku skala ekonomi dimana desa miskinyang telah dibangun menjadi desa yang sustain merupakan suatu kesatuan klaster dengan desa lain pada skala usaha tertentu. Tahapan ini dilakukan oleh OPD teknis dengan koordinasi dari Dinas Koperasi Usaha Menengah dan Kec i l , dengan berkoordinasi dengan Dinas teknis (Dinas Rumpun Pertanian, Industri), dan lembaga keuangan.Kluster 3 urusan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

Pemberdayaan masyarakat miskin menuju kepada Usaha Mikro dan Kecil (UMK).(4) Tahapan Sharing system, yaitu tahapan pembentukan sistem usaha yang adil antara

Ahmad Heryawan, 2012. Beras Miskin untuk Jawa Barat Naik, http://nasional.vivanews.com/news/read/ 202162-2011--beras-miskin-untuk-jawa-barat-naik. Diunduh tanggal 29 Januari 2012.

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2007. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2007.

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2008. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2008.

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2009. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2009.

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2010. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2010.

Ismid Hadad, 2003. Pengentasan Kemiskinan Dalam Pembangunan Berkelanjutan Dan Perubahan Pola Produksi Yang Ramah Lingkungan. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke-VIII. Departemen Kehakiman dan HAM RI. Tanggal 14-18 Juli 2003 di Kuta, Bali.

Prijono, 1996. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. CSIS. Jakarta.

Sony Herdiana, 2006, http://opininyasonyasgar.blogspot. com/2006/10/potret-kemiskinan-jawa-barat.html. Diunduh Tanggal 25 Januari 2012.

Hendewi dan Mewa Ariani, 2002. Ketahanan Pangan, Konsep Pengukurandan Strategi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Subarna Trisna, 2019. Akselerasi Pengentasan Desa Rawan Pangan Melalui Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Barat.Agribisnisn Perberasan Jawa Barat. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 2009.

Erlis Karnesih, 2005. Pengentasan Penduduk Miskin Sebagai Refleksi Pelaksanaan Otonomi Daerah Jawa Barat, Sosiohumaniora, Vol.7, No.3, November 2005.

The World Bank, 2006. Ihtisar Era Baru Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia.

Daftar Pustaka

produsen, pengolah dan pedagang. Sharing system akan di capai melalui pola kemitraan. Tahapan ini dilakukan oleh Dinas Koperasi Usaha Menengah dan Kecil, dengan berkoor-dinasi dengan Lembaga Lainnya.(5) Tahapan human assets/resourche, yaitu me-melihara keberlanjutan kondisi ekonomi wilayah pedesaan yang telah dibangun melalui peme-liharaan lingkungan usaha, lingkungan sosial dan lingkungan fisik biologi. Tahapan ini dilakukan oleh Dinas Teknis, yang berada pada koordinasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

PENUTUPPengentasan kemiskinan memerlukan per-

paduan antara emprowerment approach dengan transformation approach melalui tahapan yang dibangun oleh; pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian. Sesuai dengan tahapan tersebut program penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat dibagi ke dalam 3 kluster, yaitu kluster I terkait bantuan dan perlindungan sosial, kluster II urusan pember-dayaan masyarakat dan kluster III urusan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

Tahapan pengentasan yang harus ditem-puh adalah: 1. Bagi masyarakat miskin. Perluasan kesem-

patan, yakni Pemerintah, Sektor swasta dan masyarakat menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha;

2. Pemberdayaan masyarakat, yakni Pemerin-tah, sektor swasta dan masyarakat member-dayakan masyarakat miskin agar dapat memperoleh kembali hak-hak ekonomi, sosial politik, dan hak untuk mengawasi keputusan yang menyangkut kepentingannya, menyalur-kan aspirasi, mengidentifikasi masalah dan kebutuhan sendiri;

3. Peningkatan kemampuan, yakni Pemerintah, sektor swasta dan masyarakat meningkatkan kapasitas atau kemampuan masyarakat miskin agar mampu bekerja dan berusaha secara produktif dan memperjuangkan kepentingannya;

4. Perlindungan sosial, yakni Pemerintah melalui kebijakan publik mengajak sektor swasta dan masyarakat memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin, utamanya masyarakat yang paling miskin (fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, cacat) dan kelompok masyarakat miskin yang disebabkan oleh bencana alam, dampak negatif kritis ekonomi dan konflik sosial. 6

Gambar 2. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Diadopsi dari Konsep Pengembangan Desa Rawan Pangan melalui Pemberdayaan Masyarakat, Subarna, Trisna, 2009

Wawasan Perencanaan

35Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 36: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

37

l Eddy Kusmayadi*

MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN

DALAM MENGURANGI KEMISKINAN DI JAWA BARAT

MASYARAKAT PEDESAAN

Pendahuluan“Tidaklah akan berubah nasib suatu kaum

apabila kaum itu sendiri tidak merubahnya”. Ungkapan tersebut sangatlah benar karena perubahan nasib yang merubah kaum itu tidaklah

_______________________________________

* Mantan Auditor Pemerintah; Ketua Lembaga Konsultan Manajemen Sektor Publik "SEBELAS"; Kandidat Doktor Ilmu Filsafat UGM; Dosen USB-YPKP Bandung.

datang dengan sendirinya atau jatuh dari langit, tetapi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh dan sepe-nuh hati oleh kaum itu

sendiri. Atas dasar ungkapan tersebut diatas kita memperoleh tiga kata kunci penting yaitu perubahan, nasib dan kaum. Siapakah mereka?

Perubahan dapat dimaknai sebagai pem-bangunan, karena pada hakikatnya pembangun-an adalah suatu perubahan yang direncanakan yang bertujuan menjadikan suatu keadaan atau kondisi menjadi lebih baik, lebih makmur atau lebih sejahtera. Sedangkan nasib dalam konteks judul dapat diartikan sebagai kemiskinan, keku-rangan atau ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, minum, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan, baik secara

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

individual maupun komunitas, serta kaum diarti-kan sebagai sekelompok orang atau masyarakat yang berdiam pada suatu wilayah tertentu yang dibatasi oleh batas-batas fisik dan administrasi tertentu yang kemudian disebut desa. Pertanya-an berikutnya siapa yang membangun, apa yang dibangun dan bagaimana caranya?

Tugas negara adalah mendukung dan melengkapkan usaha masyarakat untuk mem-bangun suatu kehidupan yang sejahtera dimana masyarakat dapat hidup dengan sebaik dan seadil mungkin, maka tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan umum. Kese-jahteraan umum terdiri dari syarat-syarat yang harus dipenuhi agar masyarakat sendiri dapat merasa sejahtera. Secara negatif manusia disebut sejahtera apabila ia bebas dari perasaan lapar dan dari kemiskinan, dari kecemasan akan hari esok, bebas dari perasaan takut, dari penindasan dan tidak merasa diperlakukan dengan tidak adil. Secara positif manusia dapat disebut sejahtera apabila ia merasa aman, tentram, selamat, apabila ia dapat hidup sesuai cita-cita dan nilai-nilai sendiri, apabila ia merasa bebas untuk mewujudkan kehidupan individual dan sosialnya (filsafat politik, Suseno 2003).

Dengan demikian jelaslah sudah bahwa yang mempunyai tugas mendukung dan meleng-kapi usaha masyarakat adalah negara yang dalam hal ini diwakili pemerintahan pusat maupun daerah yang berkewajiban memberikan pelayanan infrastruktur dan non infrastruktur, untuk mengurangi kemiskinan masyarakat pedesaan. Mengurangi kemiskinan hendaknya dimulai dari identifikasi awal kondisi pedesaaan dalam bentuk pendefinisian kemiskinan dan pemetaan kemiskinan di pedesaan, karena senyatanya di desa-desa kemiskinan itu beragam atau bervariasi sehingga perlu di kelompokan kedalam faktor penyebab kemiskinan yang terjadi. Pada umumnya masyarakat Jawa Barat adalah masyarakat pertanian, oleh karena itu agar mereka dapat menikmati kesejahteraan umum dan kesejahteraan individual perlu pendekatan berdasarkan siklus hidup manusia, yaitu: ada (hidup), sehat, belajar, bekerja, tidak sehat dan tiada, maka layak kiranya bagi

masyarakat desa disediakan sarana dan prasarana hidup sehat, sarana pendidikan, pekerjaan, sarana tidak sehat dan sarana tiada atau wafat. Data statistik menunjukan kemiskinan masyarakat Jawa Barat mencapai 36% dan sebagian besar berada di desa-desa oleh karena itu tepatlah kiranya upaya-upaya pembangunan diarahkan terhadap masyarakat pedesaan.

Mengenali Kemiskinan di PedesaanKesejahteraan atau kemakmuran adalah

kondisi yang di cita-citakan dalam konstitusi negara Republik Indonesia. Kesejahteraan atau kemakmuran merupakan lawan dari kemiskinan oleh karena itu seringkali kemiskinan dikatakan dalam bahasa halus sebagai pra sejahtera. Kemiskinan/kekurangan atau ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dapat dibagi ke dalam kemiskinan kolektif dan individual. Secara kolektif kemiskinan desa dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut:1.Kategori miskin pendapatan dengan indikator

rendahnya pendapatan domestik bruto desa dan kemampuan daya beli masyarakatnya.

2.Kategori miskin kesehatan dengan indikator tingginya angka kematian ibu, bayi/balita/AKI/ AKB/AKABA, angka kesakitan, gizi buruk dan sebagainya.

3.Kategori miskin pendidikan dengan indikator rendahnya angka rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi sekolah serta tingginya angka drop out sekolah dan buta huruf.

4.Kategori miskin akses dan informasi dengan indikator rendahnya angka pertisipasi pembangunan, rendahnya partisipasi politik, rendahnya kesadaran hukum, dan sebagainya.

Sedangkan kemiskinan individual dapat dikenali berdasarkan beberapa ciri sebagai berikut:1. Pendapatan tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan hidup layak.2. Kekurangan makan atau minum, sehari

makan kurang dari dua kali.3. Kualitas makanan atau minumam yang

dikonsumsi tidak memenuhi standar gizi.4. Belum berperilaku hidup bersih dan sehat.

Wawasan Perencanaan

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 201236 Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 37: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

37

l Eddy Kusmayadi*

MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN

DALAM MENGURANGI KEMISKINAN DI JAWA BARAT

MASYARAKAT PEDESAAN

Pendahuluan“Tidaklah akan berubah nasib suatu kaum

apabila kaum itu sendiri tidak merubahnya”. Ungkapan tersebut sangatlah benar karena perubahan nasib yang merubah kaum itu tidaklah

_______________________________________

* Mantan Auditor Pemerintah; Ketua Lembaga Konsultan Manajemen Sektor Publik "SEBELAS"; Kandidat Doktor Ilmu Filsafat UGM; Dosen USB-YPKP Bandung.

datang dengan sendirinya atau jatuh dari langit, tetapi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh dan sepe-nuh hati oleh kaum itu

sendiri. Atas dasar ungkapan tersebut diatas kita memperoleh tiga kata kunci penting yaitu perubahan, nasib dan kaum. Siapakah mereka?

Perubahan dapat dimaknai sebagai pem-bangunan, karena pada hakikatnya pembangun-an adalah suatu perubahan yang direncanakan yang bertujuan menjadikan suatu keadaan atau kondisi menjadi lebih baik, lebih makmur atau lebih sejahtera. Sedangkan nasib dalam konteks judul dapat diartikan sebagai kemiskinan, keku-rangan atau ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, minum, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan, baik secara

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

individual maupun komunitas, serta kaum diarti-kan sebagai sekelompok orang atau masyarakat yang berdiam pada suatu wilayah tertentu yang dibatasi oleh batas-batas fisik dan administrasi tertentu yang kemudian disebut desa. Pertanya-an berikutnya siapa yang membangun, apa yang dibangun dan bagaimana caranya?

Tugas negara adalah mendukung dan melengkapkan usaha masyarakat untuk mem-bangun suatu kehidupan yang sejahtera dimana masyarakat dapat hidup dengan sebaik dan seadil mungkin, maka tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan umum. Kese-jahteraan umum terdiri dari syarat-syarat yang harus dipenuhi agar masyarakat sendiri dapat merasa sejahtera. Secara negatif manusia disebut sejahtera apabila ia bebas dari perasaan lapar dan dari kemiskinan, dari kecemasan akan hari esok, bebas dari perasaan takut, dari penindasan dan tidak merasa diperlakukan dengan tidak adil. Secara positif manusia dapat disebut sejahtera apabila ia merasa aman, tentram, selamat, apabila ia dapat hidup sesuai cita-cita dan nilai-nilai sendiri, apabila ia merasa bebas untuk mewujudkan kehidupan individual dan sosialnya (filsafat politik, Suseno 2003).

Dengan demikian jelaslah sudah bahwa yang mempunyai tugas mendukung dan meleng-kapi usaha masyarakat adalah negara yang dalam hal ini diwakili pemerintahan pusat maupun daerah yang berkewajiban memberikan pelayanan infrastruktur dan non infrastruktur, untuk mengurangi kemiskinan masyarakat pedesaan. Mengurangi kemiskinan hendaknya dimulai dari identifikasi awal kondisi pedesaaan dalam bentuk pendefinisian kemiskinan dan pemetaan kemiskinan di pedesaan, karena senyatanya di desa-desa kemiskinan itu beragam atau bervariasi sehingga perlu di kelompokan kedalam faktor penyebab kemiskinan yang terjadi. Pada umumnya masyarakat Jawa Barat adalah masyarakat pertanian, oleh karena itu agar mereka dapat menikmati kesejahteraan umum dan kesejahteraan individual perlu pendekatan berdasarkan siklus hidup manusia, yaitu: ada (hidup), sehat, belajar, bekerja, tidak sehat dan tiada, maka layak kiranya bagi

masyarakat desa disediakan sarana dan prasarana hidup sehat, sarana pendidikan, pekerjaan, sarana tidak sehat dan sarana tiada atau wafat. Data statistik menunjukan kemiskinan masyarakat Jawa Barat mencapai 36% dan sebagian besar berada di desa-desa oleh karena itu tepatlah kiranya upaya-upaya pembangunan diarahkan terhadap masyarakat pedesaan.

Mengenali Kemiskinan di PedesaanKesejahteraan atau kemakmuran adalah

kondisi yang di cita-citakan dalam konstitusi negara Republik Indonesia. Kesejahteraan atau kemakmuran merupakan lawan dari kemiskinan oleh karena itu seringkali kemiskinan dikatakan dalam bahasa halus sebagai pra sejahtera. Kemiskinan/kekurangan atau ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dapat dibagi ke dalam kemiskinan kolektif dan individual. Secara kolektif kemiskinan desa dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut:1.Kategori miskin pendapatan dengan indikator

rendahnya pendapatan domestik bruto desa dan kemampuan daya beli masyarakatnya.

2.Kategori miskin kesehatan dengan indikator tingginya angka kematian ibu, bayi/balita/AKI/ AKB/AKABA, angka kesakitan, gizi buruk dan sebagainya.

3.Kategori miskin pendidikan dengan indikator rendahnya angka rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi sekolah serta tingginya angka drop out sekolah dan buta huruf.

4.Kategori miskin akses dan informasi dengan indikator rendahnya angka pertisipasi pembangunan, rendahnya partisipasi politik, rendahnya kesadaran hukum, dan sebagainya.

Sedangkan kemiskinan individual dapat dikenali berdasarkan beberapa ciri sebagai berikut:1. Pendapatan tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan hidup layak.2. Kekurangan makan atau minum, sehari

makan kurang dari dua kali.3. Kualitas makanan atau minumam yang

dikonsumsi tidak memenuhi standar gizi.4. Belum berperilaku hidup bersih dan sehat.

Wawasan Perencanaan

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 201236 Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 38: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

38

Wawasan Perencanaan

39

5. Tempat tinggal tidak layak huni.6. Tidak mempunyai pakaian yang layak untuk

melindungi diri dari cuaca dan keadaan alam.

7. Tidak mampu menyekolahkan anak pada tingkat dasar.

8. Tidak mampu mengakses ins ta las i kesehatan.

9. Tidak memahami hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

10. Tidak mempunyai keterampilan tertentu.11. Tidak dapat mengakses listrik dan air bersih.12. Tidak mempunyai faktor produksi untuk me-

nunjang kehidupan (tanah, perkakas, dsb).13. Tidak merasa bebas atau selalu dihantui

rasa takut/merasa dalam ancaman.14. Tidak merasa aman dan tentram.15. Merasa cemas akan hari esok.16. Tidak bisa membaca dan menulis.17. T i d a k m a m p u m e n g a k s e s s u m b e r

pendanaan.18. Tidak mampu mengakses informasi secara

memadai.19. Tidak peka lingkungan.nan kolektif, dan20. Ciri negatif dan positif lainnya.

Dengan mengetahui ciri-ciri kemiskinan baik secara kolektif maupun individual maka para perencana pembangunan akan memperoleh petunjuk mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mengurangi kemiskinan di pedesaan. Namun tidak menjadi jaminan bahwa seseorang yang menyandang ciri kemiskinan terentu yang bersangkutan benar-benar miskin, misalnya seseorang yang buta huruf ternyata dia termasuk orang kaya di desa nya. Selanjutnya kemiskinan berkepanjangan di desa dapat mengakibatkan eksodus penduduk desa ke kota besar atau urbanisasi yang bisa menimbulkan masalah sosial baru di kota-kota besar.

Dari ciri-ciri kemiskinan kolektif dan individual kiranya perlu diidentifikasi faktor penyebab kemiskinan tersebut untuk memastikan bahwa pembangunan yang akan dilaksanakan berjalan secara ekonomis, efisien, dan efektif.

Apa faktor Penyebab Kemiskinan?Mengetahui faktor penyebab kemiskinan

sangat penting untuk merumuskan tindak lanjut perbaikan kesejahteraan atau mengurangi kemiskinan sebab rekomendasi-rekomendasi

penting berasal dari identifikasi penyebab yang kemudian menghilangkan penyebab tersebut, sehingga kondisi kemiskinan yang terjadi dapat di eliminir atau diminimalkan.

Beberapa faktor penyebab kemiskinan dapat dikelompokan ke dalam golongan kelemahan sebagai berikut :1. Sumber daya manusia2. Infrastruktur3. Pelayanan non infrastruktur4. Dana5. Keamanan6. Sosial budaya7. Lingkungan hidup

Seringkali faktor penyebab kemiskinan tersebut saling berkaitan satu sama lain, menjelimet bagaikan lingkaran setan, sehingga sangat sulit untuk memberikan treatment atau rekomendasi yang akurat.

Faktor SDM terdiri dari SDM masyarakat dan aparatur. - SDM masyarakat desa

·Tidak mempunyai keterampilan tertentu

·Keterbatasan pengetahuan dan informasi

·Tidak sehat

·Rasa takut dan tidak percaya diri- SDM aparatur

·Kurangnya tenaga profesi kesehatan/pendi-dikan/profesi lainnya (dokter, para medis, guru, juru penerangan masyarakat, dsb.)

·Kurang pengetahuan

·Kurang keterampilan

·Sikap mental ingin dilayani

·Kurang peka lingkungan

Faktor Kelemahan Infrastruktur (Sarana dan Prasarana desa dan aparatur) antara lain tidak tersedia/tidak berfungsinya:

·Jalan

·Jembatan

·Pengairan

·Listrik

·Air minum

·Alat komunikasi

·Alat transportasi

·Alat peraga pembangunan

·Sarana pelayanan lainnya

·Sekolah dasar/SMP/MI/MTS/SMA

·Puskesmas/Posyandu/Polindes

Faktor kelemahan pelayanan non infra-struktur (pelayanan aparatur)

·Bidang Hukum dan HAM, tidak menciptakan kepastian Hukum dan HAM.

·Bidang kependudukan, tidak menyediakan data kependudukan yang akurat dan kurang melayani kebutuhan surat menyurat kepen-dudukan.

·Bidang informasi, tidak memberikan infor-masi yang jelas dan akurat.

·Bidang pertanahan, proses penentuan status pertanahan yang berbelit-belit dan pungutan liar.

·Bidang perizinan, proses perizinan yang berbelit-belit dan pungutan liar.

·Bidang kesehatan dan pendid ikan, pelayanan tidak memuaskan/tidak sesuai kebutuhan.

Faktor Dana- Masyarakat :

·Tidak mempunyai dana untuk berusaha/ meningkatkan pendapatan.

·Tidak mempunyai dana untuk sekolah dan kesehatan.

·Tidak mampu mengakses pendanaan per-bankan/lembaga keuangan karena faktor koleteral (jaminan).

·Terjerat rentenir dengan biaya tinggi, sehing-ga aset yang ada di sita dan menambah kemiskinan.

- Aparatur:

·Tidak tersedianya dana yang cukup untuk kegiatan pembangunan.

·Dana yang tersedia peruntukannya berbeda dengan kebutuhan desa.

·Dana pembangunan dikorupsi.

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 39: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

38

Wawasan Perencanaan

39

5. Tempat tinggal tidak layak huni.6. Tidak mempunyai pakaian yang layak untuk

melindungi diri dari cuaca dan keadaan alam.

7. Tidak mampu menyekolahkan anak pada tingkat dasar.

8. Tidak mampu mengakses ins ta las i kesehatan.

9. Tidak memahami hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

10. Tidak mempunyai keterampilan tertentu.11. Tidak dapat mengakses listrik dan air bersih.12. Tidak mempunyai faktor produksi untuk me-

nunjang kehidupan (tanah, perkakas, dsb).13. Tidak merasa bebas atau selalu dihantui

rasa takut/merasa dalam ancaman.14. Tidak merasa aman dan tentram.15. Merasa cemas akan hari esok.16. Tidak bisa membaca dan menulis.17. T i d a k m a m p u m e n g a k s e s s u m b e r

pendanaan.18. Tidak mampu mengakses informasi secara

memadai.19. Tidak peka lingkungan.nan kolektif, dan20. Ciri negatif dan positif lainnya.

Dengan mengetahui ciri-ciri kemiskinan baik secara kolektif maupun individual maka para perencana pembangunan akan memperoleh petunjuk mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mengurangi kemiskinan di pedesaan. Namun tidak menjadi jaminan bahwa seseorang yang menyandang ciri kemiskinan terentu yang bersangkutan benar-benar miskin, misalnya seseorang yang buta huruf ternyata dia termasuk orang kaya di desa nya. Selanjutnya kemiskinan berkepanjangan di desa dapat mengakibatkan eksodus penduduk desa ke kota besar atau urbanisasi yang bisa menimbulkan masalah sosial baru di kota-kota besar.

Dari ciri-ciri kemiskinan kolektif dan individual kiranya perlu diidentifikasi faktor penyebab kemiskinan tersebut untuk memastikan bahwa pembangunan yang akan dilaksanakan berjalan secara ekonomis, efisien, dan efektif.

Apa faktor Penyebab Kemiskinan?Mengetahui faktor penyebab kemiskinan

sangat penting untuk merumuskan tindak lanjut perbaikan kesejahteraan atau mengurangi kemiskinan sebab rekomendasi-rekomendasi

penting berasal dari identifikasi penyebab yang kemudian menghilangkan penyebab tersebut, sehingga kondisi kemiskinan yang terjadi dapat di eliminir atau diminimalkan.

Beberapa faktor penyebab kemiskinan dapat dikelompokan ke dalam golongan kelemahan sebagai berikut :1. Sumber daya manusia2. Infrastruktur3. Pelayanan non infrastruktur4. Dana5. Keamanan6. Sosial budaya7. Lingkungan hidup

Seringkali faktor penyebab kemiskinan tersebut saling berkaitan satu sama lain, menjelimet bagaikan lingkaran setan, sehingga sangat sulit untuk memberikan treatment atau rekomendasi yang akurat.

Faktor SDM terdiri dari SDM masyarakat dan aparatur. - SDM masyarakat desa

·Tidak mempunyai keterampilan tertentu

·Keterbatasan pengetahuan dan informasi

·Tidak sehat

·Rasa takut dan tidak percaya diri- SDM aparatur

·Kurangnya tenaga profesi kesehatan/pendi-dikan/profesi lainnya (dokter, para medis, guru, juru penerangan masyarakat, dsb.)

·Kurang pengetahuan

·Kurang keterampilan

·Sikap mental ingin dilayani

·Kurang peka lingkungan

Faktor Kelemahan Infrastruktur (Sarana dan Prasarana desa dan aparatur) antara lain tidak tersedia/tidak berfungsinya:

·Jalan

·Jembatan

·Pengairan

·Listrik

·Air minum

·Alat komunikasi

·Alat transportasi

·Alat peraga pembangunan

·Sarana pelayanan lainnya

·Sekolah dasar/SMP/MI/MTS/SMA

·Puskesmas/Posyandu/Polindes

Faktor kelemahan pelayanan non infra-struktur (pelayanan aparatur)

·Bidang Hukum dan HAM, tidak menciptakan kepastian Hukum dan HAM.

·Bidang kependudukan, tidak menyediakan data kependudukan yang akurat dan kurang melayani kebutuhan surat menyurat kepen-dudukan.

·Bidang informasi, tidak memberikan infor-masi yang jelas dan akurat.

·Bidang pertanahan, proses penentuan status pertanahan yang berbelit-belit dan pungutan liar.

·Bidang perizinan, proses perizinan yang berbelit-belit dan pungutan liar.

·Bidang kesehatan dan pendid ikan, pelayanan tidak memuaskan/tidak sesuai kebutuhan.

Faktor Dana- Masyarakat :

·Tidak mempunyai dana untuk berusaha/ meningkatkan pendapatan.

·Tidak mempunyai dana untuk sekolah dan kesehatan.

·Tidak mampu mengakses pendanaan per-bankan/lembaga keuangan karena faktor koleteral (jaminan).

·Terjerat rentenir dengan biaya tinggi, sehing-ga aset yang ada di sita dan menambah kemiskinan.

- Aparatur:

·Tidak tersedianya dana yang cukup untuk kegiatan pembangunan.

·Dana yang tersedia peruntukannya berbeda dengan kebutuhan desa.

·Dana pembangunan dikorupsi.

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 40: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

_________________________________________________________________________________________________________________________________* Staf pada Bappeda Kota Banjar.

Wawasan Perencanaan

40

Wawasan Perencanaan

41

Faktor keamanan

·Sering terjadi konflik SARA.

·Sering terjadi CURAS dan CURAT (pencuri-an dengan kekerasan, pencurian dengan pemberatan) dsb.

·Sengketa lahan, yang menimbulkan konflik kekerasan/anarkisme.

·Masyarakat mudah dihasut dengan informasi yang menyesatkan.

·Rebutan air antar individu atau kelompok.

·Konflik PILKADES/PILKADA yang berke-panjangan.

Faktor Sosial Budaya

·Merasa eksklusif dan tidak mau berpartisi-pasi dalam pembangunan.

·Menganggap program pemerintah adalah untuk rakyat sehingga menganggap semua-nya gratisan.

·Malas, mangan ora mangan kumpul.

·Tidak menerapkan ajaran agama secara benar.

·Menganggap berhubungan dengan aparat pemerintah harus keluar uang.

·Tidak mau berubah, selalu menjalani kebiasaan lama yang sudah usang.

Faktor Lingkungan Hidup

·Keadaan cuaca yang tidak mendukung untuk berubah.

·Lokasi desa rawan bencana alam.

·Recovery pasca bencana alam lambat dilaksanakan.

Lahir 5 18 60 80

Sehat balita

Sehat dan sekolah

Sehat dan bekerja/berusaha Tidak sehat

Wafat

40

Lahir Wafat

10

20

30

50

80

60

70

Tidak sehat

Balita

Sekolah

18

Balita

Bekerja/Berusaha

Sarana Prasarana

SandangPanganPapan

Pelayanan Infrastuktur dan Non Infrastruktur

·Sebagian besar penduduk berusia manula.

·Sebagian besar penduduk berusia anak-anak.

Membangun Desa dengan Pendekatan Siklus Hidup

Secara umum siklus kehidupan manusia desa bisa diurai ke dalam siklus hidup sebagai berikut :1.Sehat lahir (ada)2.Sehat balita 0-5 tahun3.Sehat sekolah 5-18 tahun (SD – SMA/SMK)4.Sehat bekerja/berusaha 18 – 60 tahun5.Tidak sehat 60 – 80 tahun6.Wafat (tiada)

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

Walaupun sarana dan prasarana siklus hidup telah tersedia tetapi tetap saja pembangunan JABATAN ALI KOMAR (jalan, jembatan, pengairan, listrik, informasi/komunikasi dan pasar) harus tetap dilaksanakan sesuai kebutuhan.

Solusi Mengurangi Kemiskinan

pada Tipikal Desa PertanianTipikal desa di Jawa Barat dapat digolongkan

ke dalam tipikal desa pertanian (sawah, ladang, kebun, ternak):- Desa nelayan- Desa industri- Desa jasa dan perdagangan- Desa pertambangan- Desa wisata

Untuk menunjang siklus kehidupan tersebut diperlukan sarana kehidupan berupa kebutuhan sandang, pangan dan papan. Pembangunan pedesaan dapat dilaksanakan dengan meng-amati data demografi desa sehingga treatment pembangunan untuk mengurangi kemiskinan dapat dilaksanakan berdasarkan sarana prasarana penyediaan siklus hidup tersebut, antara lain:- Sarana prasarana melahirkan,- Sarana prasarana sehat balita,- Sarana prasarana sehat dan sekolah,- Sarana prasarana sehat dan bekerja/berusaha,- Sarana prasarana tidak sehat,- Sarana prasarana wafat.

Siklus hidup di desa dapat digambarkan sebagai berikut:

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 41: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

_________________________________________________________________________________________________________________________________* Staf pada Bappeda Kota Banjar.

Wawasan Perencanaan

40

Wawasan Perencanaan

41

Faktor keamanan

·Sering terjadi konflik SARA.

·Sering terjadi CURAS dan CURAT (pencuri-an dengan kekerasan, pencurian dengan pemberatan) dsb.

·Sengketa lahan, yang menimbulkan konflik kekerasan/anarkisme.

·Masyarakat mudah dihasut dengan informasi yang menyesatkan.

·Rebutan air antar individu atau kelompok.

·Konflik PILKADES/PILKADA yang berke-panjangan.

Faktor Sosial Budaya

·Merasa eksklusif dan tidak mau berpartisi-pasi dalam pembangunan.

·Menganggap program pemerintah adalah untuk rakyat sehingga menganggap semua-nya gratisan.

·Malas, mangan ora mangan kumpul.

·Tidak menerapkan ajaran agama secara benar.

·Menganggap berhubungan dengan aparat pemerintah harus keluar uang.

·Tidak mau berubah, selalu menjalani kebiasaan lama yang sudah usang.

Faktor Lingkungan Hidup

·Keadaan cuaca yang tidak mendukung untuk berubah.

·Lokasi desa rawan bencana alam.

·Recovery pasca bencana alam lambat dilaksanakan.

Lahir 5 18 60 80

Sehat balita

Sehat dan sekolah

Sehat dan bekerja/berusaha Tidak sehat

Wafat

40

Lahir Wafat

10

20

30

50

80

60

70

Tidak sehat

Balita

Sekolah

18

Balita

Bekerja/Berusaha

Sarana Prasarana

SandangPanganPapan

Pelayanan Infrastuktur dan Non Infrastruktur

·Sebagian besar penduduk berusia manula.

·Sebagian besar penduduk berusia anak-anak.

Membangun Desa dengan Pendekatan Siklus Hidup

Secara umum siklus kehidupan manusia desa bisa diurai ke dalam siklus hidup sebagai berikut :1.Sehat lahir (ada)2.Sehat balita 0-5 tahun3.Sehat sekolah 5-18 tahun (SD – SMA/SMK)4.Sehat bekerja/berusaha 18 – 60 tahun5.Tidak sehat 60 – 80 tahun6.Wafat (tiada)

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

Walaupun sarana dan prasarana siklus hidup telah tersedia tetapi tetap saja pembangunan JABATAN ALI KOMAR (jalan, jembatan, pengairan, listrik, informasi/komunikasi dan pasar) harus tetap dilaksanakan sesuai kebutuhan.

Solusi Mengurangi Kemiskinan

pada Tipikal Desa PertanianTipikal desa di Jawa Barat dapat digolongkan

ke dalam tipikal desa pertanian (sawah, ladang, kebun, ternak):- Desa nelayan- Desa industri- Desa jasa dan perdagangan- Desa pertambangan- Desa wisata

Untuk menunjang siklus kehidupan tersebut diperlukan sarana kehidupan berupa kebutuhan sandang, pangan dan papan. Pembangunan pedesaan dapat dilaksanakan dengan meng-amati data demografi desa sehingga treatment pembangunan untuk mengurangi kemiskinan dapat dilaksanakan berdasarkan sarana prasarana penyediaan siklus hidup tersebut, antara lain:- Sarana prasarana melahirkan,- Sarana prasarana sehat balita,- Sarana prasarana sehat dan sekolah,- Sarana prasarana sehat dan bekerja/berusaha,- Sarana prasarana tidak sehat,- Sarana prasarana wafat.

Siklus hidup di desa dapat digambarkan sebagai berikut:

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 42: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

42

PendahuluanPembangunan wilayah perkotaan dan

pedesa-an merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat, yang berperan sebagai ujung tombak, kekuatan dan potensi bagi kemajuan wilayah tersebut. Hal ini perlu mendapatkan perhatian agar masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pembangunan wilayahnya. Pembangunan masyarakat pe-desaan menjadi titik berat dalam pembahasan karena terbatasnya sektor ekonomi yang ber-

kembang di pedesaan sehingga aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya pun menjadi tidak optimal. Pembangunan desa harus didasarkan untuk menggali dan mengoptimalkan potensi serta karakteristik masyarakat desa. Upaya ini akan membantu efektivitas pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan wilayah pedesaan.

Kebijakan pembangunan wilayah pedesaan yang tertuang dalam RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013 diarahkan bagi pengembangan desa-desa pusat pertumbuhan, sebagai pusat produksi agroindustri/agropolitan dan sektor

Wawasan Perencanaan

43

Kondisi tersebut disebabkan peranan teng-kulak yang mendominasi pemasaran hasil pertanian karena mereka mempunyai sarana/ prasarana dan akses pasar sedangkan pemilik tanah dan petani penggarap lebih bersifat pasif, bahkan penentuan harga jual di tentukan sendiri oleh tengkulak terlebih bila petani penggarap berhutang kepada tengkulak untuk bibit, pupuk atau obat-obatan pertanian, harga jual bisa di tekan lagi oleh tengkulak. Sedangkan bagi pemilik tanah hasil sepertiga dari penjualan (mertelu) sudah cukup atau aman untuk menutupi PBB dan iuran desa sambil menunggu naiknya harga tanah sebagai investasi. Dengan demikian petani penggarap hanya menikmati

sisanya sebesar 20% dan mereka tetap miskin dan berusaha bertahan hidup dari hasil peternakan sebagai penghasilan tambahan untuk menutupi ongkos hidup dan menyekolahkan anak. Dari hasil study tersebut solusi yang dapat diajukan adalah membuat Tempat Pelelangan Hasil Pertanian (TPHP) di dusun-dusun yang strategis dari sebuah desa yang dikelola oleh desa dan diawasi oleh tokoh desa yang moralis. Dengan adanya TPHP diharapkan harga jual hasil pertanian lebih tinggi dan tengkulak tidak terlalu mendominasi keuntungan hasil pertanian, sehingga keuntungan petani penggarap bertambah, akhirnya secara bertahap berdampak mengurangi kemiskinan di desa pertanian selain itu kredit bibit ternak dan penyediaan pakan/obat serta penyu-luhannya perlu digalakan karena dapat membantu petani penggarap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

PENUTUPDari uraian tentang mewujudkan pemba-

ngunan masyarakat pedesaan untuk mengurangi kemiskinan dapat diperoleh simpulan/solusi sebagai berikut:1. Manusia desa merupakan sentral dari segala

permasalahan oleh karena itu pembangunan kemandiriannya perlu terus digalakan.

2. Pembangunan ekonomi harus menjadi prio-ritas utama, karena dapat mengurangi penyebab-penyebab kemiskinan lainnya sebagai ikutan dari tidak adanya kemandirian ekonomi.

3. Perencanaan pembangunan harus memecah-kan penyebab kemiskinan di desa.

4. Pembangunan melalui siklus hidup dan JABATAN ALI KOMAR perlu terus ditingkatkan sesuai kebutuhan desa.

5. Pembuatan TPHP perlu dipertimbangkan untuk mengurangi kemiskinan petani peng-garap pada tipikal pertanian ladang.

6. Kredit bibit, pakan dan obat peternakan serta penyuluhannya perlu terus ditingkatkan.

7. Percepatan pembangunan di desa-desa perlu mendapat perhatian extra untuk mencegah urbanisasi yang tidak terkendali. 6

50%

30%

20%

Pemilik Lahan Petani Penggarap Tengkulak

MENUJU

UNTUK

MASYARAKAT PEDESAAN MANDIRI MENGURANGI KEMISKINAN

DI JAWA BARAT (Toward Independent Rural Community for Poverty Alleviation in West Java)

l Marisa Intan*

______________________________________________________* Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Prov. Jabar.

Lok. MusrenbangdesKota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Berdasarkan pengamatan penulis pada tipikal desa pertanian yang tersebar di Jawa Barat khususnya desa tipikal pertanian (berdasarkan studi kasus di Kabupaten Bandung Barat) bahwa pelaku utama pertanian ladang terdiri dari: pemilik tanah, petani penggarap dan tengkulak. Dari ketiga pelaku tersebut yang paling menikmati hasil pertanian ladang adalah tengkulak + 50%, pemilik tanah + 30% dan petani penggarap + 20%. Kondisi tersebut berlang-sung sejak lama sampai beberapa dekade, sehingga dari pelaku pertanian ladang tersebut yang paling miskin adalah petani penggarap yang jumlahnya mencapai lebih dari 80% penduduk desa. Marilah kita lihat gambaran pembagian kue hasil pertanian ladang sebagai berikut:

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 43: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

42

PendahuluanPembangunan wilayah perkotaan dan

pedesa-an merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat, yang berperan sebagai ujung tombak, kekuatan dan potensi bagi kemajuan wilayah tersebut. Hal ini perlu mendapatkan perhatian agar masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pembangunan wilayahnya. Pembangunan masyarakat pe-desaan menjadi titik berat dalam pembahasan karena terbatasnya sektor ekonomi yang ber-

kembang di pedesaan sehingga aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya pun menjadi tidak optimal. Pembangunan desa harus didasarkan untuk menggali dan mengoptimalkan potensi serta karakteristik masyarakat desa. Upaya ini akan membantu efektivitas pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan wilayah pedesaan.

Kebijakan pembangunan wilayah pedesaan yang tertuang dalam RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013 diarahkan bagi pengembangan desa-desa pusat pertumbuhan, sebagai pusat produksi agroindustri/agropolitan dan sektor

Wawasan Perencanaan

43

Kondisi tersebut disebabkan peranan teng-kulak yang mendominasi pemasaran hasil pertanian karena mereka mempunyai sarana/ prasarana dan akses pasar sedangkan pemilik tanah dan petani penggarap lebih bersifat pasif, bahkan penentuan harga jual di tentukan sendiri oleh tengkulak terlebih bila petani penggarap berhutang kepada tengkulak untuk bibit, pupuk atau obat-obatan pertanian, harga jual bisa di tekan lagi oleh tengkulak. Sedangkan bagi pemilik tanah hasil sepertiga dari penjualan (mertelu) sudah cukup atau aman untuk menutupi PBB dan iuran desa sambil menunggu naiknya harga tanah sebagai investasi. Dengan demikian petani penggarap hanya menikmati

sisanya sebesar 20% dan mereka tetap miskin dan berusaha bertahan hidup dari hasil peternakan sebagai penghasilan tambahan untuk menutupi ongkos hidup dan menyekolahkan anak. Dari hasil study tersebut solusi yang dapat diajukan adalah membuat Tempat Pelelangan Hasil Pertanian (TPHP) di dusun-dusun yang strategis dari sebuah desa yang dikelola oleh desa dan diawasi oleh tokoh desa yang moralis. Dengan adanya TPHP diharapkan harga jual hasil pertanian lebih tinggi dan tengkulak tidak terlalu mendominasi keuntungan hasil pertanian, sehingga keuntungan petani penggarap bertambah, akhirnya secara bertahap berdampak mengurangi kemiskinan di desa pertanian selain itu kredit bibit ternak dan penyediaan pakan/obat serta penyu-luhannya perlu digalakan karena dapat membantu petani penggarap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

PENUTUPDari uraian tentang mewujudkan pemba-

ngunan masyarakat pedesaan untuk mengurangi kemiskinan dapat diperoleh simpulan/solusi sebagai berikut:1. Manusia desa merupakan sentral dari segala

permasalahan oleh karena itu pembangunan kemandiriannya perlu terus digalakan.

2. Pembangunan ekonomi harus menjadi prio-ritas utama, karena dapat mengurangi penyebab-penyebab kemiskinan lainnya sebagai ikutan dari tidak adanya kemandirian ekonomi.

3. Perencanaan pembangunan harus memecah-kan penyebab kemiskinan di desa.

4. Pembangunan melalui siklus hidup dan JABATAN ALI KOMAR perlu terus ditingkatkan sesuai kebutuhan desa.

5. Pembuatan TPHP perlu dipertimbangkan untuk mengurangi kemiskinan petani peng-garap pada tipikal pertanian ladang.

6. Kredit bibit, pakan dan obat peternakan serta penyuluhannya perlu terus ditingkatkan.

7. Percepatan pembangunan di desa-desa perlu mendapat perhatian extra untuk mencegah urbanisasi yang tidak terkendali. 6

50%

30%

20%

Pemilik Lahan Petani Penggarap Tengkulak

MENUJU

UNTUK

MASYARAKAT PEDESAAN MANDIRI MENGURANGI KEMISKINAN

DI JAWA BARAT (Toward Independent Rural Community for Poverty Alleviation in West Java)

l Marisa Intan*

______________________________________________________* Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Prov. Jabar.

Lok. MusrenbangdesKota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Berdasarkan pengamatan penulis pada tipikal desa pertanian yang tersebar di Jawa Barat khususnya desa tipikal pertanian (berdasarkan studi kasus di Kabupaten Bandung Barat) bahwa pelaku utama pertanian ladang terdiri dari: pemilik tanah, petani penggarap dan tengkulak. Dari ketiga pelaku tersebut yang paling menikmati hasil pertanian ladang adalah tengkulak + 50%, pemilik tanah + 30% dan petani penggarap + 20%. Kondisi tersebut berlang-sung sejak lama sampai beberapa dekade, sehingga dari pelaku pertanian ladang tersebut yang paling miskin adalah petani penggarap yang jumlahnya mencapai lebih dari 80% penduduk desa. Marilah kita lihat gambaran pembagian kue hasil pertanian ladang sebagai berikut:

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 44: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

lainnya sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja juga peningkatan kualitas sumberdaya manusia bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Pertumbuhan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan daya saing perdesaan.

Sejalan dengan kebijakan pembangunan wilayah pedesaan maka potensi sumber daya yang dimiliki oleh desa yaitu meliputi semua aspek diupayakan pemanfaatan dan pengalo-kasiannya secara optimal dan bijaksana dalam menciptakan nilai tambah dan terjaminnya keberlanjutan pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Hal ini pada gilirannya secara bertahap akan mengu-rangi angka kemiskinan di wilayah pedesaan yang masih tinggi kontribusinya dibandingkan dengan wilayah perkotaan Jawa Barat.

Pada tataran global, pemberantasan kemis-kinan merupakan sasaran pertama dalam Millenium Development Goals (MDGs), diantara delapan sasaran pembangunan internasional yang dideklarasikan oleh sebanyak 189 kepala negara dunia dan organisasi internasional pada Tahun 2000. Tujuan deklarasi ini untuk mencapai

kesejahteraan dan pembangunan masyarakat di seluruh dunia pada tahun 2015 dengan mene-tapkan target dan indikator yang terukur dalam tiap sasarannya. Hal ini menunjukkan sangat krusialnya upaya pemberantasan kemiskinan di berbagai belahan dunia melalui penetapan sasaran yang terarah dan terukur dengan target waktu yang jelas bagi pencapaian tujuan pembangunan internasional tersebut.

Terkait dengan perencanaan pembangunan daerah, kemiskinan masih menjadi salah satu isu strategis dalam RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013, dan penanganannya belum dapat terselesaikan pada pembangunan lima tahun sebelumnya. Hal ini karena kemiskinan bersifat multi dimensi, dimana penanganannya harus dilakukan mencangkup seluruh aspek yang terkait secara komprehensif. Pendekatan yang dilakukan BPS dalam mengukur kemiskinan didasarkan pada ketidakmampuan untuk me-menuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Berdasarkan data kemiskinan BPS selama Tahun 2007-2011 diketahui bahwa kontribusi kemiskinan di wilayah pedesaan Jawa Barat

Wawasan Perencanaan

44

selama lima tahun berturut-turut masih di atas 13 persen, dengan share yang lebih besar dibandingkan dengan di perkotaan. Rata-rata selisih antara distribusi penduduk miskin di pedesaan dan perkotaan pertahunnya sebesar 4,66 persen, yang tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 5,67 persen menyusul tahun 2008 sebesar 5,17 persen. Hal ini menunjukkan bahwa di Jawa Barat jumlah terbesar masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar terdapat di wilayah pedesaan.

Kenyataannya bahwa cakupan sektor ekonomi yang dikembangkan di pedesaan relatif

terbatas bagi penyediaan lapangan pekerjaan. Sementara itu kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sebagai sumber untuk mendapatkan pendapatan lebih banyak terdapat di wilayah perkotaan dengan berkembangnya berbagai sektor ekonomi formal dan informal. Dalam hal ini wilayah pedesaan masih memiliki keterbatasan dalam aksesibilitas bagi pengembangan dan pengelolaan potensi sumber daya yang dimiliki. Kesenjangan pembangunan antar wilayah pedesaan dan perkotaan turut menjadi pemicu jumlah penduduk miskin di Jawa Barat lebih banyak terdapat di wilayah pedesaan.

Wawasan Perencanaan

45

Grafik 1. Distribusi Penduduk Miskin Jawa Barat Tahun 2007-2011 (Persen)

Sumber : Data Kemiskinan BPS Tahun 2007- 2011, diolah

Menghadapi situasi di atas, diperlukan suatu rumusan strategi optimalisasi pemanfaatan dan peng-alokasian sumber daya untuk me-menuhi kebutuhan hidup sekaligus dapat menciptakan nilai tambah serta terjaminnya keberlanjutan bagi kesejahteraan masyarakat desa. Upaya yang dilakukan harus dapat menyentuh secara langsung kepada masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Masyarakat pedesa-

Lok. MusrenbangdesKota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. MusrenbangdesKota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 45: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

lainnya sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja juga peningkatan kualitas sumberdaya manusia bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Pertumbuhan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan daya saing perdesaan.

Sejalan dengan kebijakan pembangunan wilayah pedesaan maka potensi sumber daya yang dimiliki oleh desa yaitu meliputi semua aspek diupayakan pemanfaatan dan pengalo-kasiannya secara optimal dan bijaksana dalam menciptakan nilai tambah dan terjaminnya keberlanjutan pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Hal ini pada gilirannya secara bertahap akan mengu-rangi angka kemiskinan di wilayah pedesaan yang masih tinggi kontribusinya dibandingkan dengan wilayah perkotaan Jawa Barat.

Pada tataran global, pemberantasan kemis-kinan merupakan sasaran pertama dalam Millenium Development Goals (MDGs), diantara delapan sasaran pembangunan internasional yang dideklarasikan oleh sebanyak 189 kepala negara dunia dan organisasi internasional pada Tahun 2000. Tujuan deklarasi ini untuk mencapai

kesejahteraan dan pembangunan masyarakat di seluruh dunia pada tahun 2015 dengan mene-tapkan target dan indikator yang terukur dalam tiap sasarannya. Hal ini menunjukkan sangat krusialnya upaya pemberantasan kemiskinan di berbagai belahan dunia melalui penetapan sasaran yang terarah dan terukur dengan target waktu yang jelas bagi pencapaian tujuan pembangunan internasional tersebut.

Terkait dengan perencanaan pembangunan daerah, kemiskinan masih menjadi salah satu isu strategis dalam RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013, dan penanganannya belum dapat terselesaikan pada pembangunan lima tahun sebelumnya. Hal ini karena kemiskinan bersifat multi dimensi, dimana penanganannya harus dilakukan mencangkup seluruh aspek yang terkait secara komprehensif. Pendekatan yang dilakukan BPS dalam mengukur kemiskinan didasarkan pada ketidakmampuan untuk me-menuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Berdasarkan data kemiskinan BPS selama Tahun 2007-2011 diketahui bahwa kontribusi kemiskinan di wilayah pedesaan Jawa Barat

Wawasan Perencanaan

44

selama lima tahun berturut-turut masih di atas 13 persen, dengan share yang lebih besar dibandingkan dengan di perkotaan. Rata-rata selisih antara distribusi penduduk miskin di pedesaan dan perkotaan pertahunnya sebesar 4,66 persen, yang tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 5,67 persen menyusul tahun 2008 sebesar 5,17 persen. Hal ini menunjukkan bahwa di Jawa Barat jumlah terbesar masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar terdapat di wilayah pedesaan.

Kenyataannya bahwa cakupan sektor ekonomi yang dikembangkan di pedesaan relatif

terbatas bagi penyediaan lapangan pekerjaan. Sementara itu kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sebagai sumber untuk mendapatkan pendapatan lebih banyak terdapat di wilayah perkotaan dengan berkembangnya berbagai sektor ekonomi formal dan informal. Dalam hal ini wilayah pedesaan masih memiliki keterbatasan dalam aksesibilitas bagi pengembangan dan pengelolaan potensi sumber daya yang dimiliki. Kesenjangan pembangunan antar wilayah pedesaan dan perkotaan turut menjadi pemicu jumlah penduduk miskin di Jawa Barat lebih banyak terdapat di wilayah pedesaan.

Wawasan Perencanaan

45

Grafik 1. Distribusi Penduduk Miskin Jawa Barat Tahun 2007-2011 (Persen)

Sumber : Data Kemiskinan BPS Tahun 2007- 2011, diolah

Menghadapi situasi di atas, diperlukan suatu rumusan strategi optimalisasi pemanfaatan dan peng-alokasian sumber daya untuk me-menuhi kebutuhan hidup sekaligus dapat menciptakan nilai tambah serta terjaminnya keberlanjutan bagi kesejahteraan masyarakat desa. Upaya yang dilakukan harus dapat menyentuh secara langsung kepada masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Masyarakat pedesa-

Lok. MusrenbangdesKota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. MusrenbangdesKota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 46: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

an harus digiring untuk melihat pergeseran paradigma dalam peranannya sebagai objek menjadi subjek pembangunan. Situasi ini memberikan tuntutan bagi masyarakat di wilayah pedesaan untuk turut berpartisipasi dan berperan aktif dalam mengikuti dinamika pembangunan di daerahnya. Partisipasi masyarakat desa dalam proses pembangunan daerah merupakan salah satu kunci sukses bagi pembangunan wilayah pedesaan.

Pembangunan pedesaan dengan sasaran menumbuhkan jiwa kemandirian masyarakat harus dipandang sebagai urgensi dalam proses perencanaan pembangunan wilayah terutama di wilayah pedesaan. Pembangunan masyarakat pedesaan harus dilandasi dengan semangat kemandirian, sebagai upaya untuk menghilang-

sektor dominan yang memiliki kontribusi terbesar bagi perekonomian di wilayah pedesaan, sehingga prospek sektor ini diprediksi masih akan dominan dalam dua dekade ke depan. Sektor lainnya seperti industri kecil serta perdagangan juga menyimpan potensi yang besar untuk dikembangkan.

Potensi lainnya yang dimiliki dari sektor pertanian di wilayah pedesaan adalah sebagai sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar. Menurut data Sakernas BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 jumlah angkatan kerja di wilayah pedesaan yang bekerja di sektor pertanian memiliki kontribusi terbesar yaitu sebesar 43,19 persen disusul oleh perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel 20,44 persen dan industri pengolahan sebesar 14,06 persen.

Wawasan Perencanaan

46

Strategi Menumbuhkan

Kemandirian Salah satu strategi dalam menumbuhkan

inisiatif dan kemandirian masyarakat desa menurut Indiastuti (2011) dapat ditempuh dengan jalan pembangunan kompetensi daerah. Inti dari pembangunan kompetensi daerah adalah seluruh lapisan masyarakat berperan dalam membangun komunikasi, keterlibatan dan komitmen dalam upaya menonjolkan identitas daerah, sehingga tercipta inovasi, menum-buhkan daya saing untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Suatu identitas daerah dapat dibangun dengan mengoptimalkan sepuluh aspek dari sistem yang saling berhubungan, tidak terbagi-bagi, dan memiliki sifat ketergantungan satu dengan lainnya yaitu: budaya, aset sosial, spiritual, politik/kelembagaan, hukum, ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, teknologi, kesehatan dan pendidikan. Ia menambahkan bahwa kesepuluh aspek tersebut dapat dikombinasikan menjadi suatu identitas sesuai dengan potensi yang dimiliki hingga akan menimbulkan ciri khas atau keunikan pada daerah itu.

Hal yang dapat digarisbawahi yaitu bahwa konsep pembangunan kompetensi daerah dapat mendukung dan mensinergikan segala aspek dalam pembangunanan masyarakat pedesaan. Secara konkrit inovasi masyarakat sebagai aset sosial dapat diwujudkan dengan mengkom-binasikan beberapa aspek sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah.

Seperti telah disinggung pada awal pembahasan, bahwa keterlibatan dan dukungan pemerintah dalam berbagai kegiatan inovasi masyarakat sangat diperlukan untuk mendukung aspek kelembagaan, seperti asistensi, fasilitasi atau negosiasi bagi masyarakat. Tujuannya sebagai bentuk dukungan bagi pengembangan

Kegiatan ini lahir dari inisiatif dan inovasi masyarakat sehingga sifatnya tidak terpaku dan terikat pada program pemerintah, dilakukan dengan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki daerah pedesaan.

daerah yang dilakukan oleh masyarakat di pedesaan. Pemerintah dapat menggandeng pihak swasta dan akademisi guna memberikan dukungan finansial, investasi, teknologi, riset dan pengembangan serta pemasaran produk.

Kegiatan ekonomi masyarakat yang selama ini belum bahkan telah berjalan di wilayah pedesaan patut mendapatkan dukungan dan berpotensi untuk dikembangkan. Disinilah peranan pemerintah untuk dapat memberikan stimulasi dan insentif agar inisiatif dan kemandirian masyarakat dapat ditumbuhkan untuk berkreasi dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Hal tersebut harus menjadi titik tolak berkembangnya inovasi masyarakat di pedesaan dalam upaya meningkatkan potensi masyarakat agar memiliki jiwa kewirausahaan, keterampilan dan keahlian, orientasi bisnis dan membangun daya saing produk. Beberapa kegiatan ekonomi yang dapat dikembangkan di wilayah pedesaan antara lain:1. Pengembangan koperasi dengan berbagai

unit usaha yang produktif sekaligus dapat membantu masyarakat dalam rantai pe-masaran produksi komoditas unggulan dan unit simpan pinjam bagi pembiayaan usaha.

2. Pembentukan lembaga keuangan untuk memberikan bantuan finansial bagi kegiatan produktif atau microfinance, dengan kemu-dahan dalam prosedur pemberian kredit dan keberpihakan bagi masyarakat miskin. Seperti pembiayaan untuk masyarakat miskin Grameen Bank yang diinisiasi oleh Professor Muhammad Yunus di Bangladesh. Prinsip Grameen Bank yaitu semakin besar sumber finansial tersedia bagi masyarakat miskin yang merupakan segmen terbesar, semakin besar pula pembangunan dapat diciptakan. Keten-tuan dan persyaratan untuk mendapatkan kredit finansial tidak membutuhkan agunan dan adminisitrasi resmi, hanya dengan penga-wasan antar kelompok peminjam dimana mayoritas adalah wanita. Pemberian kemu-dahan dalam kredit finansial ini memung-kinkan masyarakat kecil memiliki akses untuk mengolah sumber daya yang tersedia

Wawasan Perencanaan

47

Grafik 2. Distribusi Angkatan Kerja di Wilayah Pedesaan Jawa Barat Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009

Sumber : Sakernas Tahun 2009 BPS Provinsi Jawa Barat, diolah

kan ketergantungan penuh kepada pihak pemerintah atau swasta. Secara bertahap peranan peme-rintah lebih dititikberatkan sebagai fasilitator, dinamisator atau nego-siator bagi berkembangnya inisiasi masyarakat pedesaan.

Kemandir ian merupakan manifestasi dari suatu proses lahirnya inisiasi dan motivasi kuat yang tumbuh dalam masyarakat sehingga menjadi berdaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dengan kata lain dapat berperan sebagai stimulus bagi pemberdayaan dan kegiatan pembangunan wilayah pedesaan. Kemandirian dapat menciptakan dasar yang lebih kuat bagi keberlanjutan pembangunan wilayah pedesaan. Keberlanjutan pembangunan pedesaan terkait dengan cara pengelolaan sumber daya yang dimiliki.

Potensi Ekonomi di PedesaanApabila dicermati, sektor ekonomi utama

yang diusahakan di pedesaan didominasi oleh sektor pertanian. Menurut penelitian Asian Development Bank (2009) diketahui bahwa dalam tiga dekade lalu pertanian merupakan

Fakta di atas menunjukkan bahwa potensi sektor ekonomi yang telah berkembang di wilayah pedesaan ditambah dengan sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya merupakan aset bagi proses pembangunan pedesaan.

Apabila dicermati, sektor ekonomi utama yang diusahakan di pedesaan didominasi oleh sektor pertanian.

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 47: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

an harus digiring untuk melihat pergeseran paradigma dalam peranannya sebagai objek menjadi subjek pembangunan. Situasi ini memberikan tuntutan bagi masyarakat di wilayah pedesaan untuk turut berpartisipasi dan berperan aktif dalam mengikuti dinamika pembangunan di daerahnya. Partisipasi masyarakat desa dalam proses pembangunan daerah merupakan salah satu kunci sukses bagi pembangunan wilayah pedesaan.

Pembangunan pedesaan dengan sasaran menumbuhkan jiwa kemandirian masyarakat harus dipandang sebagai urgensi dalam proses perencanaan pembangunan wilayah terutama di wilayah pedesaan. Pembangunan masyarakat pedesaan harus dilandasi dengan semangat kemandirian, sebagai upaya untuk menghilang-

sektor dominan yang memiliki kontribusi terbesar bagi perekonomian di wilayah pedesaan, sehingga prospek sektor ini diprediksi masih akan dominan dalam dua dekade ke depan. Sektor lainnya seperti industri kecil serta perdagangan juga menyimpan potensi yang besar untuk dikembangkan.

Potensi lainnya yang dimiliki dari sektor pertanian di wilayah pedesaan adalah sebagai sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar. Menurut data Sakernas BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 jumlah angkatan kerja di wilayah pedesaan yang bekerja di sektor pertanian memiliki kontribusi terbesar yaitu sebesar 43,19 persen disusul oleh perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel 20,44 persen dan industri pengolahan sebesar 14,06 persen.

Wawasan Perencanaan

46

Strategi Menumbuhkan

Kemandirian Salah satu strategi dalam menumbuhkan

inisiatif dan kemandirian masyarakat desa menurut Indiastuti (2011) dapat ditempuh dengan jalan pembangunan kompetensi daerah. Inti dari pembangunan kompetensi daerah adalah seluruh lapisan masyarakat berperan dalam membangun komunikasi, keterlibatan dan komitmen dalam upaya menonjolkan identitas daerah, sehingga tercipta inovasi, menum-buhkan daya saing untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Suatu identitas daerah dapat dibangun dengan mengoptimalkan sepuluh aspek dari sistem yang saling berhubungan, tidak terbagi-bagi, dan memiliki sifat ketergantungan satu dengan lainnya yaitu: budaya, aset sosial, spiritual, politik/kelembagaan, hukum, ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, teknologi, kesehatan dan pendidikan. Ia menambahkan bahwa kesepuluh aspek tersebut dapat dikombinasikan menjadi suatu identitas sesuai dengan potensi yang dimiliki hingga akan menimbulkan ciri khas atau keunikan pada daerah itu.

Hal yang dapat digarisbawahi yaitu bahwa konsep pembangunan kompetensi daerah dapat mendukung dan mensinergikan segala aspek dalam pembangunanan masyarakat pedesaan. Secara konkrit inovasi masyarakat sebagai aset sosial dapat diwujudkan dengan mengkom-binasikan beberapa aspek sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah.

Seperti telah disinggung pada awal pembahasan, bahwa keterlibatan dan dukungan pemerintah dalam berbagai kegiatan inovasi masyarakat sangat diperlukan untuk mendukung aspek kelembagaan, seperti asistensi, fasilitasi atau negosiasi bagi masyarakat. Tujuannya sebagai bentuk dukungan bagi pengembangan

Kegiatan ini lahir dari inisiatif dan inovasi masyarakat sehingga sifatnya tidak terpaku dan terikat pada program pemerintah, dilakukan dengan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki daerah pedesaan.

daerah yang dilakukan oleh masyarakat di pedesaan. Pemerintah dapat menggandeng pihak swasta dan akademisi guna memberikan dukungan finansial, investasi, teknologi, riset dan pengembangan serta pemasaran produk.

Kegiatan ekonomi masyarakat yang selama ini belum bahkan telah berjalan di wilayah pedesaan patut mendapatkan dukungan dan berpotensi untuk dikembangkan. Disinilah peranan pemerintah untuk dapat memberikan stimulasi dan insentif agar inisiatif dan kemandirian masyarakat dapat ditumbuhkan untuk berkreasi dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Hal tersebut harus menjadi titik tolak berkembangnya inovasi masyarakat di pedesaan dalam upaya meningkatkan potensi masyarakat agar memiliki jiwa kewirausahaan, keterampilan dan keahlian, orientasi bisnis dan membangun daya saing produk. Beberapa kegiatan ekonomi yang dapat dikembangkan di wilayah pedesaan antara lain:1. Pengembangan koperasi dengan berbagai

unit usaha yang produktif sekaligus dapat membantu masyarakat dalam rantai pe-masaran produksi komoditas unggulan dan unit simpan pinjam bagi pembiayaan usaha.

2. Pembentukan lembaga keuangan untuk memberikan bantuan finansial bagi kegiatan produktif atau microfinance, dengan kemu-dahan dalam prosedur pemberian kredit dan keberpihakan bagi masyarakat miskin. Seperti pembiayaan untuk masyarakat miskin Grameen Bank yang diinisiasi oleh Professor Muhammad Yunus di Bangladesh. Prinsip Grameen Bank yaitu semakin besar sumber finansial tersedia bagi masyarakat miskin yang merupakan segmen terbesar, semakin besar pula pembangunan dapat diciptakan. Keten-tuan dan persyaratan untuk mendapatkan kredit finansial tidak membutuhkan agunan dan adminisitrasi resmi, hanya dengan penga-wasan antar kelompok peminjam dimana mayoritas adalah wanita. Pemberian kemu-dahan dalam kredit finansial ini memung-kinkan masyarakat kecil memiliki akses untuk mengolah sumber daya yang tersedia

Wawasan Perencanaan

47

Grafik 2. Distribusi Angkatan Kerja di Wilayah Pedesaan Jawa Barat Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009

Sumber : Sakernas Tahun 2009 BPS Provinsi Jawa Barat, diolah

kan ketergantungan penuh kepada pihak pemerintah atau swasta. Secara bertahap peranan peme-rintah lebih dititikberatkan sebagai fasilitator, dinamisator atau nego-siator bagi berkembangnya inisiasi masyarakat pedesaan.

Kemandir ian merupakan manifestasi dari suatu proses lahirnya inisiasi dan motivasi kuat yang tumbuh dalam masyarakat sehingga menjadi berdaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dengan kata lain dapat berperan sebagai stimulus bagi pemberdayaan dan kegiatan pembangunan wilayah pedesaan. Kemandirian dapat menciptakan dasar yang lebih kuat bagi keberlanjutan pembangunan wilayah pedesaan. Keberlanjutan pembangunan pedesaan terkait dengan cara pengelolaan sumber daya yang dimiliki.

Potensi Ekonomi di PedesaanApabila dicermati, sektor ekonomi utama

yang diusahakan di pedesaan didominasi oleh sektor pertanian. Menurut penelitian Asian Development Bank (2009) diketahui bahwa dalam tiga dekade lalu pertanian merupakan

Fakta di atas menunjukkan bahwa potensi sektor ekonomi yang telah berkembang di wilayah pedesaan ditambah dengan sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya merupakan aset bagi proses pembangunan pedesaan.

Apabila dicermati, sektor ekonomi utama yang diusahakan di pedesaan didominasi oleh sektor pertanian.

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 48: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

48

sehingga dapat meningkatkan income dan daya beli.

3. Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dapat menumbuhkan jiwa kewira-usahaan masyarakat desa disertai kreativitas dalam mengelola sumber daya yang tersedia sehingga mampu menggeliatkan aktivitas perekonomian pedesaan. Pengembangan sentra UMKM di pedesaan dapat dijadikan penyangga perekonomian wilayah perkotaan bahkan untuk skala wilayah yang lebih luas lagi karena UMKM telah terbukti keta-hanannya dalam menghadapi krisis moneter dan finansial dibandingkan dengan usaha besar.

4. Produksi komoditas unggulan dan strategis, yang memiliki nilai jual dan daya saing tinggi.

5. Jaringan sistem informasi, distribusi dan pemasaran produk terpadu. Kerjasama, koordinasi dan komitmen yang kuat antar pihak terkait sangat diperlukan terutama saat

Indiastuti, Rina (2011) ”Indigenous development : inovasi daerah dan pengembangan UMKM” Materi Diklat FPP Tingkat Muda.

ADB (2006) Indonesia: strategic vision for agriculture and rural development [Electronic Version] Philippines.

Badan Pusat Statistik. Data Kemiskinan Tahun 2007-2011 http://www.bps.go.id.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Data Sakernas Tahun 2009.

RPJMD 2008-2013 http://www.pemprovjabar.go.id.

http://www.grameen-info.org/index.php

http://www.unesco.org/education/poverty/grameen.shtml

www.un.org/millenniumgoals

http://en.wikipedia.org/wiki/Millennium Development_ Goals

Daftar Pustaka

kegiatan ini dirintis.6. Pembangunan kawasan wisata tematis yang

mengangkat aspek budaya, spiritual atau kearifan lokal lainnya.

Penyertaan aspek pendidikan dan teknologi termasuk didalamnya riset dan pengembangan dalam pembangunan kompetensi masyarakat mutlak diperlukan. Pendidikan dapat mening-katkan pengetahuan, keahlian dan keterampilan masyarakat dalam menyerap teknologi sehingga tercipta optimalisasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya di daerah. Hal ini berguna untuk menciptakan nilai tambah juga perluasan lapangan pekerjaan yang ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

Dalam penelitiannya ADB (2006) menge-mukakan strategi pembangunan desa dengan titik berat pada pengembangan sektor pertanian, yang merupakan sektor dominan di pedesaan.

Dua dari enam prioritas strategis pembangunan pedesaan tersebut berkaitan langsung dengan pembangunan masyarakat pedesaan yaitu :1) pembangunan sumber daya manusia dan

kewirausahaan yang dijabarkan melalui pengembangan pendidikan kejuruan dan kerjasama pemerintah-swasta. Kedua kegiat-an tersebut dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan yang ditujukan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia pedesaan. Pemberdayaan wanita pedesaan melalui penumbuhan dan pening-katan jiwa kewirausahaan, aktivasi jaringan, kemudahan dalam akses pendidikan, kese-hatan, keterampilan dan memastikan tidak ada diskriminasi gender dalam pengelolaan sumber daya.

2) pengembangan potensi modal sosial, ADB (2006) mendefinisikan modal sosial sebagai ciri-ciri masyarakat yang mengutamakan koordinasi dalam tindakan, kepercayaan, norma, nilai dan jaringan. Ciri-ciri asli dari masyarakat Indonesia yang merupakan modal sosial seperti gotong royong, musyawarah untuk mufakat dapat melahirkan kekuatan untuk pembangunan pedesaan. Pengem-bangan modal sosial dijabarkan melalui kegiatan dukungan terhadap organisasi masyarakat, jar ing pengaman sosial, menguatkan desentralisasi melalui reformasi hukum dan pelatihan, kerjasama pemerintah-swasta serta mendukung pusat pelayanan masyarakat.

Sumber daya manusia yang berkualitas beserta modal sosial yang dimiliki merupakan aset bagi kegiatan pembangunan. Dalam pengembangannya diperlukan suatu instrumen agar menjadi berdaya sebagai penghantar bagi tercapainya tujuan pembangunan wilayah pedesaan. Instrumen tersebut adalah keinginan untuk maju berupa inisiatif dan kreativitas, yang melahirkan inovasi dan kemandirian sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.

KesimpulanPembangunan masyarakat pedesaan harus

diarahkan untuk menciptakan nilai-nilai keman-dirian dengan jalan menumbuhkan inisiatif, motivasi dan kreativitas sehingga menjadi masyarakat yang berdaya, berinovasi dan memiliki jiwa kewirausahaan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pem-bangunan kompetensi daerah yaitu menonjolkan potensi daerah sehingga melahirkan identitas yang akan memiliki nilai tambah tersendiri.

Pembangunan masyarakat pedesaan juga dapat ditempuh dengan pengembangan potensi sektor ekonomi yang dominan di pedesaan yaitu pertanian, dengan titik berat pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dan optimalisasi pengembangan modal sosial.

Keterlibatan semua lapisan masyarakat sebagai bentuk dukungan berupa partisipasi aktif terhadap proses pembangunan wilayah pedesa-an sangat diperlukan bagi tercapainya pening-katan kesejahteraan masyarakat, sehingga pada akhirnya secara bertahap dapat mengurangi angka kemiskinan di pedesaan. 6

Lok. MusrenbangdesKota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Wawasan Perencanaan

49Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 49: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

48

sehingga dapat meningkatkan income dan daya beli.

3. Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dapat menumbuhkan jiwa kewira-usahaan masyarakat desa disertai kreativitas dalam mengelola sumber daya yang tersedia sehingga mampu menggeliatkan aktivitas perekonomian pedesaan. Pengembangan sentra UMKM di pedesaan dapat dijadikan penyangga perekonomian wilayah perkotaan bahkan untuk skala wilayah yang lebih luas lagi karena UMKM telah terbukti keta-hanannya dalam menghadapi krisis moneter dan finansial dibandingkan dengan usaha besar.

4. Produksi komoditas unggulan dan strategis, yang memiliki nilai jual dan daya saing tinggi.

5. Jaringan sistem informasi, distribusi dan pemasaran produk terpadu. Kerjasama, koordinasi dan komitmen yang kuat antar pihak terkait sangat diperlukan terutama saat

Indiastuti, Rina (2011) ”Indigenous development : inovasi daerah dan pengembangan UMKM” Materi Diklat FPP Tingkat Muda.

ADB (2006) Indonesia: strategic vision for agriculture and rural development [Electronic Version] Philippines.

Badan Pusat Statistik. Data Kemiskinan Tahun 2007-2011 http://www.bps.go.id.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Data Sakernas Tahun 2009.

RPJMD 2008-2013 http://www.pemprovjabar.go.id.

http://www.grameen-info.org/index.php

http://www.unesco.org/education/poverty/grameen.shtml

www.un.org/millenniumgoals

http://en.wikipedia.org/wiki/Millennium Development_ Goals

Daftar Pustaka

kegiatan ini dirintis.6. Pembangunan kawasan wisata tematis yang

mengangkat aspek budaya, spiritual atau kearifan lokal lainnya.

Penyertaan aspek pendidikan dan teknologi termasuk didalamnya riset dan pengembangan dalam pembangunan kompetensi masyarakat mutlak diperlukan. Pendidikan dapat mening-katkan pengetahuan, keahlian dan keterampilan masyarakat dalam menyerap teknologi sehingga tercipta optimalisasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya di daerah. Hal ini berguna untuk menciptakan nilai tambah juga perluasan lapangan pekerjaan yang ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

Dalam penelitiannya ADB (2006) menge-mukakan strategi pembangunan desa dengan titik berat pada pengembangan sektor pertanian, yang merupakan sektor dominan di pedesaan.

Dua dari enam prioritas strategis pembangunan pedesaan tersebut berkaitan langsung dengan pembangunan masyarakat pedesaan yaitu :1) pembangunan sumber daya manusia dan

kewirausahaan yang dijabarkan melalui pengembangan pendidikan kejuruan dan kerjasama pemerintah-swasta. Kedua kegiat-an tersebut dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan yang ditujukan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia pedesaan. Pemberdayaan wanita pedesaan melalui penumbuhan dan pening-katan jiwa kewirausahaan, aktivasi jaringan, kemudahan dalam akses pendidikan, kese-hatan, keterampilan dan memastikan tidak ada diskriminasi gender dalam pengelolaan sumber daya.

2) pengembangan potensi modal sosial, ADB (2006) mendefinisikan modal sosial sebagai ciri-ciri masyarakat yang mengutamakan koordinasi dalam tindakan, kepercayaan, norma, nilai dan jaringan. Ciri-ciri asli dari masyarakat Indonesia yang merupakan modal sosial seperti gotong royong, musyawarah untuk mufakat dapat melahirkan kekuatan untuk pembangunan pedesaan. Pengem-bangan modal sosial dijabarkan melalui kegiatan dukungan terhadap organisasi masyarakat, jar ing pengaman sosial, menguatkan desentralisasi melalui reformasi hukum dan pelatihan, kerjasama pemerintah-swasta serta mendukung pusat pelayanan masyarakat.

Sumber daya manusia yang berkualitas beserta modal sosial yang dimiliki merupakan aset bagi kegiatan pembangunan. Dalam pengembangannya diperlukan suatu instrumen agar menjadi berdaya sebagai penghantar bagi tercapainya tujuan pembangunan wilayah pedesaan. Instrumen tersebut adalah keinginan untuk maju berupa inisiatif dan kreativitas, yang melahirkan inovasi dan kemandirian sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.

KesimpulanPembangunan masyarakat pedesaan harus

diarahkan untuk menciptakan nilai-nilai keman-dirian dengan jalan menumbuhkan inisiatif, motivasi dan kreativitas sehingga menjadi masyarakat yang berdaya, berinovasi dan memiliki jiwa kewirausahaan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pem-bangunan kompetensi daerah yaitu menonjolkan potensi daerah sehingga melahirkan identitas yang akan memiliki nilai tambah tersendiri.

Pembangunan masyarakat pedesaan juga dapat ditempuh dengan pengembangan potensi sektor ekonomi yang dominan di pedesaan yaitu pertanian, dengan titik berat pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dan optimalisasi pengembangan modal sosial.

Keterlibatan semua lapisan masyarakat sebagai bentuk dukungan berupa partisipasi aktif terhadap proses pembangunan wilayah pedesa-an sangat diperlukan bagi tercapainya pening-katan kesejahteraan masyarakat, sehingga pada akhirnya secara bertahap dapat mengurangi angka kemiskinan di pedesaan. 6

Lok. MusrenbangdesKota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Wawasan Perencanaan

49Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 50: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

l Iwan Mulyawan*

_________________________________________________________*Bappeda Kabupaten Kuningan; Alumnus Pasca Sarjana UGM Fakultas Geografi Konsentrasi Perencanaan Pembangunan Wilayah.

I. PendahuluanSeperti yang kita ketahui bersama bahwa

fenomena kemiskinan terjadi pada kondisi masyarakat dimana mereka tidak sanggup untuk memelihara dan mengembangkan dirinya berdasarkan kondisi lingkungan sekitarnya baik secara mental maupun secara fisik. Secara garis besar terdapat dua istilah kemiskinan yang kita

Wawasan Perencanaan

51

MEWUJUDKAN

DALAM MENGURANGI KEMISKINAN DI JAWA BARATPEMBANGUNAN MASYARAKAT PERDESAAN

(SUATU KONSEP “PEMBANGUNAN PARTISIPATIF”)

cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum dari tingkat hidup masyarakat di lingkungannya. Sementara itu, kemiskinan struktural lebih kepada kemiskinan yang timbul sebagai akibat tidak adilnya distribusi alokasi sumberdaya dalam masyarakat tersebut.

Berdasarkan Jawa Barat dalam Angka 2010, jumlah penduduk miskin perkotaan – perdesaan sebanyak 4.852.520 jiwa, dengan jumlah tertinggi berada di Kabupaten Bogor 446,04 ribu jiwa (9,19 persen) dan terendah di Kota Banjar sebanyak 12,9 ribu jiwa (0,30 persen). Sementara itu, untuk persentase penduduk miskin Jawa Barat secara keseluruhan sebesar 11,58 persen, tertinggi terdapat di Kota Tasikmalaya (23,55 persen) dan terendah terdapat di Kabupaten Bekasi (5,97 persen).

kenal selama ini, yakni kemisk inan re la t i f dan kem isk inan s t ruk tu ra l . Kemiskinan relatif kalau harta benda seseorang dipandang belum atau tidak

Sementara itu, di tahun 2011 penduduk miskin di Jawa Barat mengalami penurunan menjadi 4.648.630 orang di Bulan Maret, namun enam bulan kemudian tepatnya di Bulan September jumlahnya naik 0,05 persen atau sekitar 2.180 jiwa menjadi 4.650.810 jiwa. Hal yang tentunya menarik, mengingat GDP (Gross Domestic Product) Jawa Barat mengalami kenaikan disertai investasi yang terus bertambah namun hal tersebut hanya berpusat di perkotaan saja tidak sampai menyentuh perdesaan.

Distribusi kemiskinan di Jawa Barat berdasarkan klasifikasi jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Barat, dapat disajikan pada Gambar 2 dan 3 berikut ini.

Pada umumnya masyarakat yang tinggal di perdesaan hidup dalam kemiskinan (dalam arti luas) dan keterbelakangan sehingga hidupnya kurang sejahtera. Keluarga perdesaan yang hidup dalam kondisi miskin cenderung tidak berdaya, hal ini disebabkan masih lemahnya kreatifitas dan inovasi desa. Kemiskinan dan ketidakberdayaan ini dikarenakan kebijakan serta

intervensi ketat yang dipaksakan dari jenjang pemerintahan paling atas (pusat), provinsi, kabupaten, sampai tingkatan kecamatan. Selama ini pemerintah desa sebagai pemerintahan terbawah masih diposisikan sebagai pelaksana fungsi pelayan masyarakat dan hanya dijadikan obyek proyek-proyek pemerintah. Selain itu munculnya image bahwa desa itu miskin, terbelakang, bahkan lucunya sering kita dengar celotehan salah satu pelawak ternama yang sering mengatakan “ndeso” sebagai ungkapan “kampungan” dengan pola fikir marjinal.

Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan upaya untuk mengatasi kemiskinan masyarakat perdesaan di Jawa Barat. Upaya tersebut dalam suatu pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian agar tumbuh keberdayaan masyarakat. Keberdayaan masyarakat sendiri sebagai hasil akhir dalam upaya pengenatasan kemiskinan dapat tercermin dari meningkatnya harkat dan martabat lapisan masyarakat perdesaan yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

Gambar 2. Peta Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat

Wawasan Perencanaan

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 201250

Page 51: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

l Iwan Mulyawan*

_________________________________________________________*Bappeda Kabupaten Kuningan; Alumnus Pasca Sarjana UGM Fakultas Geografi Konsentrasi Perencanaan Pembangunan Wilayah.

I. PendahuluanSeperti yang kita ketahui bersama bahwa

fenomena kemiskinan terjadi pada kondisi masyarakat dimana mereka tidak sanggup untuk memelihara dan mengembangkan dirinya berdasarkan kondisi lingkungan sekitarnya baik secara mental maupun secara fisik. Secara garis besar terdapat dua istilah kemiskinan yang kita

Wawasan Perencanaan

51

MEWUJUDKAN

DALAM MENGURANGI KEMISKINAN DI JAWA BARATPEMBANGUNAN MASYARAKAT PERDESAAN

(SUATU KONSEP “PEMBANGUNAN PARTISIPATIF”)

cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum dari tingkat hidup masyarakat di lingkungannya. Sementara itu, kemiskinan struktural lebih kepada kemiskinan yang timbul sebagai akibat tidak adilnya distribusi alokasi sumberdaya dalam masyarakat tersebut.

Berdasarkan Jawa Barat dalam Angka 2010, jumlah penduduk miskin perkotaan – perdesaan sebanyak 4.852.520 jiwa, dengan jumlah tertinggi berada di Kabupaten Bogor 446,04 ribu jiwa (9,19 persen) dan terendah di Kota Banjar sebanyak 12,9 ribu jiwa (0,30 persen). Sementara itu, untuk persentase penduduk miskin Jawa Barat secara keseluruhan sebesar 11,58 persen, tertinggi terdapat di Kota Tasikmalaya (23,55 persen) dan terendah terdapat di Kabupaten Bekasi (5,97 persen).

kenal selama ini, yakni kemisk inan re la t i f dan kem isk inan s t ruk tu ra l . Kemiskinan relatif kalau harta benda seseorang dipandang belum atau tidak

Sementara itu, di tahun 2011 penduduk miskin di Jawa Barat mengalami penurunan menjadi 4.648.630 orang di Bulan Maret, namun enam bulan kemudian tepatnya di Bulan September jumlahnya naik 0,05 persen atau sekitar 2.180 jiwa menjadi 4.650.810 jiwa. Hal yang tentunya menarik, mengingat GDP (Gross Domestic Product) Jawa Barat mengalami kenaikan disertai investasi yang terus bertambah namun hal tersebut hanya berpusat di perkotaan saja tidak sampai menyentuh perdesaan.

Distribusi kemiskinan di Jawa Barat berdasarkan klasifikasi jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Barat, dapat disajikan pada Gambar 2 dan 3 berikut ini.

Pada umumnya masyarakat yang tinggal di perdesaan hidup dalam kemiskinan (dalam arti luas) dan keterbelakangan sehingga hidupnya kurang sejahtera. Keluarga perdesaan yang hidup dalam kondisi miskin cenderung tidak berdaya, hal ini disebabkan masih lemahnya kreatifitas dan inovasi desa. Kemiskinan dan ketidakberdayaan ini dikarenakan kebijakan serta

intervensi ketat yang dipaksakan dari jenjang pemerintahan paling atas (pusat), provinsi, kabupaten, sampai tingkatan kecamatan. Selama ini pemerintah desa sebagai pemerintahan terbawah masih diposisikan sebagai pelaksana fungsi pelayan masyarakat dan hanya dijadikan obyek proyek-proyek pemerintah. Selain itu munculnya image bahwa desa itu miskin, terbelakang, bahkan lucunya sering kita dengar celotehan salah satu pelawak ternama yang sering mengatakan “ndeso” sebagai ungkapan “kampungan” dengan pola fikir marjinal.

Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan upaya untuk mengatasi kemiskinan masyarakat perdesaan di Jawa Barat. Upaya tersebut dalam suatu pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian agar tumbuh keberdayaan masyarakat. Keberdayaan masyarakat sendiri sebagai hasil akhir dalam upaya pengenatasan kemiskinan dapat tercermin dari meningkatnya harkat dan martabat lapisan masyarakat perdesaan yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

Gambar 2. Peta Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat

Wawasan Perencanaan

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 201250

Page 52: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

52

II.Pemberdayaan Masyarakat

PerdesaanPemberdayaan masyarakat memiliki kaitan

erat dengan keberdayaan masyarakat untuk mengembangkan potensinya melalui pening-katan kemampuan serta kemandirian untuk kehidupan yang lebih baik. Menurut Ginanjar Kartasasmita yang dikutip oleh Sumodiningrat (1997: 165) mengatakan bahwa dalam upaya memberdayakan masyarakat perlu dilakukan melalui tiga jalur, yaitu: 1) menciptakan suasana atau ikl im yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, 2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, dan 3) harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Selanjutnya Sumodiningrat mengatakan kerang-ka pikir upaya pemberdayaan keluarga yang masih tertinggal di perdesaan khususnya dapat dilaksanakan dengan beberapa program inter-vensi, antara lain: pengembangan potensi agribisnis dan agroindustri melalui kegiatan

pelaju keluarga (petik – olah – jual – untung),

Wawasan Perencanaan

53

dan mendorong kegiatan pemaju keluarga

(proses – kemas – jual – untung) bagi keluarga di luar bidang pertanian.

Widyo Hari M dalam Sutoro Eko (2003:19) mengatakan terdapat tiga upaya dalam pember-dayaan masyarakat perdesaan, yaitu:1. Desa sebagai kekuasaan dirombak agar lebih

otonom dan mengakar sampai bawah. Terdapat tiga agenda kegiatan yang dapat dilaksanakan, yaitu:a. Pelembagaan politik tingkat desa yang

diarahkan pada tujuan desa agar memiliki otonom yang cukup dan tidak tergantung pada negara serta mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis;

b. Peningkatan sumberdaya manusia di perdesaan. Hal ini ditempuh untuk meng-antisipasi surutnya peranan supra desa dalam mengatur desa, sehingga masya-rakat perdesaan telah siap untuk menjadi subyek pembangunan;

c. Perluasan akses ekonomi politik perdesaan. Desa diharapkan menjadi integrasi kepen-tingan masyarakatnya secara alamiah dalam bingkai NKRI, sehingga proses pemberdayaan masyarakat perdesaan dapat dilakukan dengan merata di seluruh daerah.

2. Desa sebagai komunitas selalu menempatkan relasi sosial sebagai hal utama, sehingga perlu mengembangkan modal sosial seperti adat istiadat sunda, solidaritas, gotong royong yang telah tumbuh dan mengakar di masyarakat perdesaan. Modal dasar tersebut seyogyanya dibingkai dalam tata aturan dan etika yang akan memperkuat integrasi desa dalam menghadapi segala macam ancaman ke desanya.

3. Keberadaan institusi lokal yang formal dan non formal diperkuat sebagai wadah pengu-atan suara rakyat perdesaan. Hal ini diperlu-kan agar institusi tersebut selalu berupaya untuk memajukan desanya, dan sebaliknya masyarakat dapat berpartisipasi/berdaya

dalam mendukung keberadaannya. Jika dipandang perlu, dapat dibentuk jaringan institusi maupun antar institusi.

Adanya otonomi daerah seharusnya menempatkan kewenangan tidak hanya berhenti di tingkat pemerintah kabupaten/kota saja, melainkan dilaksanakan sampai pada tingkatan desa. Sehingga dalam upaya pemberdayaan masyarakat perdesaan pun perlu adanya perubahan paradigma dari otonomi yang hanya berada di tingkat kabupaten/kota menjadi otonomi desa/kelurahan. Untuk itu sangat diperlukan penguatan kelembagaan di desa baik pemerintahan desa (Pemerintah Desa dan BPD) maupun institusi lokal formal dan nonformal yang ada di desa seperti: LPMD, PKK, Karang Taruna, Kelompok Tani, dan P3A. Dengan fasilitas dari desa dan pemerintah baik daerah maupun pusat, institusi lokal yang ada dan berkembang seperti LPMD diberi kewenangan untuk mengadakan musyawarah pembangunan desa (musbangdes) sampai pada level musyawarah pembangunan dusun/dukuh (musbangdus).

Pada pelaksanaannya, Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) maupun Musyawarah Pembangunan Dusun (Musbang-dus) tersebut dapat dilaksanakan dengan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

1. Strengths Weaknesses Opportunities

Threats (SWOT)Dalam musbangdes maupun musbangdus,

peserta diskusi mengenali terlebih dahulu Strengths (Kekuatan) Weaknesses (Kelemahan) Opportunities (Peluang) dan Threats (Ancaman) yang ada di desa atau dusunnya masing-masing. Selanjutnya peserta melakukan identifikasi strategi yang mungkin dilakukan berkaitan dengan kondisi eksternal obyek yang diamati kemudian melakukan pemilihan strategi yang mungkin dilakukan berkaitan dengan kondisi internal obyek yang diamati.

Untuk menggunakan pendekatan SWOT ini dapat melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :

Gambar 3. Peta Persentase Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat

Gambar 4. Peserta Berusaha Mengidentifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman di Wilayah Desanya.

(dok. penulis)

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 53: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

52

II.Pemberdayaan Masyarakat

PerdesaanPemberdayaan masyarakat memiliki kaitan

erat dengan keberdayaan masyarakat untuk mengembangkan potensinya melalui pening-katan kemampuan serta kemandirian untuk kehidupan yang lebih baik. Menurut Ginanjar Kartasasmita yang dikutip oleh Sumodiningrat (1997: 165) mengatakan bahwa dalam upaya memberdayakan masyarakat perlu dilakukan melalui tiga jalur, yaitu: 1) menciptakan suasana atau ikl im yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, 2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, dan 3) harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Selanjutnya Sumodiningrat mengatakan kerang-ka pikir upaya pemberdayaan keluarga yang masih tertinggal di perdesaan khususnya dapat dilaksanakan dengan beberapa program inter-vensi, antara lain: pengembangan potensi agribisnis dan agroindustri melalui kegiatan

pelaju keluarga (petik – olah – jual – untung),

Wawasan Perencanaan

53

dan mendorong kegiatan pemaju keluarga

(proses – kemas – jual – untung) bagi keluarga di luar bidang pertanian.

Widyo Hari M dalam Sutoro Eko (2003:19) mengatakan terdapat tiga upaya dalam pember-dayaan masyarakat perdesaan, yaitu:1. Desa sebagai kekuasaan dirombak agar lebih

otonom dan mengakar sampai bawah. Terdapat tiga agenda kegiatan yang dapat dilaksanakan, yaitu:a. Pelembagaan politik tingkat desa yang

diarahkan pada tujuan desa agar memiliki otonom yang cukup dan tidak tergantung pada negara serta mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis;

b. Peningkatan sumberdaya manusia di perdesaan. Hal ini ditempuh untuk meng-antisipasi surutnya peranan supra desa dalam mengatur desa, sehingga masya-rakat perdesaan telah siap untuk menjadi subyek pembangunan;

c. Perluasan akses ekonomi politik perdesaan. Desa diharapkan menjadi integrasi kepen-tingan masyarakatnya secara alamiah dalam bingkai NKRI, sehingga proses pemberdayaan masyarakat perdesaan dapat dilakukan dengan merata di seluruh daerah.

2. Desa sebagai komunitas selalu menempatkan relasi sosial sebagai hal utama, sehingga perlu mengembangkan modal sosial seperti adat istiadat sunda, solidaritas, gotong royong yang telah tumbuh dan mengakar di masyarakat perdesaan. Modal dasar tersebut seyogyanya dibingkai dalam tata aturan dan etika yang akan memperkuat integrasi desa dalam menghadapi segala macam ancaman ke desanya.

3. Keberadaan institusi lokal yang formal dan non formal diperkuat sebagai wadah pengu-atan suara rakyat perdesaan. Hal ini diperlu-kan agar institusi tersebut selalu berupaya untuk memajukan desanya, dan sebaliknya masyarakat dapat berpartisipasi/berdaya

dalam mendukung keberadaannya. Jika dipandang perlu, dapat dibentuk jaringan institusi maupun antar institusi.

Adanya otonomi daerah seharusnya menempatkan kewenangan tidak hanya berhenti di tingkat pemerintah kabupaten/kota saja, melainkan dilaksanakan sampai pada tingkatan desa. Sehingga dalam upaya pemberdayaan masyarakat perdesaan pun perlu adanya perubahan paradigma dari otonomi yang hanya berada di tingkat kabupaten/kota menjadi otonomi desa/kelurahan. Untuk itu sangat diperlukan penguatan kelembagaan di desa baik pemerintahan desa (Pemerintah Desa dan BPD) maupun institusi lokal formal dan nonformal yang ada di desa seperti: LPMD, PKK, Karang Taruna, Kelompok Tani, dan P3A. Dengan fasilitas dari desa dan pemerintah baik daerah maupun pusat, institusi lokal yang ada dan berkembang seperti LPMD diberi kewenangan untuk mengadakan musyawarah pembangunan desa (musbangdes) sampai pada level musyawarah pembangunan dusun/dukuh (musbangdus).

Pada pelaksanaannya, Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) maupun Musyawarah Pembangunan Dusun (Musbang-dus) tersebut dapat dilaksanakan dengan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

1. Strengths Weaknesses Opportunities

Threats (SWOT)Dalam musbangdes maupun musbangdus,

peserta diskusi mengenali terlebih dahulu Strengths (Kekuatan) Weaknesses (Kelemahan) Opportunities (Peluang) dan Threats (Ancaman) yang ada di desa atau dusunnya masing-masing. Selanjutnya peserta melakukan identifikasi strategi yang mungkin dilakukan berkaitan dengan kondisi eksternal obyek yang diamati kemudian melakukan pemilihan strategi yang mungkin dilakukan berkaitan dengan kondisi internal obyek yang diamati.

Untuk menggunakan pendekatan SWOT ini dapat melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :

Gambar 3. Peta Persentase Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat

Gambar 4. Peserta Berusaha Mengidentifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman di Wilayah Desanya.

(dok. penulis)

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 54: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Gambar 5. Peserta Menentukan Strategi Wilayah, Skala Prioritas dan Menyusun Usulan Kegiatan Pembangunan di Wilayah Desanya. (dok. penulis)

Wawasan Perencanaan

54

Wawasan Perencanaan

55

c. Menentukan skala prioritas rencana program pembangunan:

Dusun/Desa : ................................................................. Aspek : ..........................................................................

NoRENCANA PROGRAM

PEMBANGUNAN DUSUN/DESA

PENILAIAN KEURGENAN RENCANA PEMBANGUNAN TOTAL

NILAIRANGKING PRIORITAS

A B C D E

d. Menyusun Usulan Kegiatan Pembangunan Tahun ..............:

Dusun/Desa : ................................................................. Aspek : ..........................................................................

NO NAMA KEGIATAN

LOKASI VOLUMEPERKIRAAN

BIAYASASARAN MANFAAT KETERANGAN

2. Pemahaman Partisipatif Kondisi Perdesaan (PPKP)Metode itu untuk menggali kebutuhan masyarakat, mengajukan permasalahan dan upaya

mengatasi permasalahan sesuai dengan potensi yang tersedia dengan pendekatan partisipatif, aspiratif dan dialogis anggota masyarakat.

Dusun : ....................................................... Desa : ........................................................

Kecamatan : ....................................................... Kabupaten : ........................................................

Aspek : .......................................................

INDIKATOR LOKASI MASALAH PENYEBABPEMECAHAN

MASALAH PRIORITAS

a. Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada form isian berikut ini:

Dusun/Desa : ................................................................. Aspek : ..........................................................................

Internal Eksternal

Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman

b. Menentukan strategi wilayah:

Dusun/Desa : ................................................................. Aspek : ..........................................................................

KEKUATAN (STRENGTHS) KELEMAHAN (WEAKNESSES)

PELUANG (OPPORTUNITIES)

STRATEGI SOMenggunakan kekuatan Desa/Dusun

untuk memanfaatkan peluang yang ada

STRATEGI WOMengatasi kelemahan Desa/Dusun

dengan memanfaatkan peluang yang ada

ANCAMAN (THREATS)STRATEGI ST

Menggunakan kekuatan Desa/Dusun untuk mengindari ancaman yang ada

STRATEGI WTMenggunakan kelemahan Desa/Dusun untuk mencegah ancaman yang ada

Ada lima prinsip dasar dalam metode Pemahaman Partisipatif Kondisi Perdesaan (PPKP) yaitu:1. orang luar sebagai fasilitator, masyarakat sebagai pelaku utama;2. saling belajar dan berbagi pengalaman dengan masyarakat;3. keterlibatan semua anggota kelompok, menghargai perbedaan dan santai (informal);4. konsep trianggulasi (multi disiplin ilmu, latar belakang golongan masyarakat dan tempat tinggal,

variasi teknik);5. mengoptimalisasikan hasil, orentasi praktis dan program keberlanjutan (Djawadi HN, 2003).

Dalam memberdayakan masyarakat perdesaan mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, monitoring sampai evaluasi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan pendekatan PPKP dapat menggunakan format sebagai berikut:

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 55: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Gambar 5. Peserta Menentukan Strategi Wilayah, Skala Prioritas dan Menyusun Usulan Kegiatan Pembangunan di Wilayah Desanya. (dok. penulis)

Wawasan Perencanaan

54

Wawasan Perencanaan

55

c. Menentukan skala prioritas rencana program pembangunan:

Dusun/Desa : ................................................................. Aspek : ..........................................................................

NoRENCANA PROGRAM

PEMBANGUNAN DUSUN/DESA

PENILAIAN KEURGENAN RENCANA PEMBANGUNAN TOTAL

NILAIRANGKING PRIORITAS

A B C D E

d. Menyusun Usulan Kegiatan Pembangunan Tahun ..............:

Dusun/Desa : ................................................................. Aspek : ..........................................................................

NO NAMA KEGIATAN

LOKASI VOLUMEPERKIRAAN

BIAYASASARAN MANFAAT KETERANGAN

2. Pemahaman Partisipatif Kondisi Perdesaan (PPKP)Metode itu untuk menggali kebutuhan masyarakat, mengajukan permasalahan dan upaya

mengatasi permasalahan sesuai dengan potensi yang tersedia dengan pendekatan partisipatif, aspiratif dan dialogis anggota masyarakat.

Dusun : ....................................................... Desa : ........................................................

Kecamatan : ....................................................... Kabupaten : ........................................................

Aspek : .......................................................

INDIKATOR LOKASI MASALAH PENYEBABPEMECAHAN

MASALAH PRIORITAS

a. Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada form isian berikut ini:

Dusun/Desa : ................................................................. Aspek : ..........................................................................

Internal Eksternal

Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman

b. Menentukan strategi wilayah:

Dusun/Desa : ................................................................. Aspek : ..........................................................................

KEKUATAN (STRENGTHS) KELEMAHAN (WEAKNESSES)

PELUANG (OPPORTUNITIES)

STRATEGI SOMenggunakan kekuatan Desa/Dusun

untuk memanfaatkan peluang yang ada

STRATEGI WOMengatasi kelemahan Desa/Dusun

dengan memanfaatkan peluang yang ada

ANCAMAN (THREATS)STRATEGI ST

Menggunakan kekuatan Desa/Dusun untuk mengindari ancaman yang ada

STRATEGI WTMenggunakan kelemahan Desa/Dusun untuk mencegah ancaman yang ada

Ada lima prinsip dasar dalam metode Pemahaman Partisipatif Kondisi Perdesaan (PPKP) yaitu:1. orang luar sebagai fasilitator, masyarakat sebagai pelaku utama;2. saling belajar dan berbagi pengalaman dengan masyarakat;3. keterlibatan semua anggota kelompok, menghargai perbedaan dan santai (informal);4. konsep trianggulasi (multi disiplin ilmu, latar belakang golongan masyarakat dan tempat tinggal,

variasi teknik);5. mengoptimalisasikan hasil, orentasi praktis dan program keberlanjutan (Djawadi HN, 2003).

Dalam memberdayakan masyarakat perdesaan mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, monitoring sampai evaluasi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan pendekatan PPKP dapat menggunakan format sebagai berikut:

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 56: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

56

Wawasan Perencanaan

57

3. Perencanaan Partisipatif Pembangunan

Masyarakat Desa (P3MD)Rencana pembangunan akan tepat sasaran

dan dapat dimanfaatkan hasilnya apabila perencanaannya benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena itu mutlak diperlukan keikutsertaaan masyarakat desa yang secara langsung terlibat dalam penyusunan rencana. Penyusunan rencana dimulai dari penggalian, perumusan masalah dan potensi, penentuan prioritas pembangunan, serta rumusan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan.

Terdapat enam ciri metode untuk Peren-canaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD), yaitu:1. Terbuka, artinya dapat menerima berbagai

kemungkinan dan tidak membatasi bidang pembangunan yang direncanakan;

2. Selektif, artinya rencana pembangunan diseleksi dengan baik untuk mencapai hasil yang optimal. Untuk itu diperlukan tiga alat kajian, yaitu: sketsa desa, kalender musim, dan bagan kelembagaan;

3. Kecermatan, artinya data yang diperoleh cukup, obyektif, teliti, dapat dipercaya dan menampung seluruh aspirasi/keinginana masyarakat;

4. Proses berulang, artinya rencana pembangun-an dikaji hingga mendapatkan hasil yang terbaik;

5. Penggalian informasi, artinya penentukan rencana pembangunan dilakukan dengan penggalian informasi potensi desa yang bersumber monografi desa dan informasi peserta musyawarah desa;

6. Trianggulasi, artinya selalu memeriksa dan memeriksa ulang informasi yang dihasilkan (Djawadi HN, 2003).

III. KesimpulanUpaya yang dapat dilakukan untuk

memberdayakan masyarakat perdesaan untuk mengatasi kemiskinan di Jawa Barat antara lain:

(1) Dirombaknya organisasi kekuasaan di desa agar lebih otonom dan mengakar sampai bawah melalui upaya pelembagaan politik di tingkat desa, peningkatan sumberdaya manusianya, dan perluasan akses ekonomi politik desa. (2) Dikembangkannya modal sosial yang telah ada dan berkembang di desa. (3) Penguatan institusi lokal baik formal maupun nonformal yang ada di desa.

Pemberdayaan masyarakat untuk meng-atasi kemiskinan dapat dilakukan melalui tahapan partisipasi yakni perencanaan, pelak-sanaan, pemanfatan hasil dan monitoring eva-luasi pembangunan. Pemberdayaan masyarakat perdesaan dapat di laksanakan dengan musbangdes maupun musbangdus. Metode dan pendekatan musbangdes maupun musbangdus

antara lain: SWOT, PPKP, dan P3MD. Hambatan yang dijumpai dalam pelaksanaan pember-dayaan masyarakat perdesaan hingga saat ini antara lain adalah keterbatasan sumberdaya manusia di perdesaan, budaya masyarakat yang acuh tak acuh terhadap pembangunan, serta kebijakan politik negara. 6

Bappeda Provinsi Jawa Barat. 2012. Jawa Barat dalam Angka 2010. Diakses 09 Januari 2012 dari http:// www.pusdalisbang.jabarprov.go.id/index.php? option=com_content&view=article&id=202&Itemid=171.

Djawadi, HN. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Desa untuk Mengurangi Kemiskinan di Perdesaan. Kumpulan Makalah Seminar Nasional. Dalam Rangka Purna Tugas PNS Prof. Dr. A.J. Suhardjo, MA.Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Jurusan Perencanaan Pengem-bangan Wilayah.

Sumodiningrat. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. Bina Pena Pariwara.

Sutoro Eko, ed. 2003. Jendela Keterbukaan Kebersamaan Kemitraan . Otonomi Desa. Yogyakarta : Buletin STPMD “APMD”.

Daftar Pustaka

l Aris Wanrisna*

______________________________________________________* PNS di Pemkot Tasikmalaya; Pemerhati lingkungan, sosial, dan ekonomi

iskin, sebuah kata, bermakna serba kekurangan atau berpenghasilan Msangat rendah. Kemiskinan bermakna

keadaan melarat atau keadaan miskin, tapi dengan kata miskin dan kemiskinan beberapa pihak dapat hidup kaya. Saat kampanye seorang calon kepala negara/daerah, dan calon anggota dewan berjanji mengurangi kemiskinan, walau-pun faktanya setelah terpilih sulit merealisasikan janjinya. Bahkan kini kemiskinan menjadi tontonan reality show di televisi-televisi swasta.

Kemiskinan telah menjadi komoditas sosial politik bahkan komoditas hiburan/tontonan. Kemiskinan telah menjadi isu/masalah lokal, nasional, regional bahkan global. Bukan hanya bupati/walikota yang berbicara masalah kemiskinan, presiden bahkan sekretaris jenderal perserikatan bangsa-bangsa berbicara masalah ini. Namun faktanya kemiskinan ini tetap ada, selalu menjadi pekerjaan rumah para pejabat tersebut. Pertanyaannya apakah masalah ini tidak dapat diselesaikan, paling tidak dimini-malisir, dengan memunculkan ide-ide baru menanggulangi kemiskinan.

MENGGALI IDE MENANGGULANGI KEMISKINAN

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 57: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

56

Wawasan Perencanaan

57

3. Perencanaan Partisipatif Pembangunan

Masyarakat Desa (P3MD)Rencana pembangunan akan tepat sasaran

dan dapat dimanfaatkan hasilnya apabila perencanaannya benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena itu mutlak diperlukan keikutsertaaan masyarakat desa yang secara langsung terlibat dalam penyusunan rencana. Penyusunan rencana dimulai dari penggalian, perumusan masalah dan potensi, penentuan prioritas pembangunan, serta rumusan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan.

Terdapat enam ciri metode untuk Peren-canaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD), yaitu:1. Terbuka, artinya dapat menerima berbagai

kemungkinan dan tidak membatasi bidang pembangunan yang direncanakan;

2. Selektif, artinya rencana pembangunan diseleksi dengan baik untuk mencapai hasil yang optimal. Untuk itu diperlukan tiga alat kajian, yaitu: sketsa desa, kalender musim, dan bagan kelembagaan;

3. Kecermatan, artinya data yang diperoleh cukup, obyektif, teliti, dapat dipercaya dan menampung seluruh aspirasi/keinginana masyarakat;

4. Proses berulang, artinya rencana pembangun-an dikaji hingga mendapatkan hasil yang terbaik;

5. Penggalian informasi, artinya penentukan rencana pembangunan dilakukan dengan penggalian informasi potensi desa yang bersumber monografi desa dan informasi peserta musyawarah desa;

6. Trianggulasi, artinya selalu memeriksa dan memeriksa ulang informasi yang dihasilkan (Djawadi HN, 2003).

III. KesimpulanUpaya yang dapat dilakukan untuk

memberdayakan masyarakat perdesaan untuk mengatasi kemiskinan di Jawa Barat antara lain:

(1) Dirombaknya organisasi kekuasaan di desa agar lebih otonom dan mengakar sampai bawah melalui upaya pelembagaan politik di tingkat desa, peningkatan sumberdaya manusianya, dan perluasan akses ekonomi politik desa. (2) Dikembangkannya modal sosial yang telah ada dan berkembang di desa. (3) Penguatan institusi lokal baik formal maupun nonformal yang ada di desa.

Pemberdayaan masyarakat untuk meng-atasi kemiskinan dapat dilakukan melalui tahapan partisipasi yakni perencanaan, pelak-sanaan, pemanfatan hasil dan monitoring eva-luasi pembangunan. Pemberdayaan masyarakat perdesaan dapat di laksanakan dengan musbangdes maupun musbangdus. Metode dan pendekatan musbangdes maupun musbangdus

antara lain: SWOT, PPKP, dan P3MD. Hambatan yang dijumpai dalam pelaksanaan pember-dayaan masyarakat perdesaan hingga saat ini antara lain adalah keterbatasan sumberdaya manusia di perdesaan, budaya masyarakat yang acuh tak acuh terhadap pembangunan, serta kebijakan politik negara. 6

Bappeda Provinsi Jawa Barat. 2012. Jawa Barat dalam Angka 2010. Diakses 09 Januari 2012 dari http:// www.pusdalisbang.jabarprov.go.id/index.php? option=com_content&view=article&id=202&Itemid=171.

Djawadi, HN. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Desa untuk Mengurangi Kemiskinan di Perdesaan. Kumpulan Makalah Seminar Nasional. Dalam Rangka Purna Tugas PNS Prof. Dr. A.J. Suhardjo, MA.Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Jurusan Perencanaan Pengem-bangan Wilayah.

Sumodiningrat. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. Bina Pena Pariwara.

Sutoro Eko, ed. 2003. Jendela Keterbukaan Kebersamaan Kemitraan . Otonomi Desa. Yogyakarta : Buletin STPMD “APMD”.

Daftar Pustaka

l Aris Wanrisna*

______________________________________________________* PNS di Pemkot Tasikmalaya; Pemerhati lingkungan, sosial, dan ekonomi

iskin, sebuah kata, bermakna serba kekurangan atau berpenghasilan Msangat rendah. Kemiskinan bermakna

keadaan melarat atau keadaan miskin, tapi dengan kata miskin dan kemiskinan beberapa pihak dapat hidup kaya. Saat kampanye seorang calon kepala negara/daerah, dan calon anggota dewan berjanji mengurangi kemiskinan, walau-pun faktanya setelah terpilih sulit merealisasikan janjinya. Bahkan kini kemiskinan menjadi tontonan reality show di televisi-televisi swasta.

Kemiskinan telah menjadi komoditas sosial politik bahkan komoditas hiburan/tontonan. Kemiskinan telah menjadi isu/masalah lokal, nasional, regional bahkan global. Bukan hanya bupati/walikota yang berbicara masalah kemiskinan, presiden bahkan sekretaris jenderal perserikatan bangsa-bangsa berbicara masalah ini. Namun faktanya kemiskinan ini tetap ada, selalu menjadi pekerjaan rumah para pejabat tersebut. Pertanyaannya apakah masalah ini tidak dapat diselesaikan, paling tidak dimini-malisir, dengan memunculkan ide-ide baru menanggulangi kemiskinan.

MENGGALI IDE MENANGGULANGI KEMISKINAN

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 58: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

58

Wawasan Perencanaan

59

Meminimalisir masalah kemiskinan ini sama rumitnya dengan mendefinisikan kata miskin dan kemiskinan. Makna kata serba kekurangan atau berpenghasilan sangat rendah ternyata belum cukup untuk mendifinisikan kata-kata ini, karena ternyata manusia hampir selalu merasa serba kekurangan, merasa berpenghasilan rendah, tapi anehnya tidak mau disebut orang melarat. Akhirnya pakar dan lembaga/pemerintah men-definisikan bahkan mengukur kata kemiskinan ini menggunakan ukuran kuantitatif.

Menurut Ichwan Muis (2011), definisi kemiskinan dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari segi pemenuhan kebutuhan pokok, kemiskinan adalah tidak terpenuhinya standar kebutuhan pokok disebabkan adanya keku-rangan barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi standar hidup layak. Kedua, dari segi pendapatan, kemisikinan dilukiskan sebagai kurangnya pandapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

Ketiga, dilihat dari kesempatan, kemiskinan adalah karena ketidaksamaan kesempatan untuk meraih basis kekuasaan sosial meliputi keteram-pilan yang memadai; informasi/pengetahuan yang berguna bagi kemajuan hidup; social network; dan sumber modal yang diperlukan bagi peningkatan pengembangan kehidupan.

Keempat, dilihat dari kondisi, kemiskinan dicirikan dengan kekurangan makan dan gizi; pakaian dan perumahan yang tidak memadai; tingkat pendidikan yang rendah; sedikitnya kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang pokok.

Kelima, dilihat dari penguasaan terhadap sumber daya, kemiskinan merupakan keter-lantaran yang disebabkan oleh penyebaran yang tidak merata dari sumber daya (malldistribution of resources).

Keenam, kemiskinan menurut Drewnowski, ada tiga tingkatan kebutuhan untuk menentukan tingkat kehidupan seseorang yakni kehidupan fisik dasar meliputi gizi, perumahan dan kesehatan; lalu kebutuhan budaya dasar meliputi pendidikan, penggunaan waktu luang/rekreasi

dan jaminan sosial; serta high income yakni pendapatan yang surplus.

Sementara itu, pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional merumus-kan konsep kemiskinan sebagai ketidak-mampuan memenuhi hak-hak dasar untuk mem-pertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, keluarga miskin adalah jika tidak dapat melaksanakan ibadah menurut keyakinannya; tidak mampu makan dua kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja atau sekolah dan berpergian; lalu bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah; serta tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.

Sedangkan Badan Pusat Statistik/BPS mengeluarkan dua angka kemiskinan yakni untuk kepentingan makro dan mikro. Secara makro, jumlah penduduk miskin dipengaruhi garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada Maret 2010, garis kemiskinan sebesar Rp.211.000,- per kapita per bulan, artinya, seseorang baru dikatakan miskin bila pengeluaran per bulan di bawah Rp.211.000,-.

Garis kemiskinan terdiri dari garis kemis-kinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). Peranan GKM terhadap garis kemiskinan sangat dominan, mencapai 73,5 persen. Komoditas makanan yang sangat mempengaruhi garis kemiskinan adalah beras, kontribusi pengeluaran beras terhadap garis kemiskinan sebesar 25,2 persen di perkotaan dan 34,11 persen di perdesaan. Rokok krektek filter memberi sumbangan terbesar kedua pada garis kemiskinan, 7,93 persen di perkotaan dan 5,90 persen di perdesaan. Komoditas lainnya adalah gula pasir, telur ayam ras, mi instan, tempe, bawang merah, kopi, dan tahu yang masing-masing di bawah 5 persen.

Sementara itu, komoditas bukan makanan yang sangat mempengaruhi garis kemiskinan

adalah biaya perumahan, listrik, angkutan, dan biaya pendidikan. Kontribusi biaya perumahan 8,43 persen di perkotaan dan 6,11 persen di perdesaan; yang lainnya berkontribusi di bawah 5 persen.

Sementara itu untuk kepentingan mikro, BPS pada tahun 2005 menetapkan 14 kriteria keluarga miskin. Pertama, luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. Kedua, jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. Ketiga, jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester. Keempat, tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. Kelima, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. Keenam, sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. Ketujuh, bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

Kedelapan, hanya mengkonsumsi daging/ susu/ayam satu kal i dalam seminggu. Kesembilan, hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. Kesepuluh, hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. Kesebelas, tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. Keduabelas, sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0, 5 ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,- per bulan. Ketigabelas, pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga, tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. Keempatbelas, tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000,- seperti sepeda motor, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Dari 14 variabel tersebut, jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 59: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

58

Wawasan Perencanaan

59

Meminimalisir masalah kemiskinan ini sama rumitnya dengan mendefinisikan kata miskin dan kemiskinan. Makna kata serba kekurangan atau berpenghasilan sangat rendah ternyata belum cukup untuk mendifinisikan kata-kata ini, karena ternyata manusia hampir selalu merasa serba kekurangan, merasa berpenghasilan rendah, tapi anehnya tidak mau disebut orang melarat. Akhirnya pakar dan lembaga/pemerintah men-definisikan bahkan mengukur kata kemiskinan ini menggunakan ukuran kuantitatif.

Menurut Ichwan Muis (2011), definisi kemiskinan dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari segi pemenuhan kebutuhan pokok, kemiskinan adalah tidak terpenuhinya standar kebutuhan pokok disebabkan adanya keku-rangan barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi standar hidup layak. Kedua, dari segi pendapatan, kemisikinan dilukiskan sebagai kurangnya pandapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

Ketiga, dilihat dari kesempatan, kemiskinan adalah karena ketidaksamaan kesempatan untuk meraih basis kekuasaan sosial meliputi keteram-pilan yang memadai; informasi/pengetahuan yang berguna bagi kemajuan hidup; social network; dan sumber modal yang diperlukan bagi peningkatan pengembangan kehidupan.

Keempat, dilihat dari kondisi, kemiskinan dicirikan dengan kekurangan makan dan gizi; pakaian dan perumahan yang tidak memadai; tingkat pendidikan yang rendah; sedikitnya kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang pokok.

Kelima, dilihat dari penguasaan terhadap sumber daya, kemiskinan merupakan keter-lantaran yang disebabkan oleh penyebaran yang tidak merata dari sumber daya (malldistribution of resources).

Keenam, kemiskinan menurut Drewnowski, ada tiga tingkatan kebutuhan untuk menentukan tingkat kehidupan seseorang yakni kehidupan fisik dasar meliputi gizi, perumahan dan kesehatan; lalu kebutuhan budaya dasar meliputi pendidikan, penggunaan waktu luang/rekreasi

dan jaminan sosial; serta high income yakni pendapatan yang surplus.

Sementara itu, pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional merumus-kan konsep kemiskinan sebagai ketidak-mampuan memenuhi hak-hak dasar untuk mem-pertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, keluarga miskin adalah jika tidak dapat melaksanakan ibadah menurut keyakinannya; tidak mampu makan dua kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja atau sekolah dan berpergian; lalu bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah; serta tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.

Sedangkan Badan Pusat Statistik/BPS mengeluarkan dua angka kemiskinan yakni untuk kepentingan makro dan mikro. Secara makro, jumlah penduduk miskin dipengaruhi garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada Maret 2010, garis kemiskinan sebesar Rp.211.000,- per kapita per bulan, artinya, seseorang baru dikatakan miskin bila pengeluaran per bulan di bawah Rp.211.000,-.

Garis kemiskinan terdiri dari garis kemis-kinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). Peranan GKM terhadap garis kemiskinan sangat dominan, mencapai 73,5 persen. Komoditas makanan yang sangat mempengaruhi garis kemiskinan adalah beras, kontribusi pengeluaran beras terhadap garis kemiskinan sebesar 25,2 persen di perkotaan dan 34,11 persen di perdesaan. Rokok krektek filter memberi sumbangan terbesar kedua pada garis kemiskinan, 7,93 persen di perkotaan dan 5,90 persen di perdesaan. Komoditas lainnya adalah gula pasir, telur ayam ras, mi instan, tempe, bawang merah, kopi, dan tahu yang masing-masing di bawah 5 persen.

Sementara itu, komoditas bukan makanan yang sangat mempengaruhi garis kemiskinan

adalah biaya perumahan, listrik, angkutan, dan biaya pendidikan. Kontribusi biaya perumahan 8,43 persen di perkotaan dan 6,11 persen di perdesaan; yang lainnya berkontribusi di bawah 5 persen.

Sementara itu untuk kepentingan mikro, BPS pada tahun 2005 menetapkan 14 kriteria keluarga miskin. Pertama, luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. Kedua, jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. Ketiga, jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester. Keempat, tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. Kelima, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. Keenam, sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. Ketujuh, bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

Kedelapan, hanya mengkonsumsi daging/ susu/ayam satu kal i dalam seminggu. Kesembilan, hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. Kesepuluh, hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. Kesebelas, tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. Keduabelas, sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0, 5 ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,- per bulan. Ketigabelas, pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga, tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. Keempatbelas, tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000,- seperti sepeda motor, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Dari 14 variabel tersebut, jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 60: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

60

produktif, masuk golongan angkatan kerja, tentu harus berbeda dengan perlakuan terhadap penduduk/rumah tangga miskin non produktif (jompo, cacat, dll). Pemberian bantuan langsung tunai hanya cocok bagi penduduk/rumah tangga miskin non produktif, sedangkan bagi yang produktif seharusnya dibuka kesempatan kerja atau pemberian lahan/modal/kredit berbunga rendah untuk usaha.

Kedua, penguatan peran dan pember-dayaan perempuan. Peran perempuan dalam menanggulangi kemiskinan harusnya menjadi titik strategis, mengingat peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan pendidik pertama generasi berikutnya. Ilustrasi, jika seorang bapak diberi bantuan uang belum tentu menjadi konsumsi rumah tangga, karena digunakan kepentingan pribadi misal merokok, sedangkan jika perempuan yang di beri bantuan, peluang menjadi konsumsi rumah tangganya

http://ichwanmuis.com/ (diakses Februari 2012)

Pedoman Pendataan Sosial Ekonomi - BPS

Daftar Pustaka

menjadi lebih besar karena dipakai keperluan dapur/rumah tangga.

Ketiga, menciptakan sarana publik/tempat ibadah sebagai pusat pemenuhan kebutuhan air bersih dan sanitasi bersih. Kesulitan air dan sanitasi bersih menjadi salah satu ciri penduduk/ rumah tangga miskin. Pemenuhan atas kebutuhan ini seharusnya dapat disiasati dengan menjadikan sarana publik seperti tempat ibadah (masjid, langgar, dll) menjadi pusat penyediaan air dan sanitasi bersih. Konsep tempat ibadah harus bersih bisa dikaitkan dengan hak dan kewajiban penduduk miskin/rumah tangga miskin dalam menjaga kebersihan sarana ini.

Keempat, percepatan pemenuhan kebu-tuhan papan/perumahan si miskin. Papan secara visual terlihat jelas bahkan menjadi 3 dari 14 variabel rumah tangga miskin menurut BPS (luas lantai, jenis lantai, dan jenis dinding). Kebutuhan papan menjadi persoalan besar karena menyangkut biaya yang tidak sedikit, bisa jutaan, padahal yang dimimpikan si miskin hanyalah tempat tinggal yang bisa digunakan berteduh saat hujan, panas dan dingin, tidak perlu mewah. Kiranya program bedah rumah yang sering ditayangkan di televisi dapat menjadi salah satu program nasional penanggulangan kemiskinan. Identik dengan rumah adalah panti-panti yang menampung orang miskin seperti panti asuhan dan panti jompo.

Kelima, menguatkan kembali program keluarga berencana, termasuk didalamnya penyedian kontrasepsi gratis bagi penduduk/ rumah tangga miskin. Ada fakta menggelitik, miskin justru anaknya banyak, bisa jadi karena si miskin tidak mampu membeli alat kontrasepsi. Pendapatan dibagi jumlah jiwa adalah rumus umum tingkat kesejahteraan, sehingga peng-aturan banyaknya jiwa yang menjadi beban tanggung jawab kepala rumah tangga menjadi salah satu strategi meningkatkan kesejahteraan.

Keenam, penguatan peran rohaniwan/ psikolog dan pekerja sosial. Kemiskinan kadang berkaitan dengan mentalitas. Sifat malas berusaha, segan bekerja, besar gengsi daripada

kebutuhan diri, lebih suka meminta-minta, menjadi penghambat dalam meningkatkan kesejahteraan. Pada titik inilah, rohaniwan/ psikolog dan pekerja sosial dapat melakukan bimbingan dan pendampingan. Sepertinya keberadaan psikolog di beberapa puskesmas/ rumah singgah/panti asuhan/panti jompo layak dipertimbangkan, bukan hanya fisik yang dibina tapi juga mentalitasnya.

Ketujuh, sistem perekonomian yang dibina harusnya pro poor. Masuknya investor berkapital besar kadang menjadi anomali bagi kesejah-teraan rakyat, merusak kehidupan ekonomi rakyat kecil/orang miskin. Ilustrasi, munculnya mini market di perkampungan telah meluluhkan warung-warung tradisonal, lalu usaha rumahan seperti kue-kue dan penganan yang tadinya milik rakyat kecil/orang miskin, jalur usahanya diambil alih para konglomerat. Sebaiknya jalur usaha yang digeluti banyak rakyat kecil dilindungi dari para investor raksasa, masuk dalam daftar negatif investasi.

Kedelapan, penguatan program kesetia-kawanan sosial. Program-program kesetia-kawanan sosial seperti orang tua asuh/anak asuh, dan sebagainya yang dulu pernah gebyar, seharusnya dihidupkan lagi. Partisipasi lingkung-an sosial terbukti cukup efektif dalam menang-gulangi kemiskinan. Perkumpulan sosial seperti rukun tetangga/RT atau dewan kemakmuran mesjid/DKM dapat berperan dalam menggerakan program ini.

Terakhir, kiranya ide-ide lain untuk menanggulangi kemiskinan harus terus digali, karena sesuai pembukaan UUD 1945, memajukan kesejahteraan umum yang secara implisit bermakna menanggulangi kemiskinan menjadi visi kita bersama membentuk republik tercinta ini. 6

Dari uraian di atas terdapat benang merah konsep/definisi kemiskinan yakni ketidak-mampuan memenuhi hak dasar yakni pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan oleh karena berbagai alasan. Jadi pemerintah sebagai pengemban amanat menyejahterakan masya-rakat tinggal fokus pada hak dasar tersebut. Penanggulangan kemiskinan yang dijalankan pemerintah saat ini sudah cukup bagus, misalnya penyediaan pangan dalam bentuk program beras untuk rakyat miskin (raskin); kesehatan dalam bentuk jaminan kesehatan masyarakat; pendidikan sudah diakomodir dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS); dan program keluarga harapan (PKH).

Upaya pemerintah tersebut harusnya diperkuat beberapa substansi. Pertama, pengelompokkan penduduk/rumah tangga miskin dalam kategori produktif dan non produktif. Artinya perlakuan bagi rumah tangga miskin

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

Wawasan Perencanaan

61Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 61: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

60

produktif, masuk golongan angkatan kerja, tentu harus berbeda dengan perlakuan terhadap penduduk/rumah tangga miskin non produktif (jompo, cacat, dll). Pemberian bantuan langsung tunai hanya cocok bagi penduduk/rumah tangga miskin non produktif, sedangkan bagi yang produktif seharusnya dibuka kesempatan kerja atau pemberian lahan/modal/kredit berbunga rendah untuk usaha.

Kedua, penguatan peran dan pember-dayaan perempuan. Peran perempuan dalam menanggulangi kemiskinan harusnya menjadi titik strategis, mengingat peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan pendidik pertama generasi berikutnya. Ilustrasi, jika seorang bapak diberi bantuan uang belum tentu menjadi konsumsi rumah tangga, karena digunakan kepentingan pribadi misal merokok, sedangkan jika perempuan yang di beri bantuan, peluang menjadi konsumsi rumah tangganya

http://ichwanmuis.com/ (diakses Februari 2012)

Pedoman Pendataan Sosial Ekonomi - BPS

Daftar Pustaka

menjadi lebih besar karena dipakai keperluan dapur/rumah tangga.

Ketiga, menciptakan sarana publik/tempat ibadah sebagai pusat pemenuhan kebutuhan air bersih dan sanitasi bersih. Kesulitan air dan sanitasi bersih menjadi salah satu ciri penduduk/ rumah tangga miskin. Pemenuhan atas kebutuhan ini seharusnya dapat disiasati dengan menjadikan sarana publik seperti tempat ibadah (masjid, langgar, dll) menjadi pusat penyediaan air dan sanitasi bersih. Konsep tempat ibadah harus bersih bisa dikaitkan dengan hak dan kewajiban penduduk miskin/rumah tangga miskin dalam menjaga kebersihan sarana ini.

Keempat, percepatan pemenuhan kebu-tuhan papan/perumahan si miskin. Papan secara visual terlihat jelas bahkan menjadi 3 dari 14 variabel rumah tangga miskin menurut BPS (luas lantai, jenis lantai, dan jenis dinding). Kebutuhan papan menjadi persoalan besar karena menyangkut biaya yang tidak sedikit, bisa jutaan, padahal yang dimimpikan si miskin hanyalah tempat tinggal yang bisa digunakan berteduh saat hujan, panas dan dingin, tidak perlu mewah. Kiranya program bedah rumah yang sering ditayangkan di televisi dapat menjadi salah satu program nasional penanggulangan kemiskinan. Identik dengan rumah adalah panti-panti yang menampung orang miskin seperti panti asuhan dan panti jompo.

Kelima, menguatkan kembali program keluarga berencana, termasuk didalamnya penyedian kontrasepsi gratis bagi penduduk/ rumah tangga miskin. Ada fakta menggelitik, miskin justru anaknya banyak, bisa jadi karena si miskin tidak mampu membeli alat kontrasepsi. Pendapatan dibagi jumlah jiwa adalah rumus umum tingkat kesejahteraan, sehingga peng-aturan banyaknya jiwa yang menjadi beban tanggung jawab kepala rumah tangga menjadi salah satu strategi meningkatkan kesejahteraan.

Keenam, penguatan peran rohaniwan/ psikolog dan pekerja sosial. Kemiskinan kadang berkaitan dengan mentalitas. Sifat malas berusaha, segan bekerja, besar gengsi daripada

kebutuhan diri, lebih suka meminta-minta, menjadi penghambat dalam meningkatkan kesejahteraan. Pada titik inilah, rohaniwan/ psikolog dan pekerja sosial dapat melakukan bimbingan dan pendampingan. Sepertinya keberadaan psikolog di beberapa puskesmas/ rumah singgah/panti asuhan/panti jompo layak dipertimbangkan, bukan hanya fisik yang dibina tapi juga mentalitasnya.

Ketujuh, sistem perekonomian yang dibina harusnya pro poor. Masuknya investor berkapital besar kadang menjadi anomali bagi kesejah-teraan rakyat, merusak kehidupan ekonomi rakyat kecil/orang miskin. Ilustrasi, munculnya mini market di perkampungan telah meluluhkan warung-warung tradisonal, lalu usaha rumahan seperti kue-kue dan penganan yang tadinya milik rakyat kecil/orang miskin, jalur usahanya diambil alih para konglomerat. Sebaiknya jalur usaha yang digeluti banyak rakyat kecil dilindungi dari para investor raksasa, masuk dalam daftar negatif investasi.

Kedelapan, penguatan program kesetia-kawanan sosial. Program-program kesetia-kawanan sosial seperti orang tua asuh/anak asuh, dan sebagainya yang dulu pernah gebyar, seharusnya dihidupkan lagi. Partisipasi lingkung-an sosial terbukti cukup efektif dalam menang-gulangi kemiskinan. Perkumpulan sosial seperti rukun tetangga/RT atau dewan kemakmuran mesjid/DKM dapat berperan dalam menggerakan program ini.

Terakhir, kiranya ide-ide lain untuk menanggulangi kemiskinan harus terus digali, karena sesuai pembukaan UUD 1945, memajukan kesejahteraan umum yang secara implisit bermakna menanggulangi kemiskinan menjadi visi kita bersama membentuk republik tercinta ini. 6

Dari uraian di atas terdapat benang merah konsep/definisi kemiskinan yakni ketidak-mampuan memenuhi hak dasar yakni pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan oleh karena berbagai alasan. Jadi pemerintah sebagai pengemban amanat menyejahterakan masya-rakat tinggal fokus pada hak dasar tersebut. Penanggulangan kemiskinan yang dijalankan pemerintah saat ini sudah cukup bagus, misalnya penyediaan pangan dalam bentuk program beras untuk rakyat miskin (raskin); kesehatan dalam bentuk jaminan kesehatan masyarakat; pendidikan sudah diakomodir dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS); dan program keluarga harapan (PKH).

Upaya pemerintah tersebut harusnya diperkuat beberapa substansi. Pertama, pengelompokkan penduduk/rumah tangga miskin dalam kategori produktif dan non produktif. Artinya perlakuan bagi rumah tangga miskin

Lok. Kab. Tasikmalaya, Dok. Pusdalisbang Jabar

Wawasan Perencanaan

61Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 62: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

63

______________________________________________________ * Perencana Madya pada BPMPD Prov. Jawa Barat.

enanggulangan kemiskinan merupakan amanat Undang Undang Dasar 1945 Pyang terus dilaksanakan Pemerintah

bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dan berbagai kelompok masyarakat, antara lain: organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, dunia usaha, organisasi keagamaan, dan masya-rakat miskin itu sendiri. Program Penanggu-langan Kemiskinan adalah Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat untuk mening-katkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui

l Erwin ATP*

“PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI JAWA BARAT MELALUI PROGRAM TERPADU ALIH TEKNOLOGI

PEMANFAATAN BAMBU BERBASIS PERDESAAN”

Lok. Kota Denpasar, dok. Penulis

bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, serta pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil. Program penanggulangan kemiskinan merupa-kan program prioritas nasional dan daerah yang tertuang dalam RPJPN 2005-2025, RPJMN 2010-2014, dan RKP; RPJP 2005-2025, RPJMD 2008-2013, dan RKPD.

Permasalahan yang terjadi adalah integrasi program-program penanggulangan kemiskinan pada tahap perencanaan, sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan, dan sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani) belum optimal, pendataan, pendanaan dan kelembagaan penanggulangan kemiskinan

belum optimal, koordinasi antar program-program penanggulangan kemiskinan antara instansi pemerintah pusat dan daerah lemah, kemitraan dan kerjasama antara kelembagaan di peme-rintah, dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam penanggulangan kemiskinan belum optimal, angkatan kerja lebih tinggi dibandingkan lapangan kerja yang tersedia.

Untuk optimalisasi program pemberdayaan masyarakat desa terutama dalam rangka pe-nanggulangan kemiskinan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menetapkan pembangunan perdesaan, sebagai salah satu prioritas pembangunan daerah (Common Goals ke-9).

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Peme-rintahan Desa Provinsi Jawa Barat mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah bidang pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa berdasarkan asas otonomi, dekonsentrasi dan tugas pem-bantuan dan mempunyai fungsi penyeleng-garaan perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan teknis bidang pemberdayaan masya-rakat dan pemerintahan desa, serta penyeleng-garaan kesekretariatan, pemerintahan desa/ kelurahan, penguatan kelembagaan dan partisi-pasi, pemberdayaan ekonomi masyarakat, sumberdaya alam dan teknologi tepat guna. Selain itu memiliki fungsi pula dalam peng-koordinasian dan pembinaan UPTB.

Kondisi saat ini berdasarkan Podes 2008 yang bersumber dari BPS Provinsi Jawa Barat

diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki penduduk sekitar 42.194.869 jiwa yang terdiri dari 21.262.743 orang laki-laki dan 20.932.126 orang perempuan dengan jumlah KK sekitar 11.196.368 KK yang tersebar di 5245 desa dan 626 kelurahan. Dari jumlah itu terdapat sekitar 5.457.900 penduduk miskin dimana sekitar 63% penduduk miskin berada di perdesaan dan 27% lagi berada di perkotaan.

Diperlukan upaya penciptaan lapangan usaha dan lapangan kerja namun berbasis potensi lokal yang berwawasan lingkungan untuk mengurangi tingkat kemiskinan terutama di perdesaan. Salah satu kegiatan yang diusulkan adalah memanfaatkan bambu sebagai pengganti kayu sebagai sarana usaha masyarakat. Disamping mengurangi penggunaan kayu, juga merangsang masyarakat untuk memelihara bambu yang akarnya tempat penyimpanan air. Prospek pasar penggunaan bambu diperkirakan cukup baik, baik pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri mengingat semakin ketatnya izin peng-gunaan kayu terutama pada tingkat Internasional karena adanya isyu Global Warming. Berdasarkan data BPS pada tahun 2006, tercatat bahwa kebutuhan kayu di Jawa Barat per tahun adalah sekitar 4 juta M3 (Empat Juta Meter Kubik) sedangkan hutan produksi hanya mampu memasok sekitar 250 ribu m3. Hingga kini kondisi perkembangannya menunjuk-kan bahwa kebutuhan kayu semakin meningkat, namun ketersediaan kayu hutan produksi cenderung semakin menurun.

Gambar 1. Grafik Kondisi Jumlah Penduduk di Jawa Barat

Sumber : Podes 2008 BPS Provinsi Jawa Barat

Gambar 2. Persebaran Kemiskinan di Jawa Barat

Sumber : Podes 2008 BPS Provinsi Jawa Barat

Wawasan Perencanaan

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 201262

Page 63: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

63

______________________________________________________ * Perencana Madya pada BPMPD Prov. Jawa Barat.

enanggulangan kemiskinan merupakan amanat Undang Undang Dasar 1945 Pyang terus dilaksanakan Pemerintah

bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dan berbagai kelompok masyarakat, antara lain: organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, dunia usaha, organisasi keagamaan, dan masya-rakat miskin itu sendiri. Program Penanggu-langan Kemiskinan adalah Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat untuk mening-katkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui

l Erwin ATP*

“PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI JAWA BARAT MELALUI PROGRAM TERPADU ALIH TEKNOLOGI

PEMANFAATAN BAMBU BERBASIS PERDESAAN”

Lok. Kota Denpasar, dok. Penulis

bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, serta pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil. Program penanggulangan kemiskinan merupa-kan program prioritas nasional dan daerah yang tertuang dalam RPJPN 2005-2025, RPJMN 2010-2014, dan RKP; RPJP 2005-2025, RPJMD 2008-2013, dan RKPD.

Permasalahan yang terjadi adalah integrasi program-program penanggulangan kemiskinan pada tahap perencanaan, sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan, dan sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani) belum optimal, pendataan, pendanaan dan kelembagaan penanggulangan kemiskinan

belum optimal, koordinasi antar program-program penanggulangan kemiskinan antara instansi pemerintah pusat dan daerah lemah, kemitraan dan kerjasama antara kelembagaan di peme-rintah, dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam penanggulangan kemiskinan belum optimal, angkatan kerja lebih tinggi dibandingkan lapangan kerja yang tersedia.

Untuk optimalisasi program pemberdayaan masyarakat desa terutama dalam rangka pe-nanggulangan kemiskinan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menetapkan pembangunan perdesaan, sebagai salah satu prioritas pembangunan daerah (Common Goals ke-9).

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Peme-rintahan Desa Provinsi Jawa Barat mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah bidang pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa berdasarkan asas otonomi, dekonsentrasi dan tugas pem-bantuan dan mempunyai fungsi penyeleng-garaan perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan teknis bidang pemberdayaan masya-rakat dan pemerintahan desa, serta penyeleng-garaan kesekretariatan, pemerintahan desa/ kelurahan, penguatan kelembagaan dan partisi-pasi, pemberdayaan ekonomi masyarakat, sumberdaya alam dan teknologi tepat guna. Selain itu memiliki fungsi pula dalam peng-koordinasian dan pembinaan UPTB.

Kondisi saat ini berdasarkan Podes 2008 yang bersumber dari BPS Provinsi Jawa Barat

diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki penduduk sekitar 42.194.869 jiwa yang terdiri dari 21.262.743 orang laki-laki dan 20.932.126 orang perempuan dengan jumlah KK sekitar 11.196.368 KK yang tersebar di 5245 desa dan 626 kelurahan. Dari jumlah itu terdapat sekitar 5.457.900 penduduk miskin dimana sekitar 63% penduduk miskin berada di perdesaan dan 27% lagi berada di perkotaan.

Diperlukan upaya penciptaan lapangan usaha dan lapangan kerja namun berbasis potensi lokal yang berwawasan lingkungan untuk mengurangi tingkat kemiskinan terutama di perdesaan. Salah satu kegiatan yang diusulkan adalah memanfaatkan bambu sebagai pengganti kayu sebagai sarana usaha masyarakat. Disamping mengurangi penggunaan kayu, juga merangsang masyarakat untuk memelihara bambu yang akarnya tempat penyimpanan air. Prospek pasar penggunaan bambu diperkirakan cukup baik, baik pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri mengingat semakin ketatnya izin peng-gunaan kayu terutama pada tingkat Internasional karena adanya isyu Global Warming. Berdasarkan data BPS pada tahun 2006, tercatat bahwa kebutuhan kayu di Jawa Barat per tahun adalah sekitar 4 juta M3 (Empat Juta Meter Kubik) sedangkan hutan produksi hanya mampu memasok sekitar 250 ribu m3. Hingga kini kondisi perkembangannya menunjuk-kan bahwa kebutuhan kayu semakin meningkat, namun ketersediaan kayu hutan produksi cenderung semakin menurun.

Gambar 1. Grafik Kondisi Jumlah Penduduk di Jawa Barat

Sumber : Podes 2008 BPS Provinsi Jawa Barat

Gambar 2. Persebaran Kemiskinan di Jawa Barat

Sumber : Podes 2008 BPS Provinsi Jawa Barat

Wawasan Perencanaan

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 201262

Page 64: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

64

Wawasan Perencanaan

65

Pada gambar 1 dan gambar 2 tampak penduduk miskin dan sebarannya di perdesaan dan perkotaan. Sekitar 4503 desa sebagian besar penduduknya berpenghasilan utama di bidang pertanian. Dari sejumlah itu sekitar 3901 desa sebagian besar penduduknya bekerja pada sub sektor tanaman pangan.

Yang menjadi sasaran adalah penduduk miskin di perdesaan, harus segera dicari solusinya dengan fokus pada pemanfaatan sumber daya lokal dan pendayagunaan teknologi tepat guna, sebagai hasil penelitian baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat. Diharapkan dengan kegiatan ini dapat mencipta-kan lapangan usaha dan lapangan kerja yang berkelanjutan, dan terwujudnya pemeliharaan lingkungan sehingga dapat mencegah terjadinya bencana alam dan dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Gambar di atas adalah bambu yang sudah diolah menjadi papan, potongan balok, parket, ukiran papan bambu, produksi Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional (PTPT) Denpasar pada Puslitbang Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum. Bahan dasarnya yaitu bambu bitung/gombong dan bambu tali. (Lok. Kota Denpasar, Dok. Penulis)

program pemberdayaan masyarakat di sekitar DAS Citarum dan Cimanuk serta masyarakat sekitar Gunung Gede Pangrango (kawasan Biosfer). Sementara itu, Balai PTPT Denpasar sedang menyiapkan rancangan peralatan guna meningkatkan volume produksi bambu laminasi. Setelah paket peralatan siap, akan direkomen-dasikan untuk dilakukan replikasi sehingga kegiatan produksi yang didahului pelatihan dapat mulai dijalankan. Untuk diketahui, bambu laminasi (plyboo) sebagai pengganti kayu setelah dilakukan penelitian, memiliki kekuatan 1,5 kali kayu jati. 6

Gambar 3 : Diagram Venn Banyaknya Desa di Jawa Barat Menurut Keberadaan Sungai yang Melintasi Desa

Sumber : Podes 2008 BPS Provinsi Jawa Barat

Jumlah Desa, Dilintasi …

Jumlah Desa, Tidak Dilintasi …

Banyaknya Desa di Jawa Barat Menurut Keberadaan Sungai yang Melintasi Desa

Pada gambar 3 di atas menunjukkan bahwa sekitar 83% desa di Jawa Barat, dilintasi sungai. Tanah di Daerah aliran sungai dapat ditanami bambu sebagai tanaman penguat tanah sekaligus hasilnya dapat dimanfaatkan dan diolah untuk berbagai kebutuhan termasuk sebagai subtitusi pengganti kayu.

Berdasarkan hal di atas maka diharapkan mulai tahun 2014 BPMPD Provinsi Jawa Barat dapat bekerjasama dengan Puslitbang Per-mukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan didukung oleh stakeholder lainnya dalam melakukan kegiatan “Penanggulangan

Kemiskinan di Jawa Barat Melalui Program

Terpadu Alih Teknologi Pemanfaatan Bambu

Berbasis Perdesaan” dengan inti kegiatan Inventarisasi Keberadaan Bambu di Jawa Barat, Koordinasi dan Pengembangan Kemitraan, Pembinaan Petani dan Budidaya Bambu, Pelatihan Pembuatan Parket, Papan, dan Kusen Bambu. Sedangkan tujuan utama dari kegiatan ini adalah meningkatkan kontribusi ketersediaan SDA di desa dan Teknologi Tepat Guna hasil penelitian lembaga penelitian mapun masyarkat bagi kesejahteraan masyarakat perdesaan sehingga mengurangi penduduk miskin di desa. Tujuan secara spesifik diantaranya adalah meningkatkan motivasi dan meningkatkan kemampuan Masyarakat untuk melakukan budidaya dan pemeliharaan serta penyediaan bambu, menjadikan masyarakat mampu

membuat papan, balok, dan parket dari bambu, menjadikan masyarakat mampu meningkatkan penghasilan dari pengelolaan bambu sehingga terjadi peningkatan daya beli, meminimalisir kerusakan hutan akibat penebangan kayu, dll.

Untuk penentuan lokasi sasaran kegiatan, akan dilakukan setelah proses inventarisasi keberadaan bambu di 17 Kabupaten dan 9 Kota di Jawa Barat selesai. Kegiatan inventarisasi sudah dimulai sejak akhir tahun 2011. Hasil inventarisasi keberadaan bambu akan dijadikan dasar penentuan lokasi sasaran kegiatan. Selain itu kegiatan ini diarahkan untuk menunjang

Gambar 5 : Contoh-Contoh Penggunaan Bambu Laminasi: Rumah tradisional, lemari buku (atas); meja dan kursi, daun pintu dan partisi, balok kayu untuk kusen (tengah); dan rumah adat bali (bawah). (Lok. Kota Denpasar dok. Penulis).

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 65: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Wawasan Perencanaan

64

Wawasan Perencanaan

65

Pada gambar 1 dan gambar 2 tampak penduduk miskin dan sebarannya di perdesaan dan perkotaan. Sekitar 4503 desa sebagian besar penduduknya berpenghasilan utama di bidang pertanian. Dari sejumlah itu sekitar 3901 desa sebagian besar penduduknya bekerja pada sub sektor tanaman pangan.

Yang menjadi sasaran adalah penduduk miskin di perdesaan, harus segera dicari solusinya dengan fokus pada pemanfaatan sumber daya lokal dan pendayagunaan teknologi tepat guna, sebagai hasil penelitian baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat. Diharapkan dengan kegiatan ini dapat mencipta-kan lapangan usaha dan lapangan kerja yang berkelanjutan, dan terwujudnya pemeliharaan lingkungan sehingga dapat mencegah terjadinya bencana alam dan dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Gambar di atas adalah bambu yang sudah diolah menjadi papan, potongan balok, parket, ukiran papan bambu, produksi Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional (PTPT) Denpasar pada Puslitbang Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum. Bahan dasarnya yaitu bambu bitung/gombong dan bambu tali. (Lok. Kota Denpasar, Dok. Penulis)

program pemberdayaan masyarakat di sekitar DAS Citarum dan Cimanuk serta masyarakat sekitar Gunung Gede Pangrango (kawasan Biosfer). Sementara itu, Balai PTPT Denpasar sedang menyiapkan rancangan peralatan guna meningkatkan volume produksi bambu laminasi. Setelah paket peralatan siap, akan direkomen-dasikan untuk dilakukan replikasi sehingga kegiatan produksi yang didahului pelatihan dapat mulai dijalankan. Untuk diketahui, bambu laminasi (plyboo) sebagai pengganti kayu setelah dilakukan penelitian, memiliki kekuatan 1,5 kali kayu jati. 6

Gambar 3 : Diagram Venn Banyaknya Desa di Jawa Barat Menurut Keberadaan Sungai yang Melintasi Desa

Sumber : Podes 2008 BPS Provinsi Jawa Barat

Jumlah Desa, Dilintasi …

Jumlah Desa, Tidak Dilintasi …

Banyaknya Desa di Jawa Barat Menurut Keberadaan Sungai yang Melintasi Desa

Pada gambar 3 di atas menunjukkan bahwa sekitar 83% desa di Jawa Barat, dilintasi sungai. Tanah di Daerah aliran sungai dapat ditanami bambu sebagai tanaman penguat tanah sekaligus hasilnya dapat dimanfaatkan dan diolah untuk berbagai kebutuhan termasuk sebagai subtitusi pengganti kayu.

Berdasarkan hal di atas maka diharapkan mulai tahun 2014 BPMPD Provinsi Jawa Barat dapat bekerjasama dengan Puslitbang Per-mukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan didukung oleh stakeholder lainnya dalam melakukan kegiatan “Penanggulangan

Kemiskinan di Jawa Barat Melalui Program

Terpadu Alih Teknologi Pemanfaatan Bambu

Berbasis Perdesaan” dengan inti kegiatan Inventarisasi Keberadaan Bambu di Jawa Barat, Koordinasi dan Pengembangan Kemitraan, Pembinaan Petani dan Budidaya Bambu, Pelatihan Pembuatan Parket, Papan, dan Kusen Bambu. Sedangkan tujuan utama dari kegiatan ini adalah meningkatkan kontribusi ketersediaan SDA di desa dan Teknologi Tepat Guna hasil penelitian lembaga penelitian mapun masyarkat bagi kesejahteraan masyarakat perdesaan sehingga mengurangi penduduk miskin di desa. Tujuan secara spesifik diantaranya adalah meningkatkan motivasi dan meningkatkan kemampuan Masyarakat untuk melakukan budidaya dan pemeliharaan serta penyediaan bambu, menjadikan masyarakat mampu

membuat papan, balok, dan parket dari bambu, menjadikan masyarakat mampu meningkatkan penghasilan dari pengelolaan bambu sehingga terjadi peningkatan daya beli, meminimalisir kerusakan hutan akibat penebangan kayu, dll.

Untuk penentuan lokasi sasaran kegiatan, akan dilakukan setelah proses inventarisasi keberadaan bambu di 17 Kabupaten dan 9 Kota di Jawa Barat selesai. Kegiatan inventarisasi sudah dimulai sejak akhir tahun 2011. Hasil inventarisasi keberadaan bambu akan dijadikan dasar penentuan lokasi sasaran kegiatan. Selain itu kegiatan ini diarahkan untuk menunjang

Gambar 5 : Contoh-Contoh Penggunaan Bambu Laminasi: Rumah tradisional, lemari buku (atas); meja dan kursi, daun pintu dan partisi, balok kayu untuk kusen (tengah); dan rumah adat bali (bawah). (Lok. Kota Denpasar dok. Penulis).

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 66: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

66 67

P2BN adalah akronim dari Peningkatan

Produksi Beras Nasional. Program ini diluncur-kan sebagai jawaban atas kekhawatiran Pemerintah dengan adanya anomali iklim atau dalam bahasa Pemerintah lebih senang dikatakan iklim ekstrim, yang dalam beberapa tahun terakhir ini sudah mempertontonkan keganasannya. Sebut saja soal bencana keke-ringan yang cukup menakutkan s e b a g a i d a m p a k m u s i m kemarau yang cukup panjang. Lalu, kejadian banjir yang melanda beberapa daerah di

Thailand, yang menyebabkan sekitar 600 orang meninggal dunia dan ribuah orang yang merana karena tempat tinggalnya dihantam banjir.

Menurut dugaan para akhli iklim dan cuaca, tidak menutup kemungkinan bahwa kejadian yang menimpa Thailand dapat saja melanda negeri kita. Dihadapkan pada kondisi yang demikian, tentunya tidak boleh main-main lagi dalam menyikapi "darurat iklim" ini. Kita tidak pada tempatnya lagi hanya duduk manis sambil mengamati arah angin yang bertiup. Bahkan kita juga akan disalahkan bila tidak mampu memberi pilihan solusi guna mengatasinya. Termasuk di dalamnya soal kesungguhan dan kepiawaian kita dalam menggelindingkan P2BN sebagai -guna

DUKUNGAN PENYULUHAN P2BNl Entang Sastraatmadja*

___________________________________* Anggota Komite Perencana Jawa Barat.

Lok. Kota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

INFO Pertanian

mengamankan produksi padi secara nasional, yang suka atau pun tidak, sekarang ini sudah menampakan ciri-cirinya.

Di sisi lain, Badan Pusat Statisik (BPS) yang tampil dengan Angka Ramalan III nya, betul-betul menambah kegalauan kita dalam menghadapi kondisi yang tengah terjadi. Di prediksi produksi beras akan melorot cukup signifikan dalam tahun ini, sekiranya tidak ditempuh langkah-langkah yang tepat untuk menjawabnya. Angka Ramalan III BPS ini, rupanya tidak hanya bicara soal komoditi beras, namun komoditi jagung, kedele dan gula pun kita bakal mengalami penurunan produksi. Padahal untuk tahun 2014 nanti Pemerintah telah menargetkan bahwa komoditi-komoditi tersebut harus sudah mampu swasembada, dan khusus untuk beras, pada tahun 2015 kita sudah harus memiliki cadangan beras sejumlah 10 juta ton.

Dihadapkan pada suasana yang seperti ini, keseriusan Pemerintah untuk mengembangkan P2BN secara nasional, pada dasarnya memang cukup beralasan. Pemerintah, rupanya tidak mau menanggung resiko yang lebih parah. P2BN harus juga gerakan nasional. P2BN mesti menjadi prioritas kebijakan pembangunan pertanian, baik Pusat atau Daerah. Dan P2BN sendiri tentu menjadi sebuah tarohan bagi bangsa yang pernah tercitrakan sebagai negeri yang pernah menggapai swasembada beras. Sebuah prestasi yang cukup terhormat dan bergenksi, yang belum tentu dapat diraih oleh setiap bangsa di dunia ini.

Sekali pun dari sisi semangat dan dukungan anggaran Pusat, P2BN cukup me-madai, namun jika kita kaitkan dengan topangan anggaran Daerah, kelihatannya masih tampak kejomplangan. Belum semua daerah mampu menyiapkan anggaran secara proporsional. Bahkan ada juga daerah yang hanya mengikuti arus putar dari kebijakan nasional saja. Pada sudut pandang lain, kita juga saksikan kondisi iklim yang ada di lapangan, belum sepenuhnya berpihak pada program P2BN. Iklim ekstrim yang terjadi rupanya belum sepenuhnya mampu kita

kendalikan sebagaimana yang diinginkan. Malah kalau kita mau jujur, di beberapa sentra produksi padi, tampak berbagai masalah yang tidak tertangani dengan baik. Sebut saja soal ketersediaan air di saat musim tanam berlangsung. Dampak kemarau panjang, masih menyisakan masalah, khusus nya belum semua daerah siap untuk melaksanakan musim tanam.

Mundurnya musim tanam di penghujung tahun 2011, menyebabkan produksi padi untuk tahun 2011 pasti bakal meleset dari hitungan awal. Produksi tahun 2011, tampaknya bakal masuk dalam tahun depan. Oleh karena itu, perhitungan ulang produksi P2BN pun mutlak disesuaikan dengan fenomena yang ada di lapangan. Dari pantauan di sentra-sentra produksi, hingga kini masih ada para petani yang belum melakukan penanaman karena belum tersedia air yang cukup. Hal ini tentu bakal mengurangi produksi P2BN, jika kondisi alam benar-benar belum berpihak pada pertanian. Yang mencemaskan adalah jika tiba-tiba bencana banjir datang menyerang, sehingga resiko gagal tanam atau puso bisa terjadi. Harapan kita, mudah-mudahan bencana itu tidak datang, sehingga target P2BN akan dapat kita wujudkan.

GP3K

GP3K atau Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Koorporasi, memang diluncur-kan untuk mendukung Program P2BN atau Program Peningkatan Produksi Beras Nasional. Baik P2BN mau pun GP3K, pada dasarnya merupakan jawaban nyata Pemerintah terhadap kerisauan berbagai macam pihak atas turunnya produksi pangan, khusus nya beras, sebagai akibat dari terjadinya alih fungsi lahan pertanian produktif secara membabi-buta, sedangkan di sisi lain, pencetakan sawah baru relatif terbatas.

Lebih mengenaskan lagi, ternyata rata-rata tingkat produktivitas padi per hektar masih berkisar diantara angka 6 ton saja, padahal jumlah penduduk kita semakin meningkat dan

INFO Pertanian

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 67: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

66 67

P2BN adalah akronim dari Peningkatan

Produksi Beras Nasional. Program ini diluncur-kan sebagai jawaban atas kekhawatiran Pemerintah dengan adanya anomali iklim atau dalam bahasa Pemerintah lebih senang dikatakan iklim ekstrim, yang dalam beberapa tahun terakhir ini sudah mempertontonkan keganasannya. Sebut saja soal bencana keke-ringan yang cukup menakutkan s e b a g a i d a m p a k m u s i m kemarau yang cukup panjang. Lalu, kejadian banjir yang melanda beberapa daerah di

Thailand, yang menyebabkan sekitar 600 orang meninggal dunia dan ribuah orang yang merana karena tempat tinggalnya dihantam banjir.

Menurut dugaan para akhli iklim dan cuaca, tidak menutup kemungkinan bahwa kejadian yang menimpa Thailand dapat saja melanda negeri kita. Dihadapkan pada kondisi yang demikian, tentunya tidak boleh main-main lagi dalam menyikapi "darurat iklim" ini. Kita tidak pada tempatnya lagi hanya duduk manis sambil mengamati arah angin yang bertiup. Bahkan kita juga akan disalahkan bila tidak mampu memberi pilihan solusi guna mengatasinya. Termasuk di dalamnya soal kesungguhan dan kepiawaian kita dalam menggelindingkan P2BN sebagai -guna

DUKUNGAN PENYULUHAN P2BNl Entang Sastraatmadja*

___________________________________* Anggota Komite Perencana Jawa Barat.

Lok. Kota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

INFO Pertanian

mengamankan produksi padi secara nasional, yang suka atau pun tidak, sekarang ini sudah menampakan ciri-cirinya.

Di sisi lain, Badan Pusat Statisik (BPS) yang tampil dengan Angka Ramalan III nya, betul-betul menambah kegalauan kita dalam menghadapi kondisi yang tengah terjadi. Di prediksi produksi beras akan melorot cukup signifikan dalam tahun ini, sekiranya tidak ditempuh langkah-langkah yang tepat untuk menjawabnya. Angka Ramalan III BPS ini, rupanya tidak hanya bicara soal komoditi beras, namun komoditi jagung, kedele dan gula pun kita bakal mengalami penurunan produksi. Padahal untuk tahun 2014 nanti Pemerintah telah menargetkan bahwa komoditi-komoditi tersebut harus sudah mampu swasembada, dan khusus untuk beras, pada tahun 2015 kita sudah harus memiliki cadangan beras sejumlah 10 juta ton.

Dihadapkan pada suasana yang seperti ini, keseriusan Pemerintah untuk mengembangkan P2BN secara nasional, pada dasarnya memang cukup beralasan. Pemerintah, rupanya tidak mau menanggung resiko yang lebih parah. P2BN harus juga gerakan nasional. P2BN mesti menjadi prioritas kebijakan pembangunan pertanian, baik Pusat atau Daerah. Dan P2BN sendiri tentu menjadi sebuah tarohan bagi bangsa yang pernah tercitrakan sebagai negeri yang pernah menggapai swasembada beras. Sebuah prestasi yang cukup terhormat dan bergenksi, yang belum tentu dapat diraih oleh setiap bangsa di dunia ini.

Sekali pun dari sisi semangat dan dukungan anggaran Pusat, P2BN cukup me-madai, namun jika kita kaitkan dengan topangan anggaran Daerah, kelihatannya masih tampak kejomplangan. Belum semua daerah mampu menyiapkan anggaran secara proporsional. Bahkan ada juga daerah yang hanya mengikuti arus putar dari kebijakan nasional saja. Pada sudut pandang lain, kita juga saksikan kondisi iklim yang ada di lapangan, belum sepenuhnya berpihak pada program P2BN. Iklim ekstrim yang terjadi rupanya belum sepenuhnya mampu kita

kendalikan sebagaimana yang diinginkan. Malah kalau kita mau jujur, di beberapa sentra produksi padi, tampak berbagai masalah yang tidak tertangani dengan baik. Sebut saja soal ketersediaan air di saat musim tanam berlangsung. Dampak kemarau panjang, masih menyisakan masalah, khusus nya belum semua daerah siap untuk melaksanakan musim tanam.

Mundurnya musim tanam di penghujung tahun 2011, menyebabkan produksi padi untuk tahun 2011 pasti bakal meleset dari hitungan awal. Produksi tahun 2011, tampaknya bakal masuk dalam tahun depan. Oleh karena itu, perhitungan ulang produksi P2BN pun mutlak disesuaikan dengan fenomena yang ada di lapangan. Dari pantauan di sentra-sentra produksi, hingga kini masih ada para petani yang belum melakukan penanaman karena belum tersedia air yang cukup. Hal ini tentu bakal mengurangi produksi P2BN, jika kondisi alam benar-benar belum berpihak pada pertanian. Yang mencemaskan adalah jika tiba-tiba bencana banjir datang menyerang, sehingga resiko gagal tanam atau puso bisa terjadi. Harapan kita, mudah-mudahan bencana itu tidak datang, sehingga target P2BN akan dapat kita wujudkan.

GP3K

GP3K atau Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Koorporasi, memang diluncur-kan untuk mendukung Program P2BN atau Program Peningkatan Produksi Beras Nasional. Baik P2BN mau pun GP3K, pada dasarnya merupakan jawaban nyata Pemerintah terhadap kerisauan berbagai macam pihak atas turunnya produksi pangan, khusus nya beras, sebagai akibat dari terjadinya alih fungsi lahan pertanian produktif secara membabi-buta, sedangkan di sisi lain, pencetakan sawah baru relatif terbatas.

Lebih mengenaskan lagi, ternyata rata-rata tingkat produktivitas padi per hektar masih berkisar diantara angka 6 ton saja, padahal jumlah penduduk kita semakin meningkat dan

INFO Pertanian

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 68: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

68

upaya diversifikasi menu makanan rakyat pun masih jauh dari yang didambakan kita bersama. Oleh karena itu, program P2BN dan GP3K benar-benar memikul beban yang sangat berat dan terhormat. Setidaknya, citra bahwa Indonesia adalah negeri yang sudah mampu berswasembada beras, tetap dapat dijaga dan dilestarikan.

GP3K yang dalam teknis operasionalnya ditugaskan kepada Konsorsium BUMN Pangan (PT Sang Hiyang Sri, PT Pertani, PT Pusri, Perum Perhutani dan Perum Bulog), tentu saja memikul beban yang tidak mudah. Selain masing-masing BUMN di atas memiliki tupoksi masing-masing, juga kalau kita amati dengan seksama, ternyata tiap-tiap BUMN tersebut belumlah memiliki pengalaman yang signifikan dalam memproduksi beras secara sistemik.

Masing-masing BUMN memang memiliki kekhususannya sendiri. PT Sang Hiyang Sri, lebih banyak berhubungan dengan soal benih mau pum bibir. PT Pertani yang dulunya lebih mengedepan dalam kegiatan pergudangan, kini merambah juga ke masalah perbenihan. PT Pusri memiliki tupoksi menghasilkan pupuk dan menyalurkannya ke petani. Sedangkan Perum Perhutani, selama ini memang belum teruji dalam hal budidaya padi. Kalau soal hasil hutan, kepiawaian Perum Perhutani, pastinya tidak perlu diragukan lagi. Perum Bulog jelas memiliki kewajiban untuk dapat menampung atau membeli hasil panen petani dengan tingkat harga yang wajar sesuai dengan mekanisme pasar yang berlaku.

GP3K, jelas bukan program yang dirancang tanpa konsep yang jelas. Para aktor intelektual

69

yang merumuskan Program GP3K, tentu memiliki "grand desain" yang utuh terkait visi, misi, strategi dan langkah-langkah program yang harus dijalankannya GP3K pasti akan diawali oleh posisioning yang terukur dan terstrukturkan dengan baik. Di sini akan disiapkan tempat kedudukan masing-masing BUMN, lalu dimana keberadaan dunia usaha dan juga para stakeholders lain nya. Hal ini sangat penting untuk dijadikan bahan pencermatan, karena GP3K sendiri para hakekatnya merupakan "kerja bareng" dan bukan kiprah individual.

Sedini mungkin GP3K sudah harus mengukur produktivitas. Dalam kaitan ini, kita optimis bahwa GP3K benar-benar merupakan sebuah terobosan guna mendongkrak produksi padi per hektar. Sebagai penopang utama Program P2BN, sudah seharusnya bila GP3K mampu dirancang secara matang, sehingga dalam pelaksanaannya di lapangan, akan benar-benar sesuai dengan apa yang menjadi harapannya. Yang tak kalah menariknya untuk disiapkan, GP3K juga harus dapat menge-depankan semangat sinergitas dari para pihak yang terlibat dalam kegiatannya, baik yang sifatnya langsung mau pun tidak. Sinergitas tentu harus sudah dimulai semenjak perencanaan, untuk selanjutnya diteruskan dalam pola pelaksanaan dan pola monitoring/evaluasi yang dilakoninya.

Begitu pun dengan makna jejaring (networking) yang dalam perkembangan jaman sekarang, sungguh sangat dibutuhkan. Jejaring adalah alat bantu yang cukup efektif guna mengukur keterlibatan banyak pihak dalam sebuah kegiatan. Jejaring juga dimintakan untuk mampu menghimpun berbagai kepentingan, sehingga dapat terbangun sebuah komitmen bersama yang dalam penjabarannya tentu bakal dilaksanakan secara konsisten. Dan lewat jejaring inilah, hubungan antara para pihak akan tetap terpelihara dengan baik.

Terakhir, GP3K tentu akan dilengkapi dengan rumusan akuntabilitas. GP3K, pasti tidak ingin disebut program yang sifat nya bebas tanpa

adanya pengawasan yang ketat. Pelaksanaan kontrol atau pengawasan yang sistemik, sudah sepatutnya menjadi ukuran keberhasilan kinerja dari GP3K. Ini penting ditekankan, karena hanya dengan menjadikan akuntabilitas sebagai alat ukur dalam menilai sebuah program lah, maka kita akan dapat menyebut berhasil atau tidaknya program tersebut menggapai tujuannya.

Penyuluhan

UU 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sudah sekitar 5 tahun diundangkan di negeri agraris. Selama 5 tahun ini, ternyata dari sisi regulasi lanjutannya (Peraturan Pemerintah) sendiri, terkesan belum mampu dituntaskan. Masih ada PP yang sepertinya "malu-malu kucing" untuk segera dilahirkan Pemerintah. Terlepas dari apa yang menjadi penyebab tersendatnya PP tersebut, tentunya kita sepakat agar kejadian yang menimpa UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, tidak terulang kembali. Masa PP terkait UU Sistem Budidaya Tanaman, ada yang diluncurkan setelah 18 tahun UU itu diundangkan. Yang lebih mengenaskan adalah pas PP nya dilahirkan, para petani pun banyak yang protes, bahkan melakukan penolakan, mengingat PP tersebut dinilai sangat tidak "pro petani". Kita berharap agar bangsa ini dapat belajar dari pengalaman yang demikian.

Hadir nya UU 16/2006 diharapkan mampu memberi aura baru bagi kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, yang sejak Ototomi Daerah menggelinding sekaligus menjadi "trademark" Orde Reformasi, dikatakan mengalami "matisuri". Banyak Kepala Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) yang memandang "sebelah mata" terhadap program yang semangatnya melakukan pembelajaran, pem-berdayaan dan pemartabatan petani ini. Para "raja kecil" di daerah memandang penyuluhan bukanlah sesuatu yang pantas untuk diprio-ritaskan. Kegiatan penyuluhan sendiri lebih diposisikan sebagai "syarat pelancar" dan bukan

INFO PertanianINFO Pertanian

Lok. Kota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 69: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

68

upaya diversifikasi menu makanan rakyat pun masih jauh dari yang didambakan kita bersama. Oleh karena itu, program P2BN dan GP3K benar-benar memikul beban yang sangat berat dan terhormat. Setidaknya, citra bahwa Indonesia adalah negeri yang sudah mampu berswasembada beras, tetap dapat dijaga dan dilestarikan.

GP3K yang dalam teknis operasionalnya ditugaskan kepada Konsorsium BUMN Pangan (PT Sang Hiyang Sri, PT Pertani, PT Pusri, Perum Perhutani dan Perum Bulog), tentu saja memikul beban yang tidak mudah. Selain masing-masing BUMN di atas memiliki tupoksi masing-masing, juga kalau kita amati dengan seksama, ternyata tiap-tiap BUMN tersebut belumlah memiliki pengalaman yang signifikan dalam memproduksi beras secara sistemik.

Masing-masing BUMN memang memiliki kekhususannya sendiri. PT Sang Hiyang Sri, lebih banyak berhubungan dengan soal benih mau pum bibir. PT Pertani yang dulunya lebih mengedepan dalam kegiatan pergudangan, kini merambah juga ke masalah perbenihan. PT Pusri memiliki tupoksi menghasilkan pupuk dan menyalurkannya ke petani. Sedangkan Perum Perhutani, selama ini memang belum teruji dalam hal budidaya padi. Kalau soal hasil hutan, kepiawaian Perum Perhutani, pastinya tidak perlu diragukan lagi. Perum Bulog jelas memiliki kewajiban untuk dapat menampung atau membeli hasil panen petani dengan tingkat harga yang wajar sesuai dengan mekanisme pasar yang berlaku.

GP3K, jelas bukan program yang dirancang tanpa konsep yang jelas. Para aktor intelektual

69

yang merumuskan Program GP3K, tentu memiliki "grand desain" yang utuh terkait visi, misi, strategi dan langkah-langkah program yang harus dijalankannya GP3K pasti akan diawali oleh posisioning yang terukur dan terstrukturkan dengan baik. Di sini akan disiapkan tempat kedudukan masing-masing BUMN, lalu dimana keberadaan dunia usaha dan juga para stakeholders lain nya. Hal ini sangat penting untuk dijadikan bahan pencermatan, karena GP3K sendiri para hakekatnya merupakan "kerja bareng" dan bukan kiprah individual.

Sedini mungkin GP3K sudah harus mengukur produktivitas. Dalam kaitan ini, kita optimis bahwa GP3K benar-benar merupakan sebuah terobosan guna mendongkrak produksi padi per hektar. Sebagai penopang utama Program P2BN, sudah seharusnya bila GP3K mampu dirancang secara matang, sehingga dalam pelaksanaannya di lapangan, akan benar-benar sesuai dengan apa yang menjadi harapannya. Yang tak kalah menariknya untuk disiapkan, GP3K juga harus dapat menge-depankan semangat sinergitas dari para pihak yang terlibat dalam kegiatannya, baik yang sifatnya langsung mau pun tidak. Sinergitas tentu harus sudah dimulai semenjak perencanaan, untuk selanjutnya diteruskan dalam pola pelaksanaan dan pola monitoring/evaluasi yang dilakoninya.

Begitu pun dengan makna jejaring (networking) yang dalam perkembangan jaman sekarang, sungguh sangat dibutuhkan. Jejaring adalah alat bantu yang cukup efektif guna mengukur keterlibatan banyak pihak dalam sebuah kegiatan. Jejaring juga dimintakan untuk mampu menghimpun berbagai kepentingan, sehingga dapat terbangun sebuah komitmen bersama yang dalam penjabarannya tentu bakal dilaksanakan secara konsisten. Dan lewat jejaring inilah, hubungan antara para pihak akan tetap terpelihara dengan baik.

Terakhir, GP3K tentu akan dilengkapi dengan rumusan akuntabilitas. GP3K, pasti tidak ingin disebut program yang sifat nya bebas tanpa

adanya pengawasan yang ketat. Pelaksanaan kontrol atau pengawasan yang sistemik, sudah sepatutnya menjadi ukuran keberhasilan kinerja dari GP3K. Ini penting ditekankan, karena hanya dengan menjadikan akuntabilitas sebagai alat ukur dalam menilai sebuah program lah, maka kita akan dapat menyebut berhasil atau tidaknya program tersebut menggapai tujuannya.

Penyuluhan

UU 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sudah sekitar 5 tahun diundangkan di negeri agraris. Selama 5 tahun ini, ternyata dari sisi regulasi lanjutannya (Peraturan Pemerintah) sendiri, terkesan belum mampu dituntaskan. Masih ada PP yang sepertinya "malu-malu kucing" untuk segera dilahirkan Pemerintah. Terlepas dari apa yang menjadi penyebab tersendatnya PP tersebut, tentunya kita sepakat agar kejadian yang menimpa UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, tidak terulang kembali. Masa PP terkait UU Sistem Budidaya Tanaman, ada yang diluncurkan setelah 18 tahun UU itu diundangkan. Yang lebih mengenaskan adalah pas PP nya dilahirkan, para petani pun banyak yang protes, bahkan melakukan penolakan, mengingat PP tersebut dinilai sangat tidak "pro petani". Kita berharap agar bangsa ini dapat belajar dari pengalaman yang demikian.

Hadir nya UU 16/2006 diharapkan mampu memberi aura baru bagi kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, yang sejak Ototomi Daerah menggelinding sekaligus menjadi "trademark" Orde Reformasi, dikatakan mengalami "matisuri". Banyak Kepala Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) yang memandang "sebelah mata" terhadap program yang semangatnya melakukan pembelajaran, pem-berdayaan dan pemartabatan petani ini. Para "raja kecil" di daerah memandang penyuluhan bukanlah sesuatu yang pantas untuk diprio-ritaskan. Kegiatan penyuluhan sendiri lebih diposisikan sebagai "syarat pelancar" dan bukan

INFO PertanianINFO Pertanian

Lok. Kota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 70: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

"syarat mutlak" dalam penyelenggaraan pem-bangunan. Akibatnya wajar jika kemudian, yang namanya penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan ini dianggap "ada dan tiada".

Sebetulnya banyak hal yang dapat kita ungkap, mengapa suasana seperti ini dapat tercipta. Salah satunya adalah terkait dengan semangat Otonomi Daerah yang memberi kewenangan kepada Gubernur dan Bupati/ Walikota untuk "mengelola" daerah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutannya, terkecuali yang harus diatur oleh Pemerintah Pusat. Sekalinya ada kebijakan bahwa tenaga penyuluh "diserahkan" ke Daerah, maka carut marut pun mulai terjadi. Mengingat perhatian daerah terhadap para penyuluh yang tidak "sebesar" Pemerintah Pusat, maka mulailah terjadi perubahan orientasi dari para penyuluh itu sendiri. Ada diantara mereka yang rela melepas status fungsionalnya guna memperoleh jabatan

struktural yang lebih menjanjikan. Di beberapa daerah ditemukan kasus tentang adanya seorang penyuluh pertanian yang memilih menjadi Kepala Seksi di Dinas Pemadam Kebakaran, ketimbang harus tetap berkantor di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP).

Semangat melahirkan UU 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan

70

Kehutanan, tentu saja bukan hanya sekedar menambah jumlah regulasi, namun yang lebih pokok lagi adalah sampai sejauh mana regulasi yang diluncurkan ini bakal mampu membawa perubahan ke arah yang didambakan. Para penyuluh pasti sangat berkeinginan agar kehadiran UU 16/2006 ini mampu memberi solusi cerdas (dari sisi regulasi) atas carut marut nya masalah penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan di lapangan. Di sisi lain, petani juga berharap agar dengan diterbitkannya UU ini, maka gerak langkah para penyuluh di lapangan, bakal semakin bergairah. Bahkan "harmonisasi" antara peneliti, penyuluh dan petani pun dimintakan agar dapat berjalan lagi sebagaimana di masa lalu, khususnya tatkala bangsa ini berjuang keras merebut swasembada beras.

Dihadapkan pada situasi yang demikian, banyak kalangan yang berpendapat: sudah waktunya dirumuskan bagaimana caranya agar "posisioning" para penyuluh ini mampu berperan sekaligus memainkan peran tersebut selaku "prime mover" pembangunan di perdesaan. Dengan status yang disandang dan peran yang dibebankannya, para penyuluh sebaiknya diberi keleluasaan dan kebebasan dalam mengem-bangkan potensi dan kompetensinya, khusus dalam penyelenggaraan sistem penyuluhan. Prime mover sendiri memiliki makna sebagai "penggerak utama". Penyuluh diharapkan mampu menjadi inisiator dan motivator dalam merumuskan ide dan gagasan baru terkait dengan pengembangan penyuluhan. Sebagai "prime nover", penyuluh tentu akan dapat membangun persepsi baru tentang penyeleng-garaan penyuluhan, baik penyuluhan sebagai ilmu mau pun penyuluhan sebagai seni.

Dalam rangka menjadikan penyuluh se-bagai "prime mover", tentu bukan hal yang cukup mudah untuk diwujudkan. Dalam kaitan ini, selain dibutuhkan niat yang tulus ikhlas, ilmu penge-tahuan dan teknologi yang mendukung serta dikuasainya metode/cara yang tepat dari seseorang yang memproklamirkan diri selaku penyuluh; juga sangat dibutuhkan adanya

kemauan politik yang serius dari Pemerintah plus keberpihakannya secara nyata. Jika hal ini dapat dibuktikan, mudah-mudahan akan memberi keberkahan bagi perjalanan penyuluhan di tanah merdeka ini.

Dukungan KonkritBeberapa hal yang dapat dilakukan dalam

kaitannya dengan dukungan penyuluhan ter-hadap pengembangan P2BN adalah:1. Membangun "harmoni" kembali semangat

trium virat antara peneliti-penyuluh-petani ke dalam kemasan yang lebih terukur, terstruktur dan holistik.

2. Menajamkan proses pembelajaran-pember-dayaan-pemartabatan para pihak yang terlibat di dalam P2BN, sehingga dapat dipolakan tahapan-tahapannya di lapangan.

3. Keberadaan penyuluhan diharapkan mampu memberi slot khusus dalam melahirkan regulasi, teknologi, kelembagaan, sosial-ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan; yang benar-benar menopang terjelmanya cita-cita mulia P2BN. 6

71

UU No.12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

UU No.7/1996 tentang Pangan.

UU No.16/2006 tentang Sistem penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.

UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Draf RUU tentang Pangan (2011).

Draf RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

PP No 68/2002 tentang Ketahanan Pangan.

Peraturan Presiden No.22 Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan berbasis Sumber Daya Lokal.

Instruksi Presiden No.5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional sebagai Dampak Ada nya Iklim Ekstrim.

Perda No.27/2010 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Daftar Pustaka

INFO PertanianINFO Pertanian

Lok. Kota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. Kota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 71: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

"syarat mutlak" dalam penyelenggaraan pem-bangunan. Akibatnya wajar jika kemudian, yang namanya penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan ini dianggap "ada dan tiada".

Sebetulnya banyak hal yang dapat kita ungkap, mengapa suasana seperti ini dapat tercipta. Salah satunya adalah terkait dengan semangat Otonomi Daerah yang memberi kewenangan kepada Gubernur dan Bupati/ Walikota untuk "mengelola" daerah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutannya, terkecuali yang harus diatur oleh Pemerintah Pusat. Sekalinya ada kebijakan bahwa tenaga penyuluh "diserahkan" ke Daerah, maka carut marut pun mulai terjadi. Mengingat perhatian daerah terhadap para penyuluh yang tidak "sebesar" Pemerintah Pusat, maka mulailah terjadi perubahan orientasi dari para penyuluh itu sendiri. Ada diantara mereka yang rela melepas status fungsionalnya guna memperoleh jabatan

struktural yang lebih menjanjikan. Di beberapa daerah ditemukan kasus tentang adanya seorang penyuluh pertanian yang memilih menjadi Kepala Seksi di Dinas Pemadam Kebakaran, ketimbang harus tetap berkantor di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP).

Semangat melahirkan UU 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan

70

Kehutanan, tentu saja bukan hanya sekedar menambah jumlah regulasi, namun yang lebih pokok lagi adalah sampai sejauh mana regulasi yang diluncurkan ini bakal mampu membawa perubahan ke arah yang didambakan. Para penyuluh pasti sangat berkeinginan agar kehadiran UU 16/2006 ini mampu memberi solusi cerdas (dari sisi regulasi) atas carut marut nya masalah penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan di lapangan. Di sisi lain, petani juga berharap agar dengan diterbitkannya UU ini, maka gerak langkah para penyuluh di lapangan, bakal semakin bergairah. Bahkan "harmonisasi" antara peneliti, penyuluh dan petani pun dimintakan agar dapat berjalan lagi sebagaimana di masa lalu, khususnya tatkala bangsa ini berjuang keras merebut swasembada beras.

Dihadapkan pada situasi yang demikian, banyak kalangan yang berpendapat: sudah waktunya dirumuskan bagaimana caranya agar "posisioning" para penyuluh ini mampu berperan sekaligus memainkan peran tersebut selaku "prime mover" pembangunan di perdesaan. Dengan status yang disandang dan peran yang dibebankannya, para penyuluh sebaiknya diberi keleluasaan dan kebebasan dalam mengem-bangkan potensi dan kompetensinya, khusus dalam penyelenggaraan sistem penyuluhan. Prime mover sendiri memiliki makna sebagai "penggerak utama". Penyuluh diharapkan mampu menjadi inisiator dan motivator dalam merumuskan ide dan gagasan baru terkait dengan pengembangan penyuluhan. Sebagai "prime nover", penyuluh tentu akan dapat membangun persepsi baru tentang penyeleng-garaan penyuluhan, baik penyuluhan sebagai ilmu mau pun penyuluhan sebagai seni.

Dalam rangka menjadikan penyuluh se-bagai "prime mover", tentu bukan hal yang cukup mudah untuk diwujudkan. Dalam kaitan ini, selain dibutuhkan niat yang tulus ikhlas, ilmu penge-tahuan dan teknologi yang mendukung serta dikuasainya metode/cara yang tepat dari seseorang yang memproklamirkan diri selaku penyuluh; juga sangat dibutuhkan adanya

kemauan politik yang serius dari Pemerintah plus keberpihakannya secara nyata. Jika hal ini dapat dibuktikan, mudah-mudahan akan memberi keberkahan bagi perjalanan penyuluhan di tanah merdeka ini.

Dukungan KonkritBeberapa hal yang dapat dilakukan dalam

kaitannya dengan dukungan penyuluhan ter-hadap pengembangan P2BN adalah:1. Membangun "harmoni" kembali semangat

trium virat antara peneliti-penyuluh-petani ke dalam kemasan yang lebih terukur, terstruktur dan holistik.

2. Menajamkan proses pembelajaran-pember-dayaan-pemartabatan para pihak yang terlibat di dalam P2BN, sehingga dapat dipolakan tahapan-tahapannya di lapangan.

3. Keberadaan penyuluhan diharapkan mampu memberi slot khusus dalam melahirkan regulasi, teknologi, kelembagaan, sosial-ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan; yang benar-benar menopang terjelmanya cita-cita mulia P2BN. 6

71

UU No.12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

UU No.7/1996 tentang Pangan.

UU No.16/2006 tentang Sistem penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.

UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Draf RUU tentang Pangan (2011).

Draf RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

PP No 68/2002 tentang Ketahanan Pangan.

Peraturan Presiden No.22 Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan berbasis Sumber Daya Lokal.

Instruksi Presiden No.5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional sebagai Dampak Ada nya Iklim Ekstrim.

Perda No.27/2010 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Daftar Pustaka

INFO PertanianINFO Pertanian

Lok. Kota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. Kota Banjar, dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 72: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Lok. Jalan Lingkar Nagreg Jabar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

72 73

engetahuan adalah buah pikir manusia, sebagai wujud atas kemampuan manusia dalam olah pikir untuk merespon sebuah P

fenomena dalam rangka memperbaiki diri dan lingkungannya di saat ini dan mendatang. Polanyi (1967), serta Nonaka dan Takeuchi (1995), membedakan pengetahuan menjadi dua bagian yakni, tacit knowledge dan explicit knowledge. Tacit knowledge adalah pengetahuan yang diketahui dan dipahami di dalam pikiran individu atau masyarakat serta pengalaman-pengalaman mereka (tidak terstruktur). Sehingga tidak dapat dirumuskan secara langsung dan sulit dikomunikasikan. Pengetahuan ini bersifat subyektif karena tergantung pada individu yang memilikinya. Sebaliknya, explicit knowledge dapat dengan mudah dikodifikasi (terstruktur).

Perkembangan pengetahuan salah satunya dicirikan dengan adanya inovasi, dalam hal ini pihak swasta selalu lebih dulu ketimbang pemerintah. Pemerintah perlu memaksimalkan pengetahuan yang dimiliki untuk menjalankan segala aktivitasnya. Pengetahuan yang tercipta, tersimpan, tersebar, baik yang telah/belum diterapkan, seringkali kurang diberdayakan secara berkelanjutan. Sehingga sulit berkembang dan tidak menjadi wahana pembelajaran bagi lingkungan organisasinya.

Pengetahuan harus dikelola/diorganisir dengan baik secara sistemik dan berkelanjutan untuk diterapkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan manusia. Di abad 21 ini yang merupakan abad pengetahuan, pengu-asaan, penerapan, pengembangan, pemanfaatan dan kepemilikan pengetahuan merupakan sebuah urgensi.

MEMBANGUN ORGANISASI BERBASIS PENGETAHUAN

l Bunbun W. Korneli* dan August J. Sutrisno**

______________________________________________________* Fungsional Perencana Bappeda Jabar**Fungsional Umum Pemprov Jambi

Knowledge ManagementPengetahuan dalam organisasi memiliki

nilai strategis, sehingga pengetahuan perlu dikelola. Knowledge Management adalah sebuah proses formal, terarah yang menentukan informasi apa yang bisa memberikan manfaat bagi organisasi dan selanjutnya memikirkan cara-cara untuk membuat agar pengetahuan tersedia bagi semua yang membutuhkan (Liss, 1999 dalam Singh, 2008).

Knowledge Management (KM) dikemuka-kan pertama kali oleh Cut Zurnali (2008), yang digunakan Wiig (1986), saat menulis buku pertamanya mengenai topik Knowledge Manage-ment Foundations yang dipublikasikan pada tahun 1993. KPMG (1998) memaparkan KM sebagai suatu usaha sistematik untuk meng-gunakan segala pengetahuan yang ada di dalam sebuah organisasi agar organisasi tersebut mampu mengembangkan penggunaan penge-tahuannya dalam rangka perbaikan kinerjanya secara keseluruhan. Secara umum KM berfokus pada tujuan-tujuan pengembangan organisasi seperti: perbaikan kinerja, keunggulan kompetitif, inovasi, berbagi pengalaman secara berkelan-jutan. Juga pengelolaan pengetahuan: sebagai aset strategis, untuk membantu individu dan kelompok, untuk berbagi pengalaman, untuk me-ngurangi duplikasi pekerjaan, untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan eksternalnya.

Konsep KM banyak diterapkan pada organisasi-organisasi di Negara maju. Demikian pula di Indonesia, terutama banyak diterapkan di lingkungan dunia usaha. Sementara di lingkung-an pemerintahan penerapannya terkendala banyak faktor. Salah satu penyebabnya adalah status kepegawaian mereka yang merasa terjamin dan 'aman'. Sehingga pengetahuan baru (new knowledge) dianggap hanyalah sebuah pilihan. Atau new knowledge hanya dapat diakses oleh jabatan-jabatan tertentu saja. Kondisi seperti ini akan menimbulkan gap dalam berkomunikasi. Knowledge gap akan berakibat munculnya capacity gap anggota organisasi (Grindle dan Hilderbrand, 1995). Sehingga diperlukan solusi untuk memperkecil knowledge

gap, yakni melalui implementasi knowledge management (KM).

Para akademisi dan praktisi semakin yakin bahwa pengetahuan akan menjadi senjata penting untuk mencapai kesuksesan organisasi (Lee & Byounggu, 2003 dalam Wang et al., 2009). Signifikansi pengetahuan sebagai sumber daya vital bagi perekonomian dunia dikenal, karena kemampuan pengetahuan yang dapat digunakan sebagai basis dari inovasi dan kesuksesan ekonomi (Davenport & Prusak, 1998; Nonaka & Takeuchi, 1995).

Dalam konsep KM, organisasi-organisasi dituntut agar mampu menciptakan kemakmuran bagi stakeholder/shareholder-nya melalui transformasi pengetahuan yang dimilikinya ke dalam produk, program, dan solusi unggulan. KM dalam organisasi ditekankan pada ekploitasi dan pengembangan organizational knowledge assets untuk tujuan kemajuan organisasi. Namun, konsep KM hendaknya dipandang bukan sesuatu yang lebih baik (better things), tapi untuk mengetahui bagaimana mengerjakan sesuatu dengan lebih baik (things better).

Sampai tahun 1980-an, pemahaman organisasi (Taylor) masih berprinsip pada manajemen ilmiah (scientific management), bercirikan struktur organisasi bersifat kaku dengan jalur komando yang dominan. Pimpinan sangat berkuasa, sehingga hubungan antara atasan dan bawahan sangat tegas, serta para pimpinan senantiasa mengontrol bawahan agar bekerja sesuai keinginannya. Kondisi organisasi seperti tersebut di atas saat ini tidak sesuai lagi, terutama untuk penerapan KM yang menuntut akan fleksibilitas dan kemampuan dalam merespon perubahan dengan cepat agar KM berjalan efektif dan efisien.

Perkembangan pengetahuan dari waktu ke waktu menunjukkan kemajuan yang demikian pesat. Namun situasi ini belum dimanfaatkan organisasi dalam pengembangannya. Sehingga hal ini berbanding terbalik dengan kapasitas organisasi yang cenderung stagnan dengan kompleksitas tinggi, karena menyangkut sejumlah variabel yang mempengaruhinya.

INFO iptekINFO iptek

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 73: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Lok. Jalan Lingkar Nagreg Jabar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

72 73

engetahuan adalah buah pikir manusia, sebagai wujud atas kemampuan manusia dalam olah pikir untuk merespon sebuah P

fenomena dalam rangka memperbaiki diri dan lingkungannya di saat ini dan mendatang. Polanyi (1967), serta Nonaka dan Takeuchi (1995), membedakan pengetahuan menjadi dua bagian yakni, tacit knowledge dan explicit knowledge. Tacit knowledge adalah pengetahuan yang diketahui dan dipahami di dalam pikiran individu atau masyarakat serta pengalaman-pengalaman mereka (tidak terstruktur). Sehingga tidak dapat dirumuskan secara langsung dan sulit dikomunikasikan. Pengetahuan ini bersifat subyektif karena tergantung pada individu yang memilikinya. Sebaliknya, explicit knowledge dapat dengan mudah dikodifikasi (terstruktur).

Perkembangan pengetahuan salah satunya dicirikan dengan adanya inovasi, dalam hal ini pihak swasta selalu lebih dulu ketimbang pemerintah. Pemerintah perlu memaksimalkan pengetahuan yang dimiliki untuk menjalankan segala aktivitasnya. Pengetahuan yang tercipta, tersimpan, tersebar, baik yang telah/belum diterapkan, seringkali kurang diberdayakan secara berkelanjutan. Sehingga sulit berkembang dan tidak menjadi wahana pembelajaran bagi lingkungan organisasinya.

Pengetahuan harus dikelola/diorganisir dengan baik secara sistemik dan berkelanjutan untuk diterapkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan manusia. Di abad 21 ini yang merupakan abad pengetahuan, pengu-asaan, penerapan, pengembangan, pemanfaatan dan kepemilikan pengetahuan merupakan sebuah urgensi.

MEMBANGUN ORGANISASI BERBASIS PENGETAHUAN

l Bunbun W. Korneli* dan August J. Sutrisno**

______________________________________________________* Fungsional Perencana Bappeda Jabar**Fungsional Umum Pemprov Jambi

Knowledge ManagementPengetahuan dalam organisasi memiliki

nilai strategis, sehingga pengetahuan perlu dikelola. Knowledge Management adalah sebuah proses formal, terarah yang menentukan informasi apa yang bisa memberikan manfaat bagi organisasi dan selanjutnya memikirkan cara-cara untuk membuat agar pengetahuan tersedia bagi semua yang membutuhkan (Liss, 1999 dalam Singh, 2008).

Knowledge Management (KM) dikemuka-kan pertama kali oleh Cut Zurnali (2008), yang digunakan Wiig (1986), saat menulis buku pertamanya mengenai topik Knowledge Manage-ment Foundations yang dipublikasikan pada tahun 1993. KPMG (1998) memaparkan KM sebagai suatu usaha sistematik untuk meng-gunakan segala pengetahuan yang ada di dalam sebuah organisasi agar organisasi tersebut mampu mengembangkan penggunaan penge-tahuannya dalam rangka perbaikan kinerjanya secara keseluruhan. Secara umum KM berfokus pada tujuan-tujuan pengembangan organisasi seperti: perbaikan kinerja, keunggulan kompetitif, inovasi, berbagi pengalaman secara berkelan-jutan. Juga pengelolaan pengetahuan: sebagai aset strategis, untuk membantu individu dan kelompok, untuk berbagi pengalaman, untuk me-ngurangi duplikasi pekerjaan, untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan eksternalnya.

Konsep KM banyak diterapkan pada organisasi-organisasi di Negara maju. Demikian pula di Indonesia, terutama banyak diterapkan di lingkungan dunia usaha. Sementara di lingkung-an pemerintahan penerapannya terkendala banyak faktor. Salah satu penyebabnya adalah status kepegawaian mereka yang merasa terjamin dan 'aman'. Sehingga pengetahuan baru (new knowledge) dianggap hanyalah sebuah pilihan. Atau new knowledge hanya dapat diakses oleh jabatan-jabatan tertentu saja. Kondisi seperti ini akan menimbulkan gap dalam berkomunikasi. Knowledge gap akan berakibat munculnya capacity gap anggota organisasi (Grindle dan Hilderbrand, 1995). Sehingga diperlukan solusi untuk memperkecil knowledge

gap, yakni melalui implementasi knowledge management (KM).

Para akademisi dan praktisi semakin yakin bahwa pengetahuan akan menjadi senjata penting untuk mencapai kesuksesan organisasi (Lee & Byounggu, 2003 dalam Wang et al., 2009). Signifikansi pengetahuan sebagai sumber daya vital bagi perekonomian dunia dikenal, karena kemampuan pengetahuan yang dapat digunakan sebagai basis dari inovasi dan kesuksesan ekonomi (Davenport & Prusak, 1998; Nonaka & Takeuchi, 1995).

Dalam konsep KM, organisasi-organisasi dituntut agar mampu menciptakan kemakmuran bagi stakeholder/shareholder-nya melalui transformasi pengetahuan yang dimilikinya ke dalam produk, program, dan solusi unggulan. KM dalam organisasi ditekankan pada ekploitasi dan pengembangan organizational knowledge assets untuk tujuan kemajuan organisasi. Namun, konsep KM hendaknya dipandang bukan sesuatu yang lebih baik (better things), tapi untuk mengetahui bagaimana mengerjakan sesuatu dengan lebih baik (things better).

Sampai tahun 1980-an, pemahaman organisasi (Taylor) masih berprinsip pada manajemen ilmiah (scientific management), bercirikan struktur organisasi bersifat kaku dengan jalur komando yang dominan. Pimpinan sangat berkuasa, sehingga hubungan antara atasan dan bawahan sangat tegas, serta para pimpinan senantiasa mengontrol bawahan agar bekerja sesuai keinginannya. Kondisi organisasi seperti tersebut di atas saat ini tidak sesuai lagi, terutama untuk penerapan KM yang menuntut akan fleksibilitas dan kemampuan dalam merespon perubahan dengan cepat agar KM berjalan efektif dan efisien.

Perkembangan pengetahuan dari waktu ke waktu menunjukkan kemajuan yang demikian pesat. Namun situasi ini belum dimanfaatkan organisasi dalam pengembangannya. Sehingga hal ini berbanding terbalik dengan kapasitas organisasi yang cenderung stagnan dengan kompleksitas tinggi, karena menyangkut sejumlah variabel yang mempengaruhinya.

INFO iptekINFO iptek

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 74: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

74 75

Namun hal ini tergantung pada kesungguhan, bagaimana memulai perubahan dari internal organisasi menuju perubahan yang diharap-kan. Dalam situasi organisasi seperti ini, SDM berkualitas yang kapabel dengan akuntabilitas tinggi menjadi prasyarat bagi pengembangan organisasi berbasis pengetahuan (knowledge based organi-zation). Inovasi harus menjadi kata kunci, dan pihak-pihak eksternal organisasi harus 'dianggap' pesaing, yang berfungsi sebagai indicator pemacu kerja bagi terciptanya keunggulan organisasi agar survive di era global yang kompetitif ini.

Perbedaan Pekerjaan Pengetahuan dan Tradisional (Pyoria, 2005)

Membutuhkan beberapa bentuk pendidikan formal dan on-the-job-training.

Keterampilan yang terdefinisi secara tegas.

Standardisasi yang sangat tinggi, pekerjaan melibatkan benda fisik secara langsung atau tidak langsung melalui antarmuka elektronik (misal: proses pengendalian produksi).

Menjangkau birokrasi s.d. tim, peran dan posisi yang jelas, pengetahuan sebagai faktor produksi kedua.

Materi fisik dan/atau orang.

Membutuhkan pendidikan formal yang ekstensif dan on-the-job-training yang kontinyu.

Keterampilan yang dapat ditransfer.

Tingkatkan standardisasi yang rendah, melibatkan pengetahuan abstrak dan simbol-simbol (misal: desain dan perencanaan proses produksi).

Menjangkau dari birokrasi profesional s.d. self-managing-teams, sirkulasi pekerjaan dan tugas pengetahuan sebagai faktor produksi pertama.

Simbol dan/atau orang.

Pendidikan

Keterampilan

Sifat alami pekerjaan

Organisasi

Medium pekerjaan

Pekerjaan PengetahuanPekerjaan Tradisional

ini, kesejahteraan tidak lagi tergantung pada akses sumber daya fisik, akan tetapi lebih tergantung pada kemampuan untuk mencipta ide-ide baru. Dengan kata lain, peran pekerja yang ada dalam sebuah organisasi yang berbasis pengetahuan, disebut sebagai pekerja pengetahuan, memainkan peran yang strategis dan bernilai (Florida, 2005 dalam Yigitcanlar et al., 2007). Literatur membuktikan bahwa pekerjaan pengetahuan (knowledge work) dan pekerja pengetahuan (knowledge worker) merupakan mesin dari pertumbuhan (Raspe dan Van Oort, 2006 dalam Yigitcanlar et al., 2007). Tidak mengherankan apabila kompetensi inti organisasi akan berkisar di masalah manejemen pengetahuan dan pekerja pengetahuan. Pertumbuhan industri dan produktivitas akan sangat tergantung pada perbaikan-perbaikan yang dilakukan dalam pekerjaan pengetahuan (Davenport et al., 1996).

Bahwa keberhasilan ekonomi di era ini ditentu-kan melalui penerapan prinsip-prinsip ekonomi ber-basis pengetahuan. Kualitas SDM harus ditingkatkan dan dipersiapkan sebaik mungkin dalam rangka membangun KBO, yang menjadi prasyarat keunggulan dalam persaingan di abad pengetahuan ini.

Organisasi yang tangguh adalah organisasi yang berbasis pengetahuan, serta mampu ber-adaptasi terhadap perubahan di lingkungan internal dan eksternalnya, sehingga konsisten

kinerjanya. Organisasi semacam ini umunya menerapkan manajemen pengetahuan sebagai landasan dan acuan dalam pengembangan sumberdaya organisasinya sampai pada kondisi paripurna (knowledge centric organization).

Pyoria (2005) mengontraskan antara pekerjaan pengetahuan dengan pekerjaan administratif atau operasional (yang diberi label sebagai pekerjaan tradisional) dalam lima dimensi: pendidikan, keterampilan, sifat alami pekerjaan, organisasi, dan medium pekerjaan.

Pekerja pengetahuan menggunakan pengetahuan mereka dan know-how untuk memperoleh, menganalisis, menambah value, dan mengkomunikasikan informasi untuk memberdayakan pengambilan keputusan (Roy et al., 2001 dalam Lee-Kelly et al., 2007).

Peran dari pekerja pengetahuan dalam kerangka KBO memiliki relevansi yang sangat tinggi dengan kinerja organisasi secara keseluruhan. Artinya, efektivitas manajemen pengetahuan dari para pekerja akan memainkan peran krusial dalam pencapaian keunggulan kompetitif organisasi (Kubo & Saka, 2002).

KBO di Organisasi PerencanaanPada saat pemerintahan bersifat sentralis-

tik, dengan pendekatan top-down yang kuat, proses perencanaan cenderung mengacu pada corak yang seragam yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (daerah cenderung pasif).

Dalam era ekonomi berbasis pengetahuan, termasuk di dalamnya knowledge based organization (KBO), bakat dan kreatitivas akan menjadi motor penggerak perekonomian. Saat

Knowledge Based Organization

(KBO)Telah terjadi pergerakan era, dari industrial

ke knowledge. Sumber kekayaan bergeser dari modal ke knowledge, dan tipe organisasi, dari hierarki ke jejaringan knowledge, yang dicirikan dengan spesialisasi dalam strukturnya. Di dalam historical era, sejarah ekonomi dari beberapa era dibedakan menurut sumber kekayaannya (source of wealth) yang dominan (Savage, 1996: Fifth Generation Management). Sehingga tipe-tipe organisasi pun mengalami penyesuaian di setiap eranya.

HISTORICAL ERA

Lok. SOR Gedebage Bandung, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Lok. Jalan Lingkar Nagreg Jabar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

INFO iptekINFO iptek

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 75: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

74 75

Namun hal ini tergantung pada kesungguhan, bagaimana memulai perubahan dari internal organisasi menuju perubahan yang diharap-kan. Dalam situasi organisasi seperti ini, SDM berkualitas yang kapabel dengan akuntabilitas tinggi menjadi prasyarat bagi pengembangan organisasi berbasis pengetahuan (knowledge based organi-zation). Inovasi harus menjadi kata kunci, dan pihak-pihak eksternal organisasi harus 'dianggap' pesaing, yang berfungsi sebagai indicator pemacu kerja bagi terciptanya keunggulan organisasi agar survive di era global yang kompetitif ini.

Perbedaan Pekerjaan Pengetahuan dan Tradisional (Pyoria, 2005)

Membutuhkan beberapa bentuk pendidikan formal dan on-the-job-training.

Keterampilan yang terdefinisi secara tegas.

Standardisasi yang sangat tinggi, pekerjaan melibatkan benda fisik secara langsung atau tidak langsung melalui antarmuka elektronik (misal: proses pengendalian produksi).

Menjangkau birokrasi s.d. tim, peran dan posisi yang jelas, pengetahuan sebagai faktor produksi kedua.

Materi fisik dan/atau orang.

Membutuhkan pendidikan formal yang ekstensif dan on-the-job-training yang kontinyu.

Keterampilan yang dapat ditransfer.

Tingkatkan standardisasi yang rendah, melibatkan pengetahuan abstrak dan simbol-simbol (misal: desain dan perencanaan proses produksi).

Menjangkau dari birokrasi profesional s.d. self-managing-teams, sirkulasi pekerjaan dan tugas pengetahuan sebagai faktor produksi pertama.

Simbol dan/atau orang.

Pendidikan

Keterampilan

Sifat alami pekerjaan

Organisasi

Medium pekerjaan

Pekerjaan PengetahuanPekerjaan Tradisional

ini, kesejahteraan tidak lagi tergantung pada akses sumber daya fisik, akan tetapi lebih tergantung pada kemampuan untuk mencipta ide-ide baru. Dengan kata lain, peran pekerja yang ada dalam sebuah organisasi yang berbasis pengetahuan, disebut sebagai pekerja pengetahuan, memainkan peran yang strategis dan bernilai (Florida, 2005 dalam Yigitcanlar et al., 2007). Literatur membuktikan bahwa pekerjaan pengetahuan (knowledge work) dan pekerja pengetahuan (knowledge worker) merupakan mesin dari pertumbuhan (Raspe dan Van Oort, 2006 dalam Yigitcanlar et al., 2007). Tidak mengherankan apabila kompetensi inti organisasi akan berkisar di masalah manejemen pengetahuan dan pekerja pengetahuan. Pertumbuhan industri dan produktivitas akan sangat tergantung pada perbaikan-perbaikan yang dilakukan dalam pekerjaan pengetahuan (Davenport et al., 1996).

Bahwa keberhasilan ekonomi di era ini ditentu-kan melalui penerapan prinsip-prinsip ekonomi ber-basis pengetahuan. Kualitas SDM harus ditingkatkan dan dipersiapkan sebaik mungkin dalam rangka membangun KBO, yang menjadi prasyarat keunggulan dalam persaingan di abad pengetahuan ini.

Organisasi yang tangguh adalah organisasi yang berbasis pengetahuan, serta mampu ber-adaptasi terhadap perubahan di lingkungan internal dan eksternalnya, sehingga konsisten

kinerjanya. Organisasi semacam ini umunya menerapkan manajemen pengetahuan sebagai landasan dan acuan dalam pengembangan sumberdaya organisasinya sampai pada kondisi paripurna (knowledge centric organization).

Pyoria (2005) mengontraskan antara pekerjaan pengetahuan dengan pekerjaan administratif atau operasional (yang diberi label sebagai pekerjaan tradisional) dalam lima dimensi: pendidikan, keterampilan, sifat alami pekerjaan, organisasi, dan medium pekerjaan.

Pekerja pengetahuan menggunakan pengetahuan mereka dan know-how untuk memperoleh, menganalisis, menambah value, dan mengkomunikasikan informasi untuk memberdayakan pengambilan keputusan (Roy et al., 2001 dalam Lee-Kelly et al., 2007).

Peran dari pekerja pengetahuan dalam kerangka KBO memiliki relevansi yang sangat tinggi dengan kinerja organisasi secara keseluruhan. Artinya, efektivitas manajemen pengetahuan dari para pekerja akan memainkan peran krusial dalam pencapaian keunggulan kompetitif organisasi (Kubo & Saka, 2002).

KBO di Organisasi PerencanaanPada saat pemerintahan bersifat sentralis-

tik, dengan pendekatan top-down yang kuat, proses perencanaan cenderung mengacu pada corak yang seragam yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (daerah cenderung pasif).

Dalam era ekonomi berbasis pengetahuan, termasuk di dalamnya knowledge based organization (KBO), bakat dan kreatitivas akan menjadi motor penggerak perekonomian. Saat

Knowledge Based Organization

(KBO)Telah terjadi pergerakan era, dari industrial

ke knowledge. Sumber kekayaan bergeser dari modal ke knowledge, dan tipe organisasi, dari hierarki ke jejaringan knowledge, yang dicirikan dengan spesialisasi dalam strukturnya. Di dalam historical era, sejarah ekonomi dari beberapa era dibedakan menurut sumber kekayaannya (source of wealth) yang dominan (Savage, 1996: Fifth Generation Management). Sehingga tipe-tipe organisasi pun mengalami penyesuaian di setiap eranya.

HISTORICAL ERA

Lok. SOR Gedebage Bandung, Dok. Pusdalisbang Jabar.

Lok. Jalan Lingkar Nagreg Jabar, Dok. Pusdalisbang Jabar.

INFO iptekINFO iptek

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 76: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Pasca desentralisasi, kewenangan pemerintah daerah dalam proses perencanaan memberikan corak baru yang bernuansa 'kedaerahan' (daerah cenderung aktif). Secara umum, keragaman corak perencanaan dalam praktek saat ini yaitu: (1) perencanaan komprehensif (comprehensive planning); (2) perencanaan induk (master planning); (3) perencanaan strategis (strategic planning); (4) perencanaan ekuiti (equity planning); (5) perencanaan advokasi (advocacy planning); dan (6) perencanaan inkrimental (incremental planning).

Perencanaan strategis, yang biasa diguna-kan dalam dunia usaha dan militer, muncul di decade akhir Abad ke-20. Mulai diwacanakan di pemerintahan sejak awal tahun 1980-an. Di Pemerintah Provinsi Jawa Barat, proses peren-canaan ini telah di atur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Sistem -Pembangunan Daerah (Sisrenbangda). Dalam peraturan ini perencanaan menggunakan metode pendekatan: teknokratik, partisipatif, politik, atas-bawah, bawah-atas, kompetitif dan sosio-kultural. Dengan prinsip-prinsip: dirumuskan secara transparan, responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, berkeadilan dan berkelanjutan dan SMART (specific, measurable, achievable, resources avaliable, times).

Perencanaan adalah pekerjaan pengetahu-an (knowledge work), yang dicirikan antara lain: melihat jauh ke depan (forecasting), dan inovasi; terdapat tujuan dan cara pencapaiannya, berindikator kinerja, menggunakan metode, dsb. Pekerja yang dibutuhkan untuk organisasi perencanaan harus pekerja pengetahuan (knowledge worker). Seperti dikemukakan Roy (et al., 2001 dalam Lee-Kelly et al., 2007), bahwa knowledge worker menggunakan pengetahuan mereka dan know-how untuk memperoleh, menganalisis, menambah value, dan meng-komunikasikan informasi untuk memberdayakan pengambilan keputusan.

Semua organisasi dalam aktivitas kerjanya menggunakan/bersinggungan dengan pengeta-huan. Namun, secara substansial konsep KBO memiliki prasyarat tertentu dalam penerapannya. Make Study, sebuah studi, lembaga riset

Dunamis Organization menyusun delapan dimensi KBO yakni:1. Membentuk budaya pengetahuan organisasi;2. Mengembangkan knowledge worker melalui

kepemimpinan manajemen senior;3. Mengembangkan dan memberikan produk/

jasa/solusi berbasis pengetahuan (kemam-puan inovasi);

4. Memaksimalkan nilai dari modal intelektual;5. Menciptakan dan mempertahankan lingkung-

an untuk berbagi pengetahuan;6. Menciptakan dan mempertahankan kultur

organisasi pembelajar;7. Mengelola pengetahuan pelanggan/stake-

holder untuk menciptakan nilai dan modal intelektual organisasi;

8. Mengelola pengetahuan organisasi untuk menghasilkan ni lai bagi shareholder/ stakeholder.

Dimensi-dimensi tersebut di atas sangat relevan dengan karakterisitik pekerjaan peren-canaan yang senantiasa membutuhkan serta mengedepankan pengetahuan (new knowledge) dalam inovasi kinerjanya. Sehingga KBO di organisasi perencanaan merupakan sebuah urgensi yang prioritas untuk diberdayakan, diterapkan dan diperbahrui. Agar tidak terjebak dalam rutinitas pekerjaaan yang bersifat administratif/operasional. Seperti dikemukakan Kelly (1990 dalam Wicramasinghe & Ginzberg, 2001), bahwa, “pekerjaan pengetahuan sebagai pekerjaan yang tidak berulang, tidak rutin, yang memerlukan tingkat aktivitas kognitif yang substansial”. 6

76 77

http://id.wikipedia.org/, diakses 6 Maret 2012.

http://www.kpmg.com, diakses 6 Maret 2012.

http://www.dunamis.co.id, diakses 6 Maret 2012.

http://www.journal.unpar.ac.id diakses 7 Maret 2012.

Achmad Djunaedi, Prof. Dr. Ir., MUP, 2002, Materi Kuliah Teori Perencanaan.

Daftar Pustaka

erubahan mendasar paradigma sektor publik dewasa ini adalah derasnya Pkeinginan dan tuntutan agar proses

perencanaan lebih berorientasi pada hasil (outcome), tidak semata-mata pada proses dan keluaran (output). Hasil atau pencapaian kinerja harus dilaporkan kepada pihak-pihak terkait (stakeholders) sebagai refleksi pertanggungjawaban (akun-tabil itas) atas penggunaan sumberdaya.____________________________________* Inspektur Pembantu Wilayah III – Inspektorat Provinsi Jawa Barat.

l Juneidy*

Dalam proses perencanaan, penetapan tingkat pencapaian kinerja memerlukan petunjuk yang dapat memberikan indikasi yang disebut indikator kinerja. Perumusan indikator kinerja merupakan bagian integral dari perencanaan strategik. Tanpa indikator kinerja, rencana strategis tidak dapat diimplementasikan secara baik. Karena tidak terdapat variabel yang dapat diukur dari capaian suatu kegiatan.

Penerapan sistem AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) di instansi pemerintah telah merubah pengukuran kinerja pola lama, yang semula berorientasi pada

INDIKATOR KINERJA DALAM AKUNTABILITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN

INFO iptekINFO iptek

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 77: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

Pasca desentralisasi, kewenangan pemerintah daerah dalam proses perencanaan memberikan corak baru yang bernuansa 'kedaerahan' (daerah cenderung aktif). Secara umum, keragaman corak perencanaan dalam praktek saat ini yaitu: (1) perencanaan komprehensif (comprehensive planning); (2) perencanaan induk (master planning); (3) perencanaan strategis (strategic planning); (4) perencanaan ekuiti (equity planning); (5) perencanaan advokasi (advocacy planning); dan (6) perencanaan inkrimental (incremental planning).

Perencanaan strategis, yang biasa diguna-kan dalam dunia usaha dan militer, muncul di decade akhir Abad ke-20. Mulai diwacanakan di pemerintahan sejak awal tahun 1980-an. Di Pemerintah Provinsi Jawa Barat, proses peren-canaan ini telah di atur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Sistem -Pembangunan Daerah (Sisrenbangda). Dalam peraturan ini perencanaan menggunakan metode pendekatan: teknokratik, partisipatif, politik, atas-bawah, bawah-atas, kompetitif dan sosio-kultural. Dengan prinsip-prinsip: dirumuskan secara transparan, responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, berkeadilan dan berkelanjutan dan SMART (specific, measurable, achievable, resources avaliable, times).

Perencanaan adalah pekerjaan pengetahu-an (knowledge work), yang dicirikan antara lain: melihat jauh ke depan (forecasting), dan inovasi; terdapat tujuan dan cara pencapaiannya, berindikator kinerja, menggunakan metode, dsb. Pekerja yang dibutuhkan untuk organisasi perencanaan harus pekerja pengetahuan (knowledge worker). Seperti dikemukakan Roy (et al., 2001 dalam Lee-Kelly et al., 2007), bahwa knowledge worker menggunakan pengetahuan mereka dan know-how untuk memperoleh, menganalisis, menambah value, dan meng-komunikasikan informasi untuk memberdayakan pengambilan keputusan.

Semua organisasi dalam aktivitas kerjanya menggunakan/bersinggungan dengan pengeta-huan. Namun, secara substansial konsep KBO memiliki prasyarat tertentu dalam penerapannya. Make Study, sebuah studi, lembaga riset

Dunamis Organization menyusun delapan dimensi KBO yakni:1. Membentuk budaya pengetahuan organisasi;2. Mengembangkan knowledge worker melalui

kepemimpinan manajemen senior;3. Mengembangkan dan memberikan produk/

jasa/solusi berbasis pengetahuan (kemam-puan inovasi);

4. Memaksimalkan nilai dari modal intelektual;5. Menciptakan dan mempertahankan lingkung-

an untuk berbagi pengetahuan;6. Menciptakan dan mempertahankan kultur

organisasi pembelajar;7. Mengelola pengetahuan pelanggan/stake-

holder untuk menciptakan nilai dan modal intelektual organisasi;

8. Mengelola pengetahuan organisasi untuk menghasilkan ni lai bagi shareholder/ stakeholder.

Dimensi-dimensi tersebut di atas sangat relevan dengan karakterisitik pekerjaan peren-canaan yang senantiasa membutuhkan serta mengedepankan pengetahuan (new knowledge) dalam inovasi kinerjanya. Sehingga KBO di organisasi perencanaan merupakan sebuah urgensi yang prioritas untuk diberdayakan, diterapkan dan diperbahrui. Agar tidak terjebak dalam rutinitas pekerjaaan yang bersifat administratif/operasional. Seperti dikemukakan Kelly (1990 dalam Wicramasinghe & Ginzberg, 2001), bahwa, “pekerjaan pengetahuan sebagai pekerjaan yang tidak berulang, tidak rutin, yang memerlukan tingkat aktivitas kognitif yang substansial”. 6

76 77

http://id.wikipedia.org/, diakses 6 Maret 2012.

http://www.kpmg.com, diakses 6 Maret 2012.

http://www.dunamis.co.id, diakses 6 Maret 2012.

http://www.journal.unpar.ac.id diakses 7 Maret 2012.

Achmad Djunaedi, Prof. Dr. Ir., MUP, 2002, Materi Kuliah Teori Perencanaan.

Daftar Pustaka

erubahan mendasar paradigma sektor publik dewasa ini adalah derasnya Pkeinginan dan tuntutan agar proses

perencanaan lebih berorientasi pada hasil (outcome), tidak semata-mata pada proses dan keluaran (output). Hasil atau pencapaian kinerja harus dilaporkan kepada pihak-pihak terkait (stakeholders) sebagai refleksi pertanggungjawaban (akun-tabil itas) atas penggunaan sumberdaya.____________________________________* Inspektur Pembantu Wilayah III – Inspektorat Provinsi Jawa Barat.

l Juneidy*

Dalam proses perencanaan, penetapan tingkat pencapaian kinerja memerlukan petunjuk yang dapat memberikan indikasi yang disebut indikator kinerja. Perumusan indikator kinerja merupakan bagian integral dari perencanaan strategik. Tanpa indikator kinerja, rencana strategis tidak dapat diimplementasikan secara baik. Karena tidak terdapat variabel yang dapat diukur dari capaian suatu kegiatan.

Penerapan sistem AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) di instansi pemerintah telah merubah pengukuran kinerja pola lama, yang semula berorientasi pada

INDIKATOR KINERJA DALAM AKUNTABILITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN

INFO iptekINFO iptek

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 78: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

78

INFO iptek

79

kemampuan penyerapan anggaran, menjadi pada pencapaian hasil (outcome). Sehingga melalui indikator kinerja diharapkan sumberdaya yang digunakan akan efektif dan efisien. Serta terjadi kesesuaian dan keseimbangan antara sumberdaya yang diserap dengan hasil yang akan diperoleh.

Pengertian Indikator Kinerja Indikator kinerja adalah deskripsi kuantitatif

atau kualitatif terhadap capaian kinerja. Indikator kinerja digunakan sebagai salah satu alat untuk menilai dan melihat perkembangan kinerja yang dicapai selama jangka waktu tertentu. Indikator kinerja merupakan sarana atau alat untuk melakukan pengukuran kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi yang dikaitkan dengan pencapaian tujuan dan/atau target.

Peranan indikator kinerja a. Sebagai alat untuk memastikan pemahaman

para pelaksana terhadap ukuran yang digunakan untuk mencapai kinerja.

b. Sebagai sarana untuk memonitor sejauhmana upaya yang telah dilakukan mendekati pen-capaian kinerja yang telah direncanakan. Oleh karena itu, jika terdapat tanda-tanda deviasi dari kinerja yang direncanakan, maka dapat dilakukan upaya penyesuaian/penyempurna-an terhadap langkah pelaksanaan kegiatan.

c. Sebagai sarana untuk mengevaluasi penca-paian kinerja dengan membandingkannya dengan kinerja yang telah ditetapkan sebe-lumnya. Dengan demikian dapat dilakukan upaya perbaikan-perbaikan.

d. Sebagai alat untuk memberikan penghargaan ataupun hukuman yang objektif bagi para pelaksananya.

e. Sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi.

f. Menjadi alat untuk memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat.

g. Menjadi alat untuk membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah.

h. Menjadi alat untuk memastikan pengambilan keputusan dilakukan secara obyektif.

Fungsi Indikator Kinerja a. Memperjelas tentang apa yang akan dihasil-

kan dan kapan hasil tersebut akan dicapai dari suatu kegiatan.

b. Menciptakan konsensus berbagai pihak yang berkepentingan untuk menghindari kebijak-sanaan/program/ kegiatan.

c. Menjadi dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi terhadap kinerja instansi pemerintah.

Perumusan indikator kinerjaPada dasarnya, perumusan indikator

kinerja adalah tanggung jawab manajemen, akan tetapi dapat juga dirumuskan berdasarkan kese-pakatan bersama antara manajemen dengan mengikutsertakan pihak-pihak terkait yang dianggap berkepentingan. Bilamana indikator kinerja telah dibuat pihak manajemen, maka yang bersangkutan dapat meminta kepada auditor untuk mereviewnya. Apakah indikator kinerja yang telah disusun sesuai dengan syarat-syarat indikator kinerja yang baik.

Syarat-syarat indikator kinerjaBeberapa syarat indikator kinerja antara lain:a. Relevan

Indikator kinerja harus relevan dengan kebutuhan dan kondisi dan fungsi suatu sektor publik, dalam mencapai maksud dan tujuan. stakeholders/pemakai. Indikator kinerja harus memungkinkan untuk menilai kinerja tugas.

b. Layak dan ValidIndikator seharusnya menunjukkan aspek utama kinerja tugas dan fungsi sektor publik yang dapat menjamin hasil/outcome yang dihasilkan.

c. Wajar (Fair)Indikator yang dipilih harus wajar dan mencerminkan faktor yang dapat dikendalikan manajemen.

d. ObyektifIndikator dikatakan obyektif, apabila dilakukan pengujian oleh pihak lain yang kompeten akan menghasilkan simpulan yang sama.

e. Bebas dari BiasInformasi kinerja seharusnya diperoleh secara independen, tanpa memihak, demikian juga pelaporannya. Hal ini memungkinkan pemakai untuk menilai kinerja yang telah dicapai. Pemakai harus yakin bahwa informasinya akurat dan andal.

f. JelasIndikator harus jelas dan mudah dipahami. Indikator yang terlalu rumit, akan mem-bingungkan dan bahkan kemungkinan tidak membantu para pengambil keputusan.

g. Dapat dikuantifikasiIndikator kinerja harus dapat merefleksikan semua aspek yang diukur, sehingga dapat menunjukkan seberapa jauh hasil yang diinginkan telah dicapai.

h. Dapat diverifikasiIndikator kinerja harus berdasarkan data yang andal dalam berbagai kondisi. Informasi yang diperoleh tidak bervariasi secara signifikan dan tersedia dari sumber data yang mempunyai reputasi. Indikator harus dapat dipertanggungjawabkan untuk penerapan prosedur standar, dalam rangka pengumpulan data atau perhitungan hasil, sehingga memperoleh hasil yang sama bila situasinya sama. Informasi yang menjadi dasar indikator harus diperoleh, dicatat dan dianalisis dengan cara seperti verifikasi pihak independen.

i. Biaya dan WaktuInformasi harus mempertimbangkan efisiensi biaya dalam pengumpulan, penyimpanan, dan pengelolaannya. Selain itu waktu pengum-pulan informasi juga harus menjadi dasar pertimbangan.

j. Jumlah indikator kinerja terbatasSekumpulan indikator kinerja yang kompre-hensif memang diperlukan pemakai untuk menilai kinerja keseluruhan, tapi jumlah indikator harus dibatasi hanya pada indikator yang penting saja. Indikator kinerja yang dimiliki harus mencakup seluruh faktor penting keberhasilan.

INFO iptek

Lok. Bappeda Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 79: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

78

INFO iptek

79

kemampuan penyerapan anggaran, menjadi pada pencapaian hasil (outcome). Sehingga melalui indikator kinerja diharapkan sumberdaya yang digunakan akan efektif dan efisien. Serta terjadi kesesuaian dan keseimbangan antara sumberdaya yang diserap dengan hasil yang akan diperoleh.

Pengertian Indikator Kinerja Indikator kinerja adalah deskripsi kuantitatif

atau kualitatif terhadap capaian kinerja. Indikator kinerja digunakan sebagai salah satu alat untuk menilai dan melihat perkembangan kinerja yang dicapai selama jangka waktu tertentu. Indikator kinerja merupakan sarana atau alat untuk melakukan pengukuran kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi yang dikaitkan dengan pencapaian tujuan dan/atau target.

Peranan indikator kinerja a. Sebagai alat untuk memastikan pemahaman

para pelaksana terhadap ukuran yang digunakan untuk mencapai kinerja.

b. Sebagai sarana untuk memonitor sejauhmana upaya yang telah dilakukan mendekati pen-capaian kinerja yang telah direncanakan. Oleh karena itu, jika terdapat tanda-tanda deviasi dari kinerja yang direncanakan, maka dapat dilakukan upaya penyesuaian/penyempurna-an terhadap langkah pelaksanaan kegiatan.

c. Sebagai sarana untuk mengevaluasi penca-paian kinerja dengan membandingkannya dengan kinerja yang telah ditetapkan sebe-lumnya. Dengan demikian dapat dilakukan upaya perbaikan-perbaikan.

d. Sebagai alat untuk memberikan penghargaan ataupun hukuman yang objektif bagi para pelaksananya.

e. Sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi.

f. Menjadi alat untuk memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat.

g. Menjadi alat untuk membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah.

h. Menjadi alat untuk memastikan pengambilan keputusan dilakukan secara obyektif.

Fungsi Indikator Kinerja a. Memperjelas tentang apa yang akan dihasil-

kan dan kapan hasil tersebut akan dicapai dari suatu kegiatan.

b. Menciptakan konsensus berbagai pihak yang berkepentingan untuk menghindari kebijak-sanaan/program/ kegiatan.

c. Menjadi dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi terhadap kinerja instansi pemerintah.

Perumusan indikator kinerjaPada dasarnya, perumusan indikator

kinerja adalah tanggung jawab manajemen, akan tetapi dapat juga dirumuskan berdasarkan kese-pakatan bersama antara manajemen dengan mengikutsertakan pihak-pihak terkait yang dianggap berkepentingan. Bilamana indikator kinerja telah dibuat pihak manajemen, maka yang bersangkutan dapat meminta kepada auditor untuk mereviewnya. Apakah indikator kinerja yang telah disusun sesuai dengan syarat-syarat indikator kinerja yang baik.

Syarat-syarat indikator kinerjaBeberapa syarat indikator kinerja antara lain:a. Relevan

Indikator kinerja harus relevan dengan kebutuhan dan kondisi dan fungsi suatu sektor publik, dalam mencapai maksud dan tujuan. stakeholders/pemakai. Indikator kinerja harus memungkinkan untuk menilai kinerja tugas.

b. Layak dan ValidIndikator seharusnya menunjukkan aspek utama kinerja tugas dan fungsi sektor publik yang dapat menjamin hasil/outcome yang dihasilkan.

c. Wajar (Fair)Indikator yang dipilih harus wajar dan mencerminkan faktor yang dapat dikendalikan manajemen.

d. ObyektifIndikator dikatakan obyektif, apabila dilakukan pengujian oleh pihak lain yang kompeten akan menghasilkan simpulan yang sama.

e. Bebas dari BiasInformasi kinerja seharusnya diperoleh secara independen, tanpa memihak, demikian juga pelaporannya. Hal ini memungkinkan pemakai untuk menilai kinerja yang telah dicapai. Pemakai harus yakin bahwa informasinya akurat dan andal.

f. JelasIndikator harus jelas dan mudah dipahami. Indikator yang terlalu rumit, akan mem-bingungkan dan bahkan kemungkinan tidak membantu para pengambil keputusan.

g. Dapat dikuantifikasiIndikator kinerja harus dapat merefleksikan semua aspek yang diukur, sehingga dapat menunjukkan seberapa jauh hasil yang diinginkan telah dicapai.

h. Dapat diverifikasiIndikator kinerja harus berdasarkan data yang andal dalam berbagai kondisi. Informasi yang diperoleh tidak bervariasi secara signifikan dan tersedia dari sumber data yang mempunyai reputasi. Indikator harus dapat dipertanggungjawabkan untuk penerapan prosedur standar, dalam rangka pengumpulan data atau perhitungan hasil, sehingga memperoleh hasil yang sama bila situasinya sama. Informasi yang menjadi dasar indikator harus diperoleh, dicatat dan dianalisis dengan cara seperti verifikasi pihak independen.

i. Biaya dan WaktuInformasi harus mempertimbangkan efisiensi biaya dalam pengumpulan, penyimpanan, dan pengelolaannya. Selain itu waktu pengum-pulan informasi juga harus menjadi dasar pertimbangan.

j. Jumlah indikator kinerja terbatasSekumpulan indikator kinerja yang kompre-hensif memang diperlukan pemakai untuk menilai kinerja keseluruhan, tapi jumlah indikator harus dibatasi hanya pada indikator yang penting saja. Indikator kinerja yang dimiliki harus mencakup seluruh faktor penting keberhasilan.

INFO iptek

Lok. Bappeda Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 80: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

INFO iptek

80

INFO iptek

81

Pada umumnya syarat-syarat indi-kator kinerja tersebut di atas dirumuskan menjadi SMART, (Spesific, Measurable, Achievable, Result oriented, dan Time bound). Karakteristik indikator kinerja adalah sederhana, dapat diukur, dapat dikuantifisir, dikaitkan dengan target/ standard, berfokus pada objek yang akan dilayani, dan dikaji secara teratur.

Jenis-jenis Indikator KinerjaIndikator kinerja dikelompokkan ke

dalam enam kelompok indikator kinerja, yakni:a. Indikator masukan, adalah segala

sesuatu yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan agar meng-hasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa dana, personil yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan, data/ informasi, kebijakan/peraturan perun-dangan dan sebagainya.

b. Indikator keluaran, adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat diperoleh/dicapai dan suatu kegiatan, baik kegiatan yang berupa kegiatan fisik ataupun non fisik.

c. Indikator hasil, adalah hasil nyata yang diperoleh dari keluaran. Indi-kator hasil mencerminkan berfungsi-nya keluaran pada jangka waktu menengah.

d. Indikator manfaat, adalah manfaat yan g diperoleh dari hasil (outcomes) suatu kegiatan. Manfaat yang akan dirasakan dalam jangka waktu menengah dan panjang.

e. Indikator dampak, adalah pengaruh/ akibat yang ditimbulkan oleh manfaat dari suatu kegiatan, baik dampak ne-gatif maupun dampak positif. Seperti halnya indikator manfaat, dampak baru dapat diketahui dalam jangka waktu menengah dan panjang.

Proses Perumusan Indikator KinerjaPertama, setelah strategi disusun, pada

setiap kegiatan lakukan identifikasi terhadap semua jenis indikator.

Pada ind ikator masukan , lakukan identifikasi berbagai aspek/sumber daya yang dipergunakan untuk menghasilkan keluaran. ”isi” dari indikator ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya, dapat berupa dana, personil yang terlibat, data/informasi dan sebagainya.

Pada indikator keluaran , di lakukan identifikasi berbagai keluaran langsung yang diharapkan dari kegiatan yang dilakukan. Kegiatan secara spesifik biasanya langsung menunjukkan keluaran yang akan dihasilkan.

Pada indikator hasil, lakukan identifikasi berbagai hasil nyata yang mungkin dari keluaran. Pada prateknya, seringkali ada hasil nyata yang belum teridentifikasi ternyata diluar dugaan muncul pada saat beberapa tahun kegiatan telah dilaksanakan.

Pada indikator manfaat, lakukan identifikasi berbagai manfaat yang diperoleh dari hasil yang kegiatan. Seperti halnya indikator hasil, pada indikator manfaat pun dapat terjadi dimana diluar

dugaan muncul manfaat sebelumnya tidak teridetifikasi.

Pada indikator dampak, lakukan identifikasi berbagai dampak yang mungkin dari manfaat yang diperoleh, baik positif maupun negatif.

Kedua, setelah teridentifikasi berbagai unsur (untuk memudahkan, jika indikator input terdiri dari dana dan personil, maka keduanya kita disebut unsur indikator input, demikian juga dengan indikator lainya) dari setiap kelompok indikator tersebut di atas, pilih dan tetapkan mana yang paling dominan memberikan konstribusi terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan. Untuk pemilihan unsur dari indikator hasil, manfaat maupun dampak bisa kita kaitkan dengan pencapaian tujuan dan sasaran.

Pada umumnya untuk kegiatan tertentu, misalnya penelitian, kajian dan kegiatan yang sifatnya non fisik, indikator keluaran, hasil, manfaat dan dampak seringkali sulit merumus-kannya dalam bentuk yang kuantitatif. Dalam kasus seperti ini, indikator yang sifatnya kualitatif dapat didekati dengan indikator-indikator kuanti-tatif yang dianggap dapat mewakili indikator kuantitatif tersebut.

Lok. Masjid Agung Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. Doboku Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. Stasiun Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 81: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

INFO iptek

80

INFO iptek

81

Pada umumnya syarat-syarat indi-kator kinerja tersebut di atas dirumuskan menjadi SMART, (Spesific, Measurable, Achievable, Result oriented, dan Time bound). Karakteristik indikator kinerja adalah sederhana, dapat diukur, dapat dikuantifisir, dikaitkan dengan target/ standard, berfokus pada objek yang akan dilayani, dan dikaji secara teratur.

Jenis-jenis Indikator KinerjaIndikator kinerja dikelompokkan ke

dalam enam kelompok indikator kinerja, yakni:a. Indikator masukan, adalah segala

sesuatu yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan agar meng-hasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa dana, personil yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan, data/ informasi, kebijakan/peraturan perun-dangan dan sebagainya.

b. Indikator keluaran, adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat diperoleh/dicapai dan suatu kegiatan, baik kegiatan yang berupa kegiatan fisik ataupun non fisik.

c. Indikator hasil, adalah hasil nyata yang diperoleh dari keluaran. Indi-kator hasil mencerminkan berfungsi-nya keluaran pada jangka waktu menengah.

d. Indikator manfaat, adalah manfaat yan g diperoleh dari hasil (outcomes) suatu kegiatan. Manfaat yang akan dirasakan dalam jangka waktu menengah dan panjang.

e. Indikator dampak, adalah pengaruh/ akibat yang ditimbulkan oleh manfaat dari suatu kegiatan, baik dampak ne-gatif maupun dampak positif. Seperti halnya indikator manfaat, dampak baru dapat diketahui dalam jangka waktu menengah dan panjang.

Proses Perumusan Indikator KinerjaPertama, setelah strategi disusun, pada

setiap kegiatan lakukan identifikasi terhadap semua jenis indikator.

Pada ind ikator masukan , lakukan identifikasi berbagai aspek/sumber daya yang dipergunakan untuk menghasilkan keluaran. ”isi” dari indikator ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya, dapat berupa dana, personil yang terlibat, data/informasi dan sebagainya.

Pada indikator keluaran , di lakukan identifikasi berbagai keluaran langsung yang diharapkan dari kegiatan yang dilakukan. Kegiatan secara spesifik biasanya langsung menunjukkan keluaran yang akan dihasilkan.

Pada indikator hasil, lakukan identifikasi berbagai hasil nyata yang mungkin dari keluaran. Pada prateknya, seringkali ada hasil nyata yang belum teridentifikasi ternyata diluar dugaan muncul pada saat beberapa tahun kegiatan telah dilaksanakan.

Pada indikator manfaat, lakukan identifikasi berbagai manfaat yang diperoleh dari hasil yang kegiatan. Seperti halnya indikator hasil, pada indikator manfaat pun dapat terjadi dimana diluar

dugaan muncul manfaat sebelumnya tidak teridetifikasi.

Pada indikator dampak, lakukan identifikasi berbagai dampak yang mungkin dari manfaat yang diperoleh, baik positif maupun negatif.

Kedua, setelah teridentifikasi berbagai unsur (untuk memudahkan, jika indikator input terdiri dari dana dan personil, maka keduanya kita disebut unsur indikator input, demikian juga dengan indikator lainya) dari setiap kelompok indikator tersebut di atas, pilih dan tetapkan mana yang paling dominan memberikan konstribusi terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan. Untuk pemilihan unsur dari indikator hasil, manfaat maupun dampak bisa kita kaitkan dengan pencapaian tujuan dan sasaran.

Pada umumnya untuk kegiatan tertentu, misalnya penelitian, kajian dan kegiatan yang sifatnya non fisik, indikator keluaran, hasil, manfaat dan dampak seringkali sulit merumus-kannya dalam bentuk yang kuantitatif. Dalam kasus seperti ini, indikator yang sifatnya kualitatif dapat didekati dengan indikator-indikator kuanti-tatif yang dianggap dapat mewakili indikator kuantitatif tersebut.

Lok. Masjid Agung Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. Doboku Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Lok. Stasiun Kota Banjar, Dok. Pusdalisbang Jabar

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

Page 82: 287_WARTA 2012 tw1 isi.pdf

82

Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 tentang RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan APBD (diterbitkan setiap tahun).

Dan berbagai sumber bacaan lainnya.

Daftar Pustaka

Pada rencana strategi, hal yang perlu ditetapkan berkaitan dengan indikator kinerja adalah menentukan satuan dan rencana capaian.

a) SatuanDisarankan setiap indikator mewakili satuan

ukuran yang memudahan di lakukannya pengukuran terhadap indikator dimaksud. Untuk indikator masukan dan keluaran, relatif lebih mudah menentukan satuannya dibanding dengan panentuan satuan ukuran indikator lainnya, sebagai contoh, jika dalam indikator masukan diidentifikasi dua unsur yang akan dijadikan acuan untuk menilai kenerja, yaitu, dana dan personil, maka satuan dari kedua unsur indikator masukan tesebut adalah rupiah dan orang indikator yang sifatnya kualitatif dapat digunakan satuan persentase. namun demikian, kesulitan yang kemudian muncul adalah bagaimana kita dapat mendesain alat ukur yang valid dan realibel untuk mengukurnya. Indikator yang sifatnya kualitatif dapat didekati dengan indikator kuantitatif yang terkait dengannya.

b) Rencana CapaianSetelah dilakukan identifikasi, untuk menjawab

”apa” unsur dari setiap kelompok indikator, maka rencana capaian adalah untuk menjawab ”berapa”. Oleh karena itu, indikator yang telah ditetapkan juga harus memiliki rencana capaianya. Untuk indikator masukan, harus ditetapkan masing-masing berapa sumber-sumber daya yang direncanakan yang akan digunakan dalam menghasilkan keluaran. Bisa meliputi berapa biaya yang diperlukan, jumlah personel yang dilibatkan,dan lainnya. Untuk indikator keluaran, harus ditetapkan masing-masing berapa keluaran yang dihasilkan. Demikian juga dengan indikator lainnya. Hal u tama yang per lu d iperhat ikan da lam menentukan rencana capaian indikator masukan, adalah bahwa indikator masukan harus benar-benar ditetapkan sesuai dengan berbagai standar yang berlaku. Sebagai contoh, ketika akan ditetapkan rencana dana yang akan

digunakan, maka standard satuan-satuan harga yang berlaku harus menjadi salah satu informasi penentuan. Dengan demikian, penentuan rencana capaian indikator masukan tetap pada batasan-batasan peraturan perundangan yang berlaku.

Menentukan rencana capaian indikator keluaran, hasil, manfaat dan dampak, hal utama yang harus diperhatikan adalah keselarasannya indikator masukan. Penetapan rencana harus benar-benar realistis, dengan mempertimbang-kan masukan yang digunakan dan berbagai hal yang dapat dijadikan pertimbangan.Penetapan capaian yang terlalu tinggi, akan menjadi bumerang bagi instansi pelaksana ketika rencana capaian tersebut tidak dapat direalisasikan. Demikian juga dengan penetapan rencana capaian yang terlalu rendah.

Ketika disusun rencana capaian, juga harus dipikirkan bagaimana mengukur realisasi dari rencana tersebut. Pelaksanaan harus men-desain/membuat berbagai instrumen yang akan dipergunakan untuk mengukur realisasi tersebut. Untuk indikator yang sifatnya kuantitatif, akan dapat dengan mudah ditentukan instrumennya, tidak demikian halnya dengan indikator yang sifatnya kualitatif. Teknik-teknik yang dikembang-kan dalam Metodologi Penelit ian dapat digunakan untuk membantu dalam mendesain alat-alat ukur tesebut. 6

Volume 17 Nomor 1 Januari - Maret 2012

INFO iptek